BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Secara historis Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012
tentang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) ini muncul lebih dikarenakan adanya
tekanan masyarakat yang menilai bahwasanya pelaku pencurian yang nilainya tidak
“seberapa” dibandingkan dengan pelaku yang nilainya lebih besar terhadap
prosesnya dianggap sama saja, bahkan ketika hakim memutus suatu perkara
masyarakat banyak yang menganggap “maling ayam” lebih berat hukumannya
dibandingkan “maling kelas kakap” yang hukumannya jauh lebih ringan. Dan juga
Perma ini muncul dikarenakan jumlah rupiah pada saat ini tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman pada saat ini, karena jumlah rupiah pada saat ini
mengalami penurunan yang sangat pesat ±10.000 kali jika dibandingkan harga emas
pada saat ini[1], oleh
karena itu kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” menjadi Rp. 2.500.000,00
(dua jua lima ratus ribu rupiah)[2]
dan denda yang dikenakan juga dilipatgandakan menjadi seribu kali lipat[3].
Dengan pembatasan nominal Tipiring ini, masyarakat mengharapkan hukuman yang
dijatuhkan hakim juga bersifat ringan. Sifat “ringan” dari tindak pidana ini
banyak menimbulkan asumsi bahwasanya akan ada pertanyaan-pertanyaan berkenaan
dengan esensi dari tindak pidana ringan itu sendiri. Apakah sebenarnya esensi
dari Tipiring dan bagaimana prosedur pemeriksaan Tipiring pada saat Pasca
dikeluarkannya Perma ini oleh Mahkamah Agung (MA).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
esensi Tindak Pidana Ringan (Tipiring)?
2.
Bagaimana
relevansi penerapan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012 ditinjau
dari aspek filosofis, yuridis dan sosiologis (tinjauan kritis)?
3.
Bagaimana
peran penegak hukum lainnya setelah terbit Perma tersebut?
C. Tujuan
1. Memahami arti dari Tindak Pidana Ringan (Tipiring).
2. Memahami kedudukan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012.
3. Memahami Perma tersebut
sebagai sumber hukum.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan karya
tulis ini menggunakan metode studi kepustakaan, dengan mempelajari buku yang berkaitan dengan tema ini,
himpunan peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel hukum. Selain itu
penulis mendapatkan sumber penulisan dari internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan
Aspek Filosofis
Apabila para ahli hukum membicarakan bahwa pencurian itu adalah suatu
tindak pidana, maka para filsuf tidak hanya membicarakan hal-hal yang demikian
adanya, karena akan selalu terbentuk dalam ide-ide imajinatif mereka akan
pertanyaan-pertanyaan berikut yang bersifat spekulatif dan mendalam, yaitu
mengapa pencurian digolongkan dalam tindak pidana yang dilarang! Seberapa
besar dan kecilkah suatu pencurian itu hingga dapat dipidana? Mengapa delik pencurian dapat dikenakan sanksi pidana penjara,
kurungan, dan denda?. Begitu pula dengan pengkategorian suatu tindak pidana, para ahli hukum pidana mungkin hanya berbicara
sekitar pembagiannya, penerapan sanksinya, dan pelaksanaanya. Hal ini sangatlah
berbeda dengan materi yang selalu dibicarakan para ahli hukum dalam filsafat pemidanaan,
yang selalu mengkaji tentang ide-ide dasar
pemidanaan yang menjernihkan pemahaman
tentang hakikat pemidanaan
sebagai tanggungjawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada Negara
berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan. Sehingga jelas besar kecilnya dan efektif atau tidakkah
suatu pemidanaan yang dijatuhkan terhadap suatu delik.
Sebelum
kita membahas lebih jauh mengenai aturan pembatasan sanksi pidana denda dalam
tindak pidana ringan, penulis hendak mengajak terlebih dahulu untuk mengulas kembali
pemahaman mengenai fungsi filsafat pemidanaan dalam perkembangannya. Filsafat pemidanaan mempunyai dua fungsi.
Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau
kaidah yang memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana
dan pemidanaan. Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan
terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang
ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran
atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan.
Kedua, fungsi teori dalam hal ini sebagai meta teori.
Maksudnya, filsafat pemidanaan berfungsi
sebagai teori yang mendasari dan melatar
belakangi setiap teori pemidanaan. Bedasarkan kedua fungsi di atas dalam proses implementasinya, penetapan
sanksi pidana dan tindakan merupakan aktivitas
program legislasi dan/atau yudikasi untuk menormatifkan jenis dan
bentuk sanksi (pemidanaan) sebagai
landasan keabsahan penegakan hukum melalui penerapan sanksi.[4]
Dari
kedua fungsi tersebut terlihat jelas begitu pentingnya pembelajaran dan
pengkajian pemidanaan dari segi filsafat. Karena dengan berfilsafat kita dapat
melengkapi tiap celah kekurangan dalam proses legislasi pemidanaannya, terutama
proses yudikasi dan pelakasanaannya. Sehingga dengan berpedoman dengan filsafat
pemidanaan tersebut kita mengetahui untuk apa ada pemidanaan dan apa sebenarnya
hakikat tujuan pemidanaan tersebut. Maka ketika berbicara masalah tujuan hukum
maka hal itu tidak akan lari dari bangunan segitiga yang selalu bertemu ditiap
sisinya akan tetapi selalu dipertentangkan dan diperdebatkan yaitu keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum. Begitu juga halnya dengan tujuan pemidanaan
yang selalu bertemu dilain sisi yang pada hakikatnya memiliki efesiensi yang
berbeda-beda. Akan tetapi dalam kesempatan ini hanya akan dibahas mengenai
”model keadilan” yang selama ini sering dibicarakan dalam tujuan pemidanaan.
Dalam
hal pemidanaan ”Model Keadilan” yang dikatakan Sue Titus Reid sebagai
justifikasi modern untuk pemidanaan. Model ini disebut pendekatan keadilan atau
model just desert (ganjaran setimpal) yang didasarkan atas dua teori (tujuan)
pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar
retribusi menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut
diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya.
Juga dianggap bahwa sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal itu melakukan
tindakan-tindakan kejahatan lagi dan juga mencegah orang-orang lain melakukan
kejahatan. Sehubungan dengan model keadilan yang didasarkan pada tujuan
pencegahan dan retribusi, Gerry A. Ferguson mengatakan bahwa pencegahan
bertujuan mencegah pengulangan pelanggaran dikemudian hari. Sedangkan retribusi
memusatkan pada kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan kriminal pelanggar dan
dimaksudkan untuk memastikan si pelanggar membayar tindak pidana yang
dilakukannya. Ganjaran yang setimpal menjelaskan konsepsi bahwa alasan
retribusi yang mendasari bukan balas dendam, namun lebih tepatnya adalah
beratnya sanski seharussnya didasarkan atas beratnya perbuatan si pelanggar.
Dengan demikian, sanksi ganjaran yang setimpal harus sebanding dengan perbuatan
si pelanggar dan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar.[5]
Di
samping just desert model, terdapat model lain yang dikenal sebagai restorative
justice model. Model ini diajukan oleh kaum Abolisionis,[6]
yang sering diperdebatkan dan diuji efesiensinya dengan model keadilan lainnya,
yaitu retributive justice atau keadilan yang berbasis pada filsafat
pembalasan. Restorative justice
menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para
pihak. Korban mampu untuk untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku
didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki
kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem
nilai sosialnya. Keterlibatan komunikasi secara aktif memperkuat komunitas itu
sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa
saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang
dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang koperatif dari
komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan
pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka lama
mereka. Di samping itu juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang
lebih penting adalah sense of control.
Akan tetapi apabila penulis
mencermati hingga saat ini salinan dan substansi KUHP kita masih mengandung
nilai-nilai tujuan pembalasan (retributive justice), apalagi bila
dikaitkan dengan proses peradilan yang serba cenderung korup yang tumpul
terhadap kaum elit dan tajam terhadap kaum jelata. Sehingga menurut penulis,
diperlukan dalam susunan RUU KUHP kelak untuk mencantumkan nilai-nilai
perpaduan antar kedua tujuan tersebut, agar terlaksanya sistem peradilan pidana
yang efesien, kondusif, dan berkeadilan. Keterpaduan kedua tujuan tersebut
nantinya akan menjamin hak antara korban, pelaku, dan masyarakat dikarenakan
tujuan pembalasan akan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan pembalasan yang
setimpal, sedangkan tujuan restorasi akan menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai antara kedua belah pihak yang bersangkutan khususnya dan dalam masyarakat
pada umumnya. Tidak berhenti disitu, kedua tujuan tersebut akan menyediakan
sarana rehabilitasi dan resosialisasi ketika si korban dan pelaku hendak
kembali ke masyarakat. Apabila ini semua terlaksana penulis yakin bahwa sistem
peradilan pidana di Indonesia akan menjadi contoh dan tolah ukur bagi sistem
peradilan pidana di mancanegara.
Kembali
mengenai pembahasan penyesuaian Tipiring dan jumlah denda yang telah dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung melalui Perma No. 02 Tahun 2012, penulis menilai adanya
kesenjangan yang sangat terlihat khususnya penentuan ukuran jumlah denda yang
diterapkan dalam Perma tersebut. Dengan
ini MA terkesan terburu-buru dan tidak merenungkan hal demikian secara
mendalam. Penetapan jumlah batasan denda sebesar Rp. 2.500.000,00 tersebut sangatlah tidak mencerminkan
nilai-nilai keadilan yang selama ini menjadi tujuan dari suatu pemidanaan, hal
itu disebabkan MA keliru dalam mentapkan jumlah batasan denda tersebut, karena
uang sebesar itu mungkin tidak terlalu besar menurut pandangan warga
metropolitan, akan tetapi nominal uang itu akan sangat berharga bagi kalangan
bawah, khususnya mereka yang berpenghasilan dibawah Rp.1.500.000,00. Mahkamah Agung seharusnya memperhatikan
hal-hal ini guna mencapai kesempurnaan yang dinginkan dari tujuan restorative justice, karena teori tujuan
pemidanaan ini menginginkan adanya keseimbangan pemulihan antara pihak
tersangka dan korban. Dengan penetapan jumlah batasan denda ini maka esensi
dari teori tujuan pemidanaan ini seakan diabaikan dengan hanya memperhatikan
keadilan yang berpihak kepada para tersangka, tanpa menyeimbangkan perwujudan
keadilan bagi para korban, khususnya mereka kaum “yang terlemahkan.”
B.
Tinjauan Aspek Yuridis
Perma mengenai penyesuian batasan tindak
pidana ringan dan jumlah denda ini memang banyak menuai kritik, terutama dari
kalangan kepolisian, kejaksaan dan para ahli hukum pidana lainnya. Tinjauan
aspek filosofis akan hal ini telah penulis bahas di atas, selanjutnya penulis
akan memaparkan tinajauan kritis dari aspek yuridis berkaitan hal ini. Sebelum
melangkah lebih jauh mengenai tinjauan kritis ini, sejenak kita kembali
membahas akan esensi tindak pidana ringan beserta macam-macamnya. Di dalam Buku
II KUHPidana tidak ditempatkan rangkaian pasal Tipiring dalam satu bab
tersendiri melaikan letaknya tersebar pada berbagai bab dalam Buku II
KUHPidana. Pasal-pasal yang merupakan kejahatan ringan ini adalah sebagai
berikut:[7]
1. Penganiayaan hewan ringan (Pasal 302 ayat
[1] KUHPidana)
2. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHPidana)
3. Penganiayaan ringan (Pasal 352 ayat [1] KUHPidana)
4. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHPidana)
5. Penggelapan ringan (Pasal 373 KUHPidana)
6. Penipuan ringan (Pasal 379 KUHPidana)
7. Perusakan ringan (Pasal 482 KUHPidana)
Namun dalam tulisan ini penulis hanya
membahas poin 4-7 dari beberapa kategori Tipiring di atas, karena perihal
tersebut memiliki keterkaitan pembahasan dengan tinjauan penulis akan batasan
jumlah denda yang ditetapkan dalam Perma No. 02 Tahun 2012.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yaitu undang –undang No. 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, dibedakan antara tiga macam acara pemerikasaan, yaitu:
1. Acara Pemeriksaan Biasa
2. Acara Pemeriksaan Singkat
3. Acara Pemeriksaan Cepat, yang terdiri
dari:
a. Acara Pemerikasaan Tindak Pidana Ringan;
dan
b. Acara Pemeriksaan Perkara pelanggaran
Lalu Lintas Jalan.
Mengenai Tipiring, dalam pasal 205 ayat
(1) KUHAP, dikatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan Tipiring
ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3
bulan atau denda sebanyak-banyak Rp. 7.500,00 dan penghinaan ringan.
Perbedaan antara Perma tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP yang
dikeluarkan oleh MA, dengan KUHAP tentang Tipiring itu sendiri. Perma
menekankan Tipiring itu sendiri pada batasan nilai uang dengan jumlah Rp.
2.500.000,00 sedangkan di dalam KUHAP menekankan Tipiring pada jumlah kurungan
paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00. Perma tersebut diakui
di dalam hierarki peraturan perundang-undangan[8],
akan tetapi Perma tersebut hanya dikeluarkan sepihak yang berimplikasi dalam
penegakan hukum yang bersifat parsial. Karena peraturan yang dikeluarkan oleh
MA seharusnya ada koordinasi lebih jauh antara MA, Kepolisian, dan juga
Kejaksaan agar ada singkronisasi antara penegak hukum lainnya.
Dari pada hal
itu, masalah penahanan juga merupakan problem yang kami ragukan keabsahannya.
Memang dalam KUHAP penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang
ancaman hukumannya lima tahun atau lebih[9], berdasarkan hal ini maka
tindak pidana ringan tidak dapat dikenakan penahanan, karena ancaman pidananya
adalah 3 bulan penjara. Jika kita mendalami lebih dalam lagi apakah para pelaku
tindak pidana dengan ancaman dibawah lima tahun sudah dapat dijamin
keamanannya, demikian juga dengan alasan subjektif dan objektif yang
dikhawatirkan dapat terlaksana dengan ditiadakannya penahanan[10], apalagi sering ada
kebiasaan di antara penyidik dan kejaksaan bahwa para pelaku Tipiring tidak
memiliki tempat tinggal tetap (T4). Maka dengan ini pada RUU KUHP dan KUHAP
kelak penulis berharap akan diperhatikannya hal-hal yang demikian ini, karena
kitab yang hendak di jadikan pacuan dan pedoman adalah merupakan kesatuan yang
tidak terpisahkan, sehingga hal-hal yang dianggap kecil perlu juga untuk
mendapat perlindungan hak yang tegas dan tanpa tebang pilih.
C.
Tinjauan
Aspek Sosiologis
Ketika dalam
sebuah penegakkan hukum hanya dilihat dari ukuran nilai uang, terlebih pada
saat Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02
Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
dalam KUHP. Hal tersebut hanya akan bersifat parsial, tidak komprehensif dan holistik
mengapa demikian?
Pertama, fakta di lapangan menunjukkan
bahwa masyarakat mempunyai tingkat pendapatan yang berbeda-beda, ketika banyak perbedaan pendapatan ditiap wilayah.[11] Setelah dikeluarkannya perma tersebut MA
menyatakan bahwa suatu tindak pidana baru bisa dikatakan Tindak Pidana Ringan
(Tipiring) ketika angkanya dibawah Rp. 2.500.000,00. Mungkin masyarakat kota
yang mempunyai pendapatan yang cukup besar, ketika hartanya dicuri oleh orang
lain berjumlah Rp. 100.000,00 dia hanya mengatakan “biarkan saja”, namun ketika
masyarakat desa uangnya dicuri dengan nilai yang sama padahal uang tersebut
sangat berarti baginya, dan ujung-ujungnya pelaku hanya dikenai Tipiring. Hal
ini akan berimplikasi mencederai rasa keadilan masyarakat, karena Perma
tersebut hanya melindungi pelaku, akan tetapi tidak bisa melindungi korban itu
sendiri.
Kedua,
terdapat sebuah kasus Tipiring pada bulan Juli 2012 terjadi pencurian yang
dilakukan oleh Abdul Rohman dan rekannya Mudzakir, Jaksa Penuntut Umum Mendakwa
dengan Pasal 363 KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara dan pada akhirnya
divonis 4 bulan penjara[12].Dalam
Kasus ini terdakwa dinyatakan bersalah berdasarkan unsur-unsur yang tertuang
dalam pasal 363 KUHP. Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
Pencurian
dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih, telah terpenuhi berdasarkan keterangan saksi, terdakwa dan barang
bukti sebagai berikut :
1. Saksi Mudjiono menerangkan bahwa pencurian yang terjadi pada hari
Sabtutanggal 14 April 2012 sekitar jam 10.00 Wib di dalam Toko Bangunan LeoJl.
Raya Talang Suko milik Sdr. Warsito dilakukan oleh dua orang yaituterdakwa
Abdur Rohman dan Mudzakir.
2.
Saksi
Mudjiono menerangkan bahwa terdakwa mudzakir masuk toko lewatdepan sedangkan
rekannya Abdur Rohman masuk lewat pintu samping dankeluar sambil memasukkan
uang ke kantong kanan celananya.
3.
Terdakwa
Abdur Rohman mengaku pada saat melakukan pencurian tersebutmengambil uang di
dalam toko tersebut sedangkan rekannya Mudzakirbertugas mengalihkan perhatian
penjaga toko dengan berpura-pura membelibarang.
4.
Terdakwa
Mudzakir mengakui pada saat melakukan pencurian tersebutbertugas mengalihkan
perhatian penjaga toko dengan berpura-pura membelibarang agar Abdur Rohman
dapat masuk ke dalam toko tersebut lewat pintusamping untuk mengambil uang.
Terbukti pada
sebuah kasus diatas Perma yang dikeluarkan oleh MA tidak efektif, karena Perma
yang dikeluarkan oleh MA hanya berlaku kepada hakim dan sifatnya parsial.
Sedangkan, Kejaksaan masih saja menggunakan dakwaan seperti biasa kepada
terdakwanya di dalam penuntutan. Oleh karena itu, seharusnya perlu peninjauan
lebih jauh dan memerlukan kajian yang lebih mendalam terhadap Perma tersebut.
Ketiga, hukum bukan suatu institusi yang
selesai, tetapi sesuatu yang diwujudkan secara terus menerus, oleh karena itu
ketika Perma ini dikeluarkan sesuatu baru bisa dikatakan Tipiring apabila
jumlahnya di bawah kisaran Rp. 2.500.000,00. Namun seperti kita ketahui bahwa
nilai uang terus mengalami fluktuasi,
hal tersebut akan berimplikasi pada “kegamangan” hakim dalam mengambil
keputusan untuk menentukan kisaran nilia uang Tipiring tersebut. Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa “Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan
hukum itu tidak untuk dirinya sendiri; melainkan untuk sesuatu yang lebih luas,
yaitu, untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan
manusia”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tindak Pidana Ringan (Tipiring) menurut
KUHP dan KUHAP ialah bisa dikatakan Tipiring apabila kurungan paling lama 3
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.7.500,00.
2. Sedangkan menurut Peraturan Mahkamah Agung
No. 02 Tahun 2012 yang dimaksud Tipiring ialah apabila nilainya kurang dari Rp.
2.500.000,00.
3. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yaitu undang –undang No. 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, dibedakan antara tiga macam acara pemerikasaan, yaitu:
a. Acara Pemeriksaan Biasa
b. Acara Pemeriksaan Singkat
c. Acara Pemeriksaan Cepat, yang terdiri
dari:
1) Acara Pemerikasaan Tindak Pidana Ringan;
dan
2) Acara Pemeriksaan Perkara pelanggaran
Lalu Lintas Jalan.
B. Rekomendasi
1. Melaksanakan revisi kembali terhadap
Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2012, dengan memperhatikan hal-hal
berikut:
a. Pendapatan per kapita masyarakat di kota
dan di desa.
b. Tingkat kemiskinan di setiap wilayah.
c. Perlindugan yang setara terhadap korban dan
tersangka.
2. Melakukan koordinasi dengan kepolisian dan
kejaksan perihal penahanan dan besar jumlah denda tersebut.
C. Lampiran
Ini adalah daftar lengkap UMR / UMP 2013 untuk
seluruh Indonesia, dimana didalamnya terdapat provinsi DKI Jakarta, Jawa,
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan.
- DKI Jakarta sebesar Rp 2.200.000,
- Kalimantan Barat sebesar Rp 1.060.000,
- Kalimantan Selatan sebesar Rp1.337.500,
- Kalimantan Tengah sebesar Rp 1.553.127
- Kalimantan Timur sebesar Rp 1.762.073,
- Nangroe Aceh Darussalam sebesar Rp 1.550.000,
- Sumatera Utara sebesar Rp1.305.000,
- Sumatera Barat sebesar Rp 1.350.000,
- Kepulauan Riau sebesar Rp 1.365.087,
- Jambi sebesar Rp1.300.000,
- Bangka Belitung sebesar Rp1.265.000,
- Bengkulu sebesar Rp1.200.000,
- Sulawesi Tenggara sebesar Rp1.125.207,
- Sulawesi Selatan sebesar Rp1.440.000,
- Propinsi Papua sebesar Rp1.710.000.
- Semarang : Rp 1.209.100
- Kabupaten Demak : Rp 995.000
- Kabupaten Kudus : Rp 990.000
- Kabupaten Jepara : Rp 875.000
- Kabupaten Pati : Rp 927.600
- Kabupaten Rembang : Rp 896.000
- Kabupaten Boyolali : Rp 895.000
- Kota Surakarta : Rp 915.900
- Kabupaten Sukoharjo : Rp 902.000
- Kabupaten Sragen : Rp 864.000
- Kabupaten Karanganyar : Rp 896.500
- Kabupaten Wonogiri : Rp 830.000
- Kabupaten Klaten : Rp 871.500
- Kabupaten Kendal : Rp 953.100
- Kabupaten Semarang : Rp 1.051.000
- Kota Salatiga : Rp 974.000
- Kabupaten Grobogan : Rp 842.000
- Kabupaten Blora : Rp 932.000
- Kota Magelang : Rp 901.500
- Kabupaten Magelang: Rp 942.000
- Kabupaten Purworejo: Rp 849.000
- Kabupaten Temanggung : Rp 940.000
- Kabupaten Wonosobo : Rp 880.000
- Kabupaten Kebumen : Rp 835.000
- Kabupaten Banyumas : Rp 877.500
- Kabupaten Purbalingga : Rp 896.500
- Kabupaten Batang : Rp 970.000
- Kota Pekalongan : Rp 980.000
- Kabupaten Pekalongan : Rp 962.000
- Kabupaten Pemalang : Rp 908.000
- Kota Tegal : Rp 860.000
- Kabupaten Tegal : Rp 850.000
- Kabupaten Brebes : Rp 859.000
- Cilacap Kota: Rp 986.000
- Cilacap Timur : Rp 861.000
- Cilacap Barat : Rp 816.000
- Kabupaten Banjarnegara : Rp 835.000
|
Jumlah
dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan,
Indeks
Kedalaman Kemiskinan (PI) dan Indeks Keparahan (P2) Menurut Provinsi, September
2012[13]
|
|
|
|
|
|
|
Propinsi
|
Jumlah
Penduduk Miskin (000)
|
Persentase
Penduduk Miskin (%)
|
||||
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
|
Aceh
|
165.40
|
711.10
|
876.60
|
12.47
|
20.97
|
18.58
|
Sumatera
Utara
|
669.40
|
709.10
|
1,378.40
|
10.28
|
10.53
|
10.41
|
Sumatera
Barat
|
124.30
|
273.60
|
397.90
|
6.45
|
8.99
|
8.00
|
Riau
|
156.40
|
324.90
|
481.30
|
6.68
|
8.94
|
8.05
|
Jambi
|
105.30
|
164.70
|
270.10
|
10.53
|
7.29
|
8.28
|
Sumatera
Selatan
|
367.60
|
674.40
|
1,042.00
|
13.29
|
13.58
|
13.48
|
Bengkulu
|
92.70
|
217.80
|
310.50
|
16.89
|
17.80
|
17.51
|
Lampung
|
237.90
|
981.10
|
1,219.00
|
11.88
|
16.96
|
15.65
|
Bangka
Belitung
|
24.00
|
46.20
|
70.20
|
3.73
|
6.96
|
5.37
|
Kepulauan
Riau
|
106.60
|
24.60
|
131.20
|
6.77
|
7.08
|
6.83
|
DKI Jakarta
|
366.80
|
-
|
366.80
|
3.70
|
0.00
|
3.70
|
Jawa Barat
|
2,560.00
|
1,861.50
|
4,421.50
|
8.71
|
12.13
|
9.89
|
Jawa Tengah
|
1,946.50
|
2,916.90
|
4,863.40
|
13.11
|
16.55
|
14.98
|
DI Yogyakarta
|
306.50
|
255.60
|
562.10
|
13.10
|
21.29
|
15.88
|
Jawa Timur
|
1,606.00
|
3,354.60
|
4,960.50
|
8.90
|
16.88
|
13.08
|
Banten
|
333.50
|
314.80
|
648.30
|
4.41
|
8.31
|
5.71
|
Bali
|
93.20
|
67.70
|
161.00
|
3.81
|
4.17
|
3.95
|
Nusa Tenggara
Barat
|
415.40
|
412.90
|
828.30
|
21.65
|
15.41
|
18.02
|
Nusa Tenggara
Timur
|
117.40
|
882.90
|
1,000.30
|
12.21
|
22.41
|
20.41
|
Kalimantan
Barat
|
74.20
|
281.50
|
355.70
|
5.49
|
9.04
|
7.96
|
Kalimantan
Tengah
|
32.30
|
109.60
|
141.90
|
4.21
|
7.19
|
6.19
|
Kalimantan
selatan
|
56.50
|
132.70
|
189.20
|
3.56
|
6.07
|
5.01
|
Kalimantan
Timur
|
91.50
|
154.60
|
246.10
|
3.82
|
10.56
|
6.38
|
Sulawesi
Utara
|
66.80
|
110.70
|
177.50
|
6.36
|
8.69
|
7.64
|
Sulawesi
Tengah
|
60.20
|
349.40
|
409.60
|
9.02
|
16.85
|
14.94
|
Sulawesi
Selatan
|
133.60
|
672.30
|
805.90
|
4.44
|
12.93
|
9.82
|
Sulawesi
Tenggara
|
29.60
|
274.70
|
304.30
|
4.62
|
16.24
|
13.06
|
Gorontalo
|
17.80
|
169.90
|
187.70
|
4.80
|
23.63
|
17.22
|
Sulawesi
Barat
|
29.10
|
131.50
|
160.60
|
10.03
|
13.92
|
13.01
|
Maluku
|
51.10
|
287.80
|
338.90
|
8.39
|
28.12
|
20.76
|
Maluku Utara
|
8.70
|
79.60
|
88.30
|
2.92
|
9.98
|
8.06
|
Papua Barat
|
13.30
|
210.00
|
223.20
|
5.36
|
36.33
|
27.04
|
Papua
|
48.10
|
928.30
|
976.40
|
5.81
|
39.39
|
30.66
|
Indonesia
|
10,507.80
|
18,086.90
|
28,594.60
|
8.60
|
14.70
|
11.66
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Sumber: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=1.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hamzah, Andi, KUHP
dan KUHAP, (Jakarta:Rineka Cipta 2010).
Nitibaskara, Ronny Rahman. Tegakkan Hukum Gunakan
Hukum. Jakarta: Kompas Media
Nusantara. 2007
Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi Dalam Hukum
Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010) hlm. 109
Rahardjo, Satjipto. Hukum
dan Prilaku. Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2009.
…………………,Penegakan Hukum
Progresif. Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2009
Artikel
Febriadi, “Kontribusi Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP Untuk
Penjatuhan Vonis Tindak Pidana Ringan”, Artikel
Ilmiah, Malang, 2013, hlm. 7.
Internet
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=1
[1] Lihat konsiderans Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2012.
[2]Lihat Pasal 1 Perma tersebut.
[3] Lihat juga Pasal 3.
[6]Kaum Abolisionis adalah gerakan akademis yang menampakkan
dirinya sekitar tahun 1985 di Viennna, Austria pada The Ninth World
Conference on Criminology. Gerakan ini dipengaruhi oleh pandangan
kriminology kritis seperti Labeling Approach. Tokoh-tokohnya antara lain, L.
Hulsman, H. Bianchi, Mils Christie, dan Thomas Mathiesen. Gerakan yang mendasar
dari kaum ini adalan penolakannya terhadap sarana koersif yang berupa sarana
penal dan diganti dengan sarana reparatif.
[8]Lihat Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
[12]Febriadi, “Kontribusi
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP Untuk Penjatuhan Vonis
Tindak Pidana Ringan”, (Artikel Ilmiah, Malang, 2013), hlm. 7.
[13]Sumber: Diolah dari Susenas Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar