Rabu, 11 September 2013

Tinjauan Komprehensif Terhadap Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP Untuk Penjatuhan Vonis Tindak Pidana Ringan



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Secara historis Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) ini muncul lebih dikarenakan adanya tekanan masyarakat yang menilai bahwasanya pelaku pencurian yang nilainya tidak “seberapa” dibandingkan dengan pelaku yang nilainya lebih besar terhadap prosesnya dianggap sama saja, bahkan ketika hakim memutus suatu perkara masyarakat banyak yang menganggap “maling ayam” lebih berat hukumannya dibandingkan “maling kelas kakap” yang hukumannya jauh lebih ringan. Dan juga Perma ini muncul dikarenakan jumlah rupiah pada saat ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman pada saat ini, karena jumlah rupiah pada saat ini mengalami penurunan yang sangat pesat ±10.000 kali jika dibandingkan harga emas pada saat ini[1], oleh karena itu kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua jua lima ratus ribu rupiah)[2] dan denda yang dikenakan juga dilipatgandakan menjadi seribu kali lipat[3]. Dengan pembatasan nominal Tipiring ini, masyarakat mengharapkan hukuman yang dijatuhkan hakim juga bersifat ringan. Sifat “ringan” dari tindak pidana ini banyak menimbulkan asumsi bahwasanya akan ada pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan esensi dari tindak pidana ringan itu sendiri. Apakah sebenarnya esensi dari Tipiring dan bagaimana prosedur pemeriksaan Tipiring pada saat Pasca dikeluarkannya Perma ini oleh Mahkamah Agung (MA).

B. Rumusan Masalah
1.    Apa esensi Tindak Pidana Ringan (Tipiring)?
2.  Bagaimana relevansi penerapan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012 ditinjau dari aspek filosofis, yuridis dan sosiologis (tinjauan kritis)?
3.    Bagaimana peran penegak hukum lainnya setelah terbit Perma tersebut?

C. Tujuan
1. Memahami arti dari Tindak Pidana Ringan (Tipiring).
2. Memahami kedudukan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun                2012.                                                                      
3. Memahami Perma tersebut sebagai sumber hukum.

D. Metode Penulisan
    Metode penulisan karya tulis ini menggunakan metode studi kepustakaan, dengan mempelajari       buku yang berkaitan dengan tema ini, himpunan peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel hukum. Selain itu penulis mendapatkan sumber penulisan dari internet.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tinjauan Aspek Filosofis
Apabila para ahli hukum membicarakan bahwa pencurian itu adalah suatu tindak pidana, maka para filsuf tidak hanya membicarakan hal-hal yang demikian adanya, karena akan selalu terbentuk dalam ide-ide imajinatif mereka akan pertanyaan-pertanyaan berikut yang bersifat spekulatif dan mendalam, yaitu mengapa pencurian digolongkan dalam tindak pidana yang dilarang! Seberapa besar dan kecilkah suatu pencurian itu hingga dapat dipidana? Mengapa delik  pencurian dapat dikenakan sanksi pidana penjara, kurungan, dan denda?. Begitu pula dengan pengkategorian suatu tindak pidana,  para ahli hukum pidana mungkin hanya berbicara sekitar pembagiannya, penerapan sanksinya, dan pelaksanaanya. Hal ini sangatlah berbeda dengan materi yang selalu dibicarakan para ahli hukum dalam filsafat pemidanaan, yang selalu mengkaji tentang ide-ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman  tentang hakikat  pemidanaan sebagai tanggungjawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana  dan otoritas publik  kepada Negara  berdasarkan atas  hukum  untuk melakukan pemidanaan. Sehingga jelas besar kecilnya dan efektif atau tidakkah suatu pemidanaan yang dijatuhkan terhadap suatu delik.
            Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai aturan pembatasan sanksi pidana denda dalam tindak pidana ringan, penulis hendak mengajak terlebih dahulu untuk mengulas kembali pemahaman mengenai fungsi filsafat pemidanaan dalam perkembangannya. Filsafat pemidanaan mempunyai dua fungsi.
Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan.       
Kedua, fungsi teori dalam hal ini sebagai meta teori. Maksudnya, filsafat pemidanaan  berfungsi sebagai teori  yang mendasari dan melatar belakangi setiap teori pemidanaan. Bedasarkan kedua fungsi di atas  dalam proses implementasinya, penetapan sanksi pidana dan tindakan merupakan aktivitas  program legislasi dan/atau yudikasi untuk menormatifkan jenis dan bentuk  sanksi (pemidanaan) sebagai landasan keabsahan penegakan hukum melalui penerapan  sanksi.[4]
            Dari kedua fungsi tersebut terlihat jelas begitu pentingnya pembelajaran dan pengkajian pemidanaan dari segi filsafat. Karena dengan berfilsafat kita dapat melengkapi tiap celah kekurangan dalam proses legislasi pemidanaannya, terutama proses yudikasi dan pelakasanaannya. Sehingga dengan berpedoman dengan filsafat pemidanaan tersebut kita mengetahui untuk apa ada pemidanaan dan apa sebenarnya hakikat tujuan pemidanaan tersebut. Maka ketika berbicara masalah tujuan hukum maka hal itu tidak akan lari dari bangunan segitiga yang selalu bertemu ditiap sisinya akan tetapi selalu dipertentangkan dan diperdebatkan yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Begitu juga halnya dengan tujuan pemidanaan yang selalu bertemu dilain sisi yang pada hakikatnya memiliki efesiensi yang berbeda-beda. Akan tetapi dalam kesempatan ini hanya akan dibahas mengenai ”model keadilan” yang selama ini sering dibicarakan dalam tujuan pemidanaan.
            Dalam hal pemidanaan ”Model Keadilan” yang dikatakan Sue Titus Reid sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan. Model ini disebut pendekatan keadilan atau model just desert (ganjaran setimpal) yang didasarkan atas dua teori (tujuan) pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. Juga dianggap bahwa sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal itu melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan juga mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. Sehubungan dengan model keadilan yang didasarkan pada tujuan pencegahan dan retribusi, Gerry A. Ferguson mengatakan bahwa pencegahan bertujuan mencegah pengulangan pelanggaran dikemudian hari. Sedangkan retribusi memusatkan pada kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan kriminal pelanggar dan dimaksudkan untuk memastikan si pelanggar membayar tindak pidana yang dilakukannya. Ganjaran yang setimpal menjelaskan konsepsi bahwa alasan retribusi yang mendasari bukan balas dendam, namun lebih tepatnya adalah beratnya sanski seharussnya didasarkan atas beratnya perbuatan si pelanggar. Dengan demikian, sanksi ganjaran yang setimpal harus sebanding dengan perbuatan si pelanggar dan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar.[5]
            Di samping just desert model, terdapat model lain yang dikenal sebagai restorative justice model. Model ini diajukan oleh kaum Abolisionis,[6] yang sering diperdebatkan dan diuji efesiensinya dengan model keadilan lainnya, yaitu retributive justice atau keadilan yang berbasis pada filsafat pembalasan. Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunikasi secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang koperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka lama mereka. Di samping itu juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.
            Akan tetapi apabila penulis mencermati hingga saat ini salinan dan substansi KUHP kita masih mengandung nilai-nilai tujuan pembalasan (retributive justice), apalagi bila dikaitkan dengan proses peradilan yang serba cenderung korup yang tumpul terhadap kaum elit dan tajam terhadap kaum jelata. Sehingga menurut penulis, diperlukan dalam susunan RUU KUHP kelak untuk mencantumkan nilai-nilai perpaduan antar kedua tujuan tersebut, agar terlaksanya sistem peradilan pidana yang efesien, kondusif, dan berkeadilan. Keterpaduan kedua tujuan tersebut nantinya akan menjamin hak antara korban, pelaku, dan masyarakat dikarenakan tujuan pembalasan akan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan pembalasan yang setimpal, sedangkan tujuan restorasi akan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai antara kedua belah pihak yang bersangkutan khususnya dan dalam masyarakat pada umumnya. Tidak berhenti disitu, kedua tujuan tersebut akan menyediakan sarana rehabilitasi dan resosialisasi ketika si korban dan pelaku hendak kembali ke masyarakat. Apabila ini semua terlaksana penulis yakin bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia akan menjadi contoh dan tolah ukur bagi sistem peradilan pidana di mancanegara.
            Kembali mengenai pembahasan penyesuaian Tipiring dan jumlah denda yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung melalui Perma No. 02 Tahun 2012, penulis menilai adanya kesenjangan yang sangat terlihat khususnya penentuan ukuran jumlah denda yang diterapkan dalam  Perma tersebut. Dengan ini MA terkesan terburu-buru dan tidak merenungkan hal demikian secara mendalam. Penetapan jumlah batasan denda sebesar Rp. 2.500.000,00 tersebut sangatlah tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan yang selama ini menjadi tujuan dari suatu pemidanaan, hal itu disebabkan MA keliru dalam mentapkan jumlah batasan denda tersebut, karena uang sebesar itu mungkin tidak terlalu besar menurut pandangan warga metropolitan, akan tetapi nominal uang itu akan sangat berharga bagi kalangan bawah, khususnya mereka yang berpenghasilan dibawah Rp.1.500.000,00. Mahkamah Agung seharusnya memperhatikan hal-hal ini guna mencapai kesempurnaan yang dinginkan dari tujuan restorative justice, karena teori tujuan pemidanaan ini menginginkan adanya keseimbangan pemulihan antara pihak tersangka dan korban. Dengan penetapan jumlah batasan denda ini maka esensi dari teori tujuan pemidanaan ini seakan diabaikan dengan hanya memperhatikan keadilan yang berpihak kepada para tersangka, tanpa menyeimbangkan perwujudan keadilan bagi para korban, khususnya mereka kaum “yang terlemahkan.”

B.     Tinjauan Aspek Yuridis
Perma mengenai penyesuian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda ini memang banyak menuai kritik, terutama dari kalangan kepolisian, kejaksaan dan para ahli hukum pidana lainnya. Tinjauan aspek filosofis akan hal ini telah penulis bahas di atas, selanjutnya penulis akan memaparkan tinajauan kritis dari aspek yuridis berkaitan hal ini. Sebelum melangkah lebih jauh mengenai tinjauan kritis ini, sejenak kita kembali membahas akan esensi tindak pidana ringan beserta macam-macamnya. Di dalam Buku II KUHPidana tidak ditempatkan rangkaian pasal Tipiring dalam satu bab tersendiri melaikan letaknya tersebar pada berbagai bab dalam Buku II KUHPidana. Pasal-pasal yang merupakan kejahatan ringan ini adalah sebagai berikut:[7]
1.    Penganiayaan hewan ringan (Pasal 302 ayat [1] KUHPidana)
2.    Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHPidana)
3.    Penganiayaan ringan (Pasal 352 ayat [1] KUHPidana)
4.    Pencurian ringan (Pasal 364 KUHPidana)
5.    Penggelapan ringan (Pasal 373 KUHPidana)
6.    Penipuan ringan (Pasal 379 KUHPidana)
7.    Perusakan ringan (Pasal 482 KUHPidana)
Namun dalam tulisan ini penulis hanya membahas poin 4-7 dari beberapa kategori Tipiring di atas, karena perihal tersebut memiliki keterkaitan pembahasan dengan tinjauan penulis akan batasan jumlah denda yang ditetapkan dalam Perma No. 02 Tahun 2012.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu undang –undang No. 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dibedakan antara tiga macam acara pemerikasaan, yaitu:
1.      Acara Pemeriksaan Biasa
2.      Acara Pemeriksaan Singkat
3.      Acara Pemeriksaan Cepat, yang terdiri dari:
a.       Acara Pemerikasaan Tindak Pidana Ringan; dan
b.      Acara Pemeriksaan Perkara pelanggaran Lalu Lintas Jalan.
Mengenai Tipiring, dalam pasal 205 ayat (1) KUHAP, dikatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan Tipiring ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyak Rp. 7.500,00 dan penghinaan ringan.
Perbedaan antara Perma tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP yang dikeluarkan oleh MA, dengan KUHAP tentang Tipiring itu sendiri. Perma menekankan Tipiring itu sendiri pada batasan nilai uang dengan jumlah Rp. 2.500.000,00 sedangkan di dalam KUHAP menekankan Tipiring pada jumlah kurungan paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00. Perma tersebut diakui di dalam hierarki peraturan perundang-undangan[8], akan tetapi Perma tersebut hanya dikeluarkan sepihak yang berimplikasi dalam penegakan hukum yang bersifat parsial. Karena peraturan yang dikeluarkan oleh MA seharusnya ada koordinasi lebih jauh antara MA, Kepolisian, dan juga Kejaksaan agar ada singkronisasi antara penegak hukum lainnya.
Dari pada hal itu, masalah penahanan juga merupakan problem yang kami ragukan keabsahannya. Memang dalam KUHAP penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih[9], berdasarkan hal ini maka tindak pidana ringan tidak dapat dikenakan penahanan, karena ancaman pidananya adalah 3 bulan penjara. Jika kita mendalami lebih dalam lagi apakah para pelaku tindak pidana dengan ancaman dibawah lima tahun sudah dapat dijamin keamanannya, demikian juga dengan alasan subjektif dan objektif yang dikhawatirkan dapat terlaksana dengan ditiadakannya penahanan[10], apalagi sering ada kebiasaan di antara penyidik dan kejaksaan bahwa para pelaku Tipiring tidak memiliki tempat tinggal tetap (T4). Maka dengan ini pada RUU KUHP dan KUHAP kelak penulis berharap akan diperhatikannya hal-hal yang demikian ini, karena kitab yang hendak di jadikan pacuan dan pedoman adalah merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga hal-hal yang dianggap kecil perlu juga untuk mendapat perlindungan hak yang tegas dan tanpa tebang pilih.

C.    Tinjauan Aspek Sosiologis
            Ketika dalam sebuah penegakkan hukum hanya dilihat dari ukuran nilai uang, terlebih pada saat Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Hal tersebut hanya akan bersifat parsial, tidak komprehensif dan holistik mengapa demikian?
            Pertama, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai tingkat pendapatan yang berbeda-beda, ketika banyak perbedaan pendapatan ditiap wilayah.[11]  Setelah dikeluarkannya perma tersebut MA menyatakan bahwa suatu tindak pidana baru bisa dikatakan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) ketika angkanya dibawah Rp. 2.500.000,00. Mungkin masyarakat kota yang mempunyai pendapatan yang cukup besar, ketika hartanya dicuri oleh orang lain berjumlah Rp. 100.000,00 dia hanya mengatakan “biarkan saja”, namun ketika masyarakat desa uangnya dicuri dengan nilai yang sama padahal uang tersebut sangat berarti baginya, dan ujung-ujungnya pelaku hanya dikenai Tipiring. Hal ini akan berimplikasi mencederai rasa keadilan masyarakat, karena Perma tersebut hanya melindungi pelaku, akan tetapi tidak bisa melindungi korban itu sendiri.
            Kedua, terdapat sebuah kasus Tipiring pada bulan Juli 2012 terjadi pencurian yang dilakukan oleh Abdul Rohman dan rekannya Mudzakir, Jaksa Penuntut Umum Mendakwa dengan Pasal 363 KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara dan pada akhirnya divonis 4 bulan penjara[12].Dalam Kasus ini terdakwa dinyatakan bersalah berdasarkan unsur-unsur yang tertuang dalam pasal 363 KUHP. Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
Pencurian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih, telah terpenuhi berdasarkan keterangan saksi, terdakwa dan barang bukti sebagai berikut :
1.      Saksi Mudjiono menerangkan bahwa pencurian yang terjadi pada hari Sabtutanggal 14 April 2012 sekitar jam 10.00 Wib di dalam Toko Bangunan LeoJl. Raya Talang Suko milik Sdr. Warsito dilakukan oleh dua orang yaituterdakwa Abdur Rohman dan Mudzakir.
2.      Saksi Mudjiono menerangkan bahwa terdakwa mudzakir masuk toko lewatdepan sedangkan rekannya Abdur Rohman masuk lewat pintu samping dankeluar sambil memasukkan uang ke kantong kanan celananya.
3.      Terdakwa Abdur Rohman mengaku pada saat melakukan pencurian tersebutmengambil uang di dalam toko tersebut sedangkan rekannya Mudzakirbertugas mengalihkan perhatian penjaga toko dengan berpura-pura membelibarang.
4.      Terdakwa Mudzakir mengakui pada saat melakukan pencurian tersebutbertugas mengalihkan perhatian penjaga toko dengan berpura-pura membelibarang agar Abdur Rohman dapat masuk ke dalam toko tersebut lewat pintusamping untuk mengambil uang.

            Terbukti pada sebuah kasus diatas Perma yang dikeluarkan oleh MA tidak efektif, karena Perma yang dikeluarkan oleh MA hanya berlaku kepada hakim dan sifatnya parsial. Sedangkan, Kejaksaan masih saja menggunakan dakwaan seperti biasa kepada terdakwanya di dalam penuntutan. Oleh karena itu, seharusnya perlu peninjauan lebih jauh dan memerlukan kajian yang lebih mendalam terhadap Perma tersebut.
            Ketiga, hukum bukan suatu institusi yang selesai, tetapi sesuatu yang diwujudkan secara terus menerus, oleh karena itu ketika Perma ini dikeluarkan sesuatu baru bisa dikatakan Tipiring apabila jumlahnya di bawah kisaran Rp. 2.500.000,00. Namun seperti kita ketahui bahwa nilai uang terus mengalami fluktuasi, hal tersebut akan berimplikasi pada “kegamangan” hakim dalam mengambil keputusan untuk menentukan kisaran nilia uang Tipiring tersebut. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak untuk dirinya sendiri; melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu, untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia”.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.      Tindak Pidana Ringan (Tipiring) menurut KUHP dan KUHAP ialah bisa dikatakan Tipiring apabila kurungan paling lama 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.7.500,00.
2.      Sedangkan menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2012 yang dimaksud Tipiring ialah apabila nilainya kurang dari Rp. 2.500.000,00.
3.      Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu undang –undang No. 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dibedakan antara tiga macam acara pemerikasaan, yaitu:
a.       Acara Pemeriksaan Biasa
b.      Acara Pemeriksaan Singkat
c.       Acara Pemeriksaan Cepat, yang terdiri dari:
1)      Acara Pemerikasaan Tindak Pidana Ringan; dan
2)      Acara Pemeriksaan Perkara pelanggaran Lalu Lintas Jalan.
B. Rekomendasi
1.      Melaksanakan revisi kembali terhadap Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2012, dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Pendapatan per kapita masyarakat di kota dan di desa.
b.      Tingkat kemiskinan di setiap wilayah.
c.       Perlindugan yang setara terhadap korban dan tersangka.
2.      Melakukan koordinasi dengan kepolisian dan kejaksan perihal penahanan dan besar jumlah denda tersebut.
C. Lampiran
Ini adalah daftar lengkap UMR / UMP 2013 untuk seluruh Indonesia, dimana didalamnya terdapat provinsi DKI Jakarta, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan.
  1. DKI Jakarta sebesar Rp 2.200.000,
  2. Kalimantan Barat  sebesar Rp 1.060.000,
  3. Kalimantan Selatan  sebesar Rp1.337.500,
  4. Kalimantan Tengah sebesar Rp 1.553.127
  5. Kalimantan Timur sebesar Rp 1.762.073,
  6. Nangroe Aceh Darussalam sebesar Rp 1.550.000,
  7.  Sumatera Utara sebesar Rp1.305.000,
  8.  Sumatera Barat  sebesar Rp 1.350.000,
  9.  Kepulauan Riau sebesar Rp 1.365.087,
  10.  Jambi sebesar Rp1.300.000,
  11.  Bangka Belitung  sebesar Rp1.265.000,
  12.  Bengkulu  sebesar Rp1.200.000,
  13.  Sulawesi Tenggara  sebesar Rp1.125.207,
  14.  Sulawesi Selatan  sebesar Rp1.440.000,
  15.  Propinsi Papua sebesar Rp1.710.000.
  16. Semarang : Rp 1.209.100
  17.  Kabupaten Demak : Rp 995.000
  18.  Kabupaten Kudus : Rp 990.000
  19.  Kabupaten Jepara : Rp 875.000
  20. Kabupaten Pati : Rp 927.600
  21.  Kabupaten Rembang : Rp 896.000
  22. Kabupaten Boyolali : Rp 895.000
  23. Kota Surakarta : Rp 915.900
  24. Kabupaten Sukoharjo : Rp 902.000
  25. Kabupaten Sragen : Rp 864.000
  26. Kabupaten Karanganyar : Rp 896.500
  27. Kabupaten Wonogiri : Rp 830.000
  28. Kabupaten Klaten : Rp 871.500
  29.  Kabupaten Kendal : Rp 953.100
  30.  Kabupaten Semarang : Rp 1.051.000
  31. Kota Salatiga : Rp 974.000
  32.  Kabupaten Grobogan : Rp 842.000
  33.  Kabupaten Blora : Rp 932.000
  34. Kota Magelang : Rp 901.500
  35. Kabupaten Magelang: Rp 942.000
  36. Kabupaten Purworejo: Rp 849.000
  37. Kabupaten Temanggung : Rp 940.000
  38. Kabupaten Wonosobo : Rp 880.000
  39. Kabupaten Kebumen : Rp 835.000
  40. Kabupaten Banyumas : Rp 877.500
  41. Kabupaten Purbalingga : Rp 896.500
  42. Kabupaten Batang : Rp 970.000
  43. Kota Pekalongan : Rp 980.000
  44. Kabupaten Pekalongan : Rp 962.000
  45. Kabupaten Pemalang : Rp 908.000
  46. Kota Tegal : Rp 860.000
  47. Kabupaten Tegal : Rp 850.000
  48. Kabupaten Brebes : Rp 859.000
  49. Cilacap Kota: Rp 986.000
  50. Cilacap Timur : Rp 861.000
  51. Cilacap Barat : Rp 816.000
  52. Kabupaten Banjarnegara : Rp 835.000











Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan,
Indeks Kedalaman Kemiskinan (PI) dan Indeks Keparahan (P2) Menurut Provinsi, September 2012[13]







Propinsi
Jumlah Penduduk Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin (%)
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
Aceh
165.40
711.10
876.60
12.47
20.97
18.58
Sumatera Utara
669.40
709.10
1,378.40
10.28
10.53
10.41
Sumatera Barat
124.30
273.60
397.90
6.45
8.99
8.00
Riau
156.40
324.90
481.30
6.68
8.94
8.05
Jambi
105.30
164.70
270.10
10.53
7.29
8.28
Sumatera Selatan
367.60
674.40
1,042.00
13.29
13.58
13.48
Bengkulu
92.70
217.80
310.50
16.89
17.80
17.51
Lampung
237.90
981.10
1,219.00
11.88
16.96
15.65
Bangka Belitung
24.00
46.20
70.20
3.73
6.96
5.37
Kepulauan Riau
106.60
24.60
131.20
6.77
7.08
6.83
DKI Jakarta
366.80
-
366.80
3.70
0.00
3.70
Jawa Barat
2,560.00
1,861.50
4,421.50
8.71
12.13
9.89
Jawa Tengah
1,946.50
2,916.90
4,863.40
13.11
16.55
14.98
DI Yogyakarta
306.50
255.60
562.10
13.10
21.29
15.88
Jawa Timur
1,606.00
3,354.60
4,960.50
8.90
16.88
13.08
Banten
333.50
314.80
648.30
4.41
8.31
5.71
Bali
93.20
67.70
161.00
3.81
4.17
3.95
Nusa Tenggara Barat
415.40
412.90
828.30
21.65
15.41
18.02
Nusa Tenggara Timur
117.40
882.90
1,000.30
12.21
22.41
20.41
Kalimantan Barat
74.20
281.50
355.70
5.49
9.04
7.96
Kalimantan Tengah
32.30
109.60
141.90
4.21
7.19
6.19
Kalimantan selatan
56.50
132.70
189.20
3.56
6.07
5.01
Kalimantan Timur
91.50
154.60
246.10
3.82
10.56
6.38
Sulawesi Utara
66.80
110.70
177.50
6.36
8.69
7.64
Sulawesi Tengah
60.20
349.40
409.60
9.02
16.85
14.94
Sulawesi Selatan
133.60
672.30
805.90
4.44
12.93
9.82
Sulawesi Tenggara
29.60
274.70
304.30
4.62
16.24
13.06
Gorontalo
17.80
169.90
187.70
4.80
23.63
17.22
Sulawesi Barat
29.10
131.50
160.60
10.03
13.92
13.01
Maluku
51.10
287.80
338.90
8.39
28.12
20.76
Maluku Utara
8.70
79.60
88.30
2.92
9.98
8.06
Papua Barat
13.30
210.00
223.20
5.36
36.33
27.04
Papua
48.10
928.30
976.40
5.81
39.39
30.66
Indonesia
10,507.80
18,086.90
28,594.60
8.60
14.70
11.66














Sumber: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=1.















DAFTAR PUSTAKA


Buku
Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, (Jakarta:Rineka Cipta 2010).
Nitibaskara, Ronny Rahman. Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Jakarta: Kompas Media
Nusantara. 2007
Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010) hlm. 109

Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Prilaku. Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2009.
…………………,Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2009

Artikel

Febriadi, “Kontribusi Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP Untuk Penjatuhan Vonis Tindak Pidana Ringan”, Artikel Ilmiah, Malang, 2013, hlm. 7.

Internet
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=1



[1] Lihat konsiderans Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2012.
[2]Lihat Pasal 1 Perma tersebut.
[3] Lihat juga Pasal 3.
                [4]Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010) hlm. 109
                [5]Ibid, hlm. 105-106
                [6]Kaum Abolisionis adalah gerakan akademis yang menampakkan dirinya sekitar tahun 1985 di Viennna, Austria pada The Ninth World Conference on Criminology. Gerakan ini dipengaruhi oleh pandangan kriminology kritis seperti Labeling Approach. Tokoh-tokohnya antara lain, L. Hulsman, H. Bianchi, Mils Christie, dan Thomas Mathiesen. Gerakan yang mendasar dari kaum ini adalan penolakannya terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif.
[7] Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta:Rineka Cipta 2010).
[8]Lihat Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[9] Lihat Pasal 21 Ayat (4) huruf a KUHAP.
[10] Lihat Pasal 21 Ayat (1) KUHAP.
[11] Lihat lampiran tabel.
[12]Febriadi, “Kontribusi Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP Untuk Penjatuhan Vonis Tindak Pidana Ringan”, (Artikel Ilmiah, Malang, 2013), hlm. 7.

[13]Sumber: Diolah dari Susenas Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar