Kamis, 21 November 2013

Makalah Tentang Pengertian dan Sifat Konstitusi

BAB I
PEMBAHASAN

A.  Arti dan Pengertian Konstitusi

            Istilah konstitusi itu sendiri pada mulanya berasal dari perkataan Yunani Kuno Politea dan perkataan bahasa latin, constitutio yang berkaitan dengan kata jus atau ius yang berarti “hukum atau prinsip”.[1] Di  zaman modern, bahasa yang biasa dijadikan sumber rujukan mengenai istilah ini adalah Inggris, Jerman, prancis, Italia, dan Belanda.  Untuk pengertian constitution dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda membedakan antara constitutie dan grondwet, sedangkan bahasa Jerman membedakan antara verfassung dan grundgesetz, bahkan dibedakan pula antara grundrecht dan grundgesetz seperti antara grondrecht dan grondwet dalam bahasa Belanda[2].
            Demikian pula dalam bahasa Prancis dibedakan antara Droit Constitutionnelle dan Loi Constitutionnelle. Istilah yang pertama identik dengan pengertian konstitusi, sedangkan yang kedua adalah undang-undang dasar dalam arti yang tertuang dalam naskah tertulis. Untuk pengertian konstitusi dalam arti undang-undang dasar, sebelum dipakainya istilah grondwet, di Belanda juga pernah dipakai istilah staatregeling. Namun atas prakarsa Gijsbert Karel Van Hogendorg, istilah grondwet dipakai untuk menggantikan istilah staatregeling. Dalam kamus Oxford Dictionary of law, perkataan constitution diartikan (versi bahasa Indonesia):
Artinya, yang dinamakan konstitusi itu tidak saja aturan yang tertulis, tetapi juga apa yang dipraktikkan dalam kegiatan penyelenggaraan negara, dan yang diatur itu tidak saja berkenaan dengan organ negara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah. Tetapi juga mekanisme hubungan antara negara atau organ negara itu dengan warga negara
             Sedangkan menurut makna katanya, Konstitusi berarti dasar susunan badan politik yang bernama negara. Konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur dan memerintah negara.
K.C Wheare mengatakan:

Istilah constitution pada umumnya digunakan untuk menunjuk kepada seluruh peraturan mengenai ketatanegaraan suatu negara yang secara keseluruhan akan menggambarkan sistem ketatanegaraannya. Sistem ketatanegaraan tersebut terbagi ke dalam dua golongan, yaitu peraturan berderajat legal (law) dan berderajat nonlegal (extralegal).
Sedangkan dalam pandangan Bolingbroke:

Yang dimaksud dengan konstitusi jika berbicara dengan cermat dan tepat, adalah kumpulan hukum, lembaga dan kebiasaan, yang berasal dari prinsip-prinsip tertentu …yang menyusun sistem umum, dan masyarakat setuju untuk diperintah dengan sistem itu.[3]

            Berdasarkan pendapat tersebut, maka pada dasarnya peraturan-peraturan (konstitusi) ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, berupa UUD dan UU dan ada yang tidak tertulis berupa usages, understanding, custums atau convention.
            Namun demikian dalam beberapa literatur hukum tata negara arti konstitusi itu kadang-kadang dirumuskan sebagai perspektif mengenai konsepsi konsititusi yang dibedakan dari arti perkataan konstitusi itu sendiri. Sebagaimana dihimpun oleh Prof. Harun Alrasid ada tiga arti yang dapat diberikan kepada konsepsi konstittusi , yaitu: konsititusi dalam arti materil, konsititusi dalam arti formal, dan konstittusi dalam arti yang didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian dan kesatuan rujukan.
            Sehingga pada hakikatnya, para pakar ahli memiliki pandangan yang berbeda mengenai konstitusi, seperti pendapat Ferdinand Lasalle yang membagi konstitusi dalam dua pengertian yaitu, secara pengertian sosiologis dan politis, dan secara pengertian yuridis. Selanjutnya Herman heller yang memandang konstitusi dalam tiga pandangan, yaitu: konsititusi dalam arti sosial-politik, dalam arti pengertian hukum, dan dalam pengertian peraturan hukum. Selanjutnya dalam pandangan Carl Schmit konstitusi dapat  dipahami dalam empat kelompok pengertian, yaitu: konstitusi dalam arti absolut, konstitusi dalam arti relatif, konstitusi dalam arti positif, dan konstitusi dalam arti ideal.[4]
            Istilah Konsititusi dalam perkembangannya memilliki dua pengertian, yaitu:
1.    Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis ataupun campuran keduanya.
2.    Dalam pengertian sempit (terbatas), konstitusi berarti piagam dasar atau undang-undang dasar (loi Consititutionelle) ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara, missal UUD RI 1945, Konstitusi USA 1787.

B.  Nilai dan Sifat konstitusi

1)   Nilai Konstitusi

            Nilai konstitusi yang dimaksud di sini adalah nilai (values) sebagai hasil penilaian atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan praktik.[5] Dalam praktek ketatanegaraan sering pula terjadi, bahwa suatu kontitusi yang tertulis tidak berlaku secara sempurna, karena salah satu atau beberapa pasal di dalamnya ternyata tidak dijalankan lagi, atau karena suatu kondisi yang berlaku tidak lebih hanya untuk kepentingan suatu golongan atau pribadi dari penguasa saja, tapi sudah barang tentu banyak pula konstitusi yang berlaku tidak hanya untuk kepentigan suatu golongan atau pribadi penguasa saja tetapi ada juga yang berlaku sesuai dengan pasal-pasal yang ditentukan

            Sehubungan dengan masalah tersebut di atas Karl Loewenstein mengadakan penyelidikan mengenai apa arti sebenarnya dari suatu konstitusi tertulis dalam suatu lingkungan  nasional yang spesifik, terutama kenyataannya bagi rakyat biasa, sehingga membawa Karl Loewenstein kepada tiga jenis penilaian terhadap konstitusi, seperti berikut:[6]

a.       Nilai Normatif
            Apabila suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu bukan hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi merupakan suatu kenyataan (reality) dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain Konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sebagai contoh dapat diberikan Konstitusi Amerika Serikat dimana kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif menjalankan fungsinya masing masing secara terpisah.

b.      Nilai Nominal
            Dalam hal ini konstitusi itu menurut hukum memang berlaku, tetapi kenyataannya tidak sempurna. Ketidaksempurnaan berlakunya suatu konstitusi ini jangan dikacaukan bahwa sering kali suatu konstitusi yang tertulis berbeda dari konstitusi yang di praktekan. Sebab suatu konstitusi itu dapat berubah-ubah, baik karena perubahan formil seperti yang di cantumkan dalam konstitusi itu sendiri maupun karena kebiasaan ketatanegaraan umpamanya. Yang dimaksud di sini bahwa suatu konstitusi itu secara hukum berlaku, namun berlakunya itu tidak sempurna, karena ada pasal-pasal yang dalam kenyataannya tidak berlaku.

c.       Nilai Semantic
            Konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataan hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang dinamis untuk mengatur, yang menjadi maksud yang esensial dari suatu konstitusi diberikan demi kepentingan pemegang kekuasaaan yang sebenarnya. Jadi dalam hal ini konstitusi hanya sekedar istilah saja, sedangkan pelaksanaanya selalu dikaikan dengan kepentingan pihak penguasa. Konstitusi yang demikian nilainya hanya semantic saja. Pada intinya keberlakuan dan penerapan konstitusinya hanya untuk kepentingan bagaimana mempertahankan kekuasaaan yang ada.

2)   Sifat konstitusi 
            Secara umum, suatu konstitusi memiliki sifat-sifat antara lain, formal dan materiil, tertulis dan tidak tertulis serta flexibel (luwes) dan rigid (kaku) sebagai berikut :
a. Formal dan Materiil
            konstitusi dalam arti formal berarti konstitusi yang tertulis dalam suatu ketatanegaraan suatu negara[7]. Dalam pandangan ini suatu konstitusi baru bermakna apabila konstitusi  tersebut telah berbentuk naskah tertulis dan diundangkan , misal UUD 1945.
            Konstitusi materiil adalah konstitusi yang jika dilihat dari segi isinya yang merupakan peraturan bersifat mendasar dan fundamental[8]. Artinya tidak semua masalah yang penting harus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal-hal yang bersifat pokok, dasar, atau asas-asasnya saja.
b. Tertulis dan Tidak Tertulis 
            Membedakan secara prinsipiil antara konstitusi  tertulis dan tidak tetulis adalah tidak tepat , sebuatan konstitusi tidak tertulis adalah tidak tertulis hanya dipakai untuk dilawankan dengan konstitusi modern yang lazimnya ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah. Timbulnya konstitusi  tertulis disebabkan karena  pengaruh aliran kodifikasi .Salah satu negara di dunia yang mempunyai konstitusi tidak tertulis adalah inggris namun prinsip-prinsip yang ada dikonstitusikan dan dicantumkan dalam undamg-undang biasa seperti bill of rights .
            Dengan demikian, suatu konstitusi tertulis apabila dicantumkan dalam suatu naskah atau beberapa naskah , sedangkan yang tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu melainkan dalam banyak hal yang diatur dalam konvensi-konvensi  atau undang-undang biasa .


c. Sifat Flexibel (luwes) dan Rigid (kaku)
            Naskah konstitusi atau undang-undang dasar dapat bersifat flexsibel atau rigid. Menurut kusnardi dan Harmaily ibrahim untuk menentukan suatu konstitusi itu bersifat rigid dapat  dipakai ukuran sebagai berikut :
1 ) Cara Mengubah Konstitusi
            setiap konstitusi yang tertulis mencantumkan pasal tentang perubahan[9] , karena kemungkinan akan tertinggal dari perkembangan masyarakat. Suatu konstitusi pada hakekatnya adalah suatu hukum  yang merupakan dasar bagi peraturan perundangan lainnya . konstitusi yang bersifat flexibel ialah dengan pertimbangan bahwa perkembangan tidak perlu mempersulit perubahan konstitusi , karena untuk perubahannya tidak memerlukan cara yang istimewa, cukup dilakukan oleh badan pembuat Undang-Undang biasa. Misal negara yang mempunyai konstitusi bersifat luwes adalah New Zealand dan Inggris. Sementara yang bersifat rigid atau kaku seperti Amerika, Kanada, Australia.
            Karena tingkatannya yang lebih tinggi, konstitusi yang juga menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hukum lainnya yang lebih rendah, para penyusun atau perumus undang-undang dasar selalu menganggap perlu menentukan tata cara perubahan yang tidak mudah. Dengan prosedur yang tidak mudah pula orang untuk mengubah hukum dasar negaranya. Kecuali apabila hal itu memang sungguh-sungguh dibutuhkan  karena pertimbangan objektif dan untuk kepentingan seluruh rakyat, serta bukan untuk sekedar memenuhi keinginan atau kepentingan segolongan orang yang berkuasa saja. Oleh karena itu biasanya prosedur perubahan  undang-undang dasar diatur sedemikian berat dan rumit syarat-syaratnya sehingga undang-undang dasar yang bersangkutan menjadi sangat rigid dan kaku. Konstitusi yang bersifat rigid menetapkan syarat perubahan dengan cara yang istimewa, misalnya dalam sistem parlemen bikameral, harus disetujui lebih dahulu oleh kedua kamar parlemennya. Misal negara yang mempunyai konstitusi bersifat rigid adalah amerika serikat, australia, kanada dan swiss.


2)  apakah konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman.
            Suatu konstitusi dikatakan fleksibel apabila konstitusi itu mudah mengikuti perkembangan zaman. Suatu konstitusi yang mudah mengikuti perkembangan zaman, biasanya hanya memuat hal-hal yang pokok  dan penting saja . Suatu konstitusi yang mengatur hal-hal yang pokok adalah konstitusi yang mudah mengikuti perkembangan masyarakat[10], Sebab norma-norma pelaksanaannya lebih lanjut diserahkan kepada bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sehingga lebih mudah untuk dibuat dan diubah.
Sementara itu menurut C.F strong untuk undang-undang dasar yang dikenal kaku atau rigid, prosedur perubahannya dapat dilakukan[11] :
a.       Oleh lembaga legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan
b.      Oleh rakyat secara langsung melalui suatu referendum
c.       Oleh urusan negara-negara bagian (negara serikat)
d.      Dengan kebiasaan ketatanegaraan atau oleh suatu lembaga negara yang khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan

C.     Nilai Konstitusi di Indonesia
Berbicara konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi tertulisnya yakni, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 sebelum amendemen memiliki kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik.[12] Contohnya UUD 1945 pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku secara hukum, tetapi dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar 1945. Kenyataan itu dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa dalam hal ini eksekutif (Presiden) dalam bidang peradilan, yang sebenarnya dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 harus bebas dan tidak memihak, hal tersebut dapat terlihat dengan adanya Undang-Undang No. 19 tahun 1965. Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat dengan adanya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang Dasar pada saat itu dibentuk dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar sementara, mengingat kondisi negara yang pada waktu itu telah memproklamirkan kemerdekaan maka diperlukanlah suatu Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum tertinggi. Namun dikarenakan konstitusi tersebut masih dimungkinkan untuk melanggengkan kekuasaan, maka konstitusi tersebut dipertahankan. Maka timbulah adigium negatif “Konstitusi akan dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan kekuasaan”.
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4, memberikan nilai lain pada konstitusi kita. Dalam beberapa pasal konstitusi kita memiliki nilai nominal, namun untuk beberapa pasal memiliki nilai normatif. Misal pada pasal 28 A-J UUD 1945 tentang Hak Asasi manusia, namun pada kenyataan masih banyak pelanggaran atas pemenuhan hak asasi tersebut, katakanlah dalam pasal 28B ayat (2), yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi . Walaupun dalam ayat tersebut terdapat hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi namun kenyataannya masih banyak diskriminasi-diskriminasi penduduk pribumi keturunan. Terlebih pada era orde baru. Kemudian pasal 29 ayat (2), yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkataan Negara menjamin kemerdekaan menjadi sia-sia kalau agama yang diakui di Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan. Hal tersebut menjadi delematis dan tidak konsekuen, bila memang kenyataan demikian, mengapa tidak dituliskan secara eksplisit dalam ayat tersebut. Hal lain adalah dalam pasal 31 ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Kata-kata wajib membiayainya seharusnya pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar tanpa memandang apakah sekolah tersebut swasta atau negeri, karena kata wajib disana tidak merujuk pada sekolah dasar negeri saja, seperti yang dilaksanakan pemerintah tahun ini, tetapi seluruh sekolah dasar. Pasal selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata dipergunakan dalam ayat tersebut tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa tidak banyak eskploitasi sumber daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan asing yang sebagian besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka. Kondisi demikian masih jauh dari tujuan pasal teersebut yakni kemakmuran rakyat bukan kemakmuran investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1), yang berbunyi “ fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata dipelihara disini bukan berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta ngemis” atau bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial dimana sesuai dengan tujuan awal, yakni kesemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Kesimpulan dari pemaparan diatas tampaknya UUD kita mempunyai nilai nominal. Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini berlaku dan mengikat peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi berlaku secara menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif dan dijalankan secara murni dan konsekuen.

D.  Perubahan konstitusi

Suatu Perubahan itu mungkin terjadi karena ketidaksempurnaan  suatu konstitusi, mungkin disebabkan oleh dua hal, pertama konstitusi itu adalah hasil karya yang bersifat kompromi, dan kedua kemampuan para penyusunnya itu sendiri yang terbatas[13] . bersifat kompromi ini disebabkan karena konstituante yang dari berbagai kelompok manusia yang mempunyai pandangan politik yang berbeda dan kepentingan berbeda pula. Jika dilihat dari sudut pandang keterbatasan kemampuan manusia dalam hal ini konstituante maka hasil karya yang bernama konstitusi ini tidak akan sanggup mengatur setiap masalah yang akan terjadi di masa depan , maka dianggap tidak sempurna dan bisa saja tidak memadai lagi karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam hal seperti itu maka konstitusi akan mengalami perubahan .
            Kapankah suatu konstitusi itu perlu diubah. Perubahan itu dirasakan perlu, manakala salah satu atau beberapa pasalnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat, orang sudah mersakan tidak lagi memberikan jaminan kepastian hukum. Tetapi kalau berbicara kapan harusnya konstitusi diubah, maka persoalannya lebih terletak bidang politik ketimbang HTN. Karena betapa pun sukarnya suatu konstitusi untuk diubah, kalau kekuatan politik yang berkuasa menghendakinya, maka perubahan itu dapat diwujudkan begitu pun sebaliknya.

1.    Pengertian perubahan Konstitusi

            Menurut Dasril Radjab[14] perbuatan mengubah harus diartikan dengan mengubah konsitutusi yang dalam bahasa Inggris adalah To Amend the Constitution sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan Verandring in de Grondwet.
            Sedangkan menurut John M. Echols menyebutkan bahwa amendemen yang dalam arti bahasa berarti mengubah undang-undang dasar.
            Sri Soemantri [15]berpendapat kata “mengubah Konstitusi” atau Undang-Undang Dasar sama dengan “mengamandemen Konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Dengan demikian mengubah Konstitusi/ Undang-Undang Dasar dapat berarti dua, yaitu: pertama mengubah sesuatu yang sudah diatur dalam Konstitusi/Undang-Undang Dasar, dan kedua menambahkan sesuatu yang belum diatur dalam Undang-Undang Dasar/Konstitusi.
            Dengan memperhatikan pengalaman-pengalaman dalam mengubah konstitusi di kerajaan Belanda. Amerika Serikat, dan Soviet Uni maka mengubah undang-undang dasar tidak hanaya mengandung arti menambah, mengurangi, atau mengubah kata-kata dan istilah maupun kalimat dalam undang-undang dasar. Tetapi juga berarti membuat isi ketentuan undang-undang dasar menjadi lain dari yang semula, melalui penafsiran.
           
           
2.    Macam-macam Perubahan Konstitusi
            Adanya perubahan konstitusi didasarkan atas klasifikasi konstitusi ke dalam yang rigid dan yang fleksibel. Konstitusi dalam rigid didasarkan atas sulitnya konstitusi tersebut diubah, sedangkan konsititusi dikatakan fleksibel bulat jika mudah diubah.
            Menurut C.F Srong dalam Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik perubahan konstitusi dapar dilakukan dengan empat cara: [16]
1)   Oleh kekuasaan Legislatif (by ordinary legislative, but under certain restriction)
2)   Oleh rakyat melalui referendum (by the people through of referendum)
3)   Oleh sejumlah negara bagian (by a major of all units of federal state)
4)   Dengan kovensi ketatanegaraan (by special convention)

1) By ordinary  Legislative, but under certain restriction
Pengubahan konstitusi menurut system ini dilakukan berdasarkan tiga jalan:
a)    Untuk dapat mengubah konstitusi, dalam harus dihadiri oleh paling sedikit dua pertiga atau empat perlima dari seluruh jumlah anggota, dan keputusan tersebut sah apabila usul-usul pengubahan disetujui oleh suara terbanyak.
b)   Sebelum pengubahan dilakukan, lembaga perwakilan lembaga perwakilan rakyat dibubarkan, kemudian diadakan pemilu yang baru, dan lembaga perwakilan rakyat yang baru inilah (sebagai constituante) yang kemudian melakukan perubahan terhadap konstitusi.
c)    Untuk mengubah konstitusi, dua lembaga perwakilan rakyat (bicameral sistem:DPR dan MPR) melakukan sidang gabungan sebagai satu badan. Keputusan perubahan konstitusi sah apabila disetujui dengan suara terbanyak dari anggota-anggota.



2) By the People Through of Referendum
            Cara ini terjadi apabila pengubahab konstitusi memerlukan adanya pendapat langsung dari rakyat. Pendapat rakyat dilakukan melalui refendum, plebisit, atau popular vote.

3) By a Major of All Units of a federal State.
            Cara ini hanya terjadi pada negara federal. Karena pembentukan negara federal dilakukan oleh negara-negara bagian yang membentuknya dan konstitusinya merupakan bentuk perjanjian (traktat) antara negara-negara tadi, maka pengubahan konstitusi memerlukan adanya persetujuan negara-negara bagian.
4) By Special Convention
            Cara ini terjadi apabila untuk mengubah konstitusi mengaharuskan dibentuknya suatu badan hukum. Misal, untuk mengubah UUDS 1950 dibentuk sebuah badan khusus yang bernama Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar

3.    Perubahan Konsititusi di Indonesia
            Perubahan konstitusi merupakan keharusan dalam sistem ketatanegaraan suatu negara, karena bagaimanapun sebuah konstitusi haruslah sesuai dengan realitas kondisi suatu bangsa dan warga negaranya. Dengan kata lain, bahwa sifat dinamis suatu bangsa terhadap setiap peradaban harus mampu diakomodasai dalam konstitusi negara tersebut. Karena jika tidak, maka bukan tidak mungkin bangsa dan negara tersebut akan tergilas dengan arus perubahan peradaban tersebut.
            Pertanyaannya adalah bagaimana dengan UUD 1945? Apakah UUD 1945 memberikan peluang bagi perubahan tersebut? Jika perubahan itu dimungkinkan bagaimana mekanisme dan prosedur perubahannya?
            Tidak dapat dipungkiri bahwa UUD 1945 tergolong konstitusi yang bersifat rigid, karena selain tata cara perubahannya yang tergolong sulit, juga dibutuhkan suatu prosefur khusus, yaitu dengan cara by the people through a referendum. Kesulitan tersebut semakin jelas di dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, dengan diberlakukannya ketetapan MPR No. IV/ MPR/ 1983 jo. UU No. 5 Tahun 1985 yang mengatur tentang referendum.
            Akan tetapi, kesulitan perubahan konstitusi tersebut, menurut K.C. Wheare, memiliki motif-motif tersendiri yaitu:[17]
1)   Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak secara serampangan dan dengan sadar.
2)   Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangang-pandangan sebelum perubahan dilakukan.
3)   Agar-dan ini berlaku di negara serikat- kekuasaan negara serikat dan kekuasaan negara-negara bagian tidak diubah semata-mata oleh perbuatan-perbuatan masing-masing pihak secara sendiri.
4)   Agar hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas agama atau kebudayaannya mendapat jaminan.
            Melihat realitas dan kondisi UUD 1945, sekalipun termasuk kategori konstitusi yang sulit dilakukan perubahan, tetapi apabila dilakukan dicermati, terdapat peluang untuk perubahan terhadap konsititusi Indonesia (UUD 1945), walaupun mekanismenya tergolong berat. Secara yuridis terdapat satu pasal yang mengatur mekanisme perubahan terhadap UUD 1945, yaitu pasal 37 yang menyebutkan:

a.    Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
b.    Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
c.    Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
d.   Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
e.    Khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan.

Pasal 37 UUD 1945 tersebut mengandung empat norma dasar, yaitu:

1)      Bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR sebagai penjelmaan dan wakil rakyat .
2)      Perubahan hanya pada pasal-pasalnya saja, kecuali pasal mengenai bentuk negara.
3)      Usul perubahan dilakukan secara tertulis oleh sekurang-kurangnya 1/3 jumlah anggota MPR.
4)      Untuk mengubah sekurang-kurangnya dihadiri oleh 2/3 jumlah angora MPR dan putusan untuk perubahan dilakukan dengan persetujuan lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

            Dalam sejajarah ketatanegaraan Indonesia, konstitusi atau UUD 1945 diberlakukan di Indonesia, telah mengalami perubahan-perubahan dari masa berlakunya sejak diproklamasikannya kemerdekaan negara Indonesia. Perubahan kostitusi sejak orde lama hingga orde reformasi secara terperinci adalah sebagai berikut:

1)      UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949).
2)      Konstitusi RIS (27 Desember 1949- 17 Agustus 1950).
3)      UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).
4)      UUD 1945 (5 Juli 1959- 19 Oktober 1999).
5)      UUD 1945 dan perubahan pertama (19 Oktober 1999-18 Agustus 2000).
6)      UUD 1945 dan perubahan pertama dan kedua (18 Agustus 2000-10 November 2001).
7)      UUD 1945 dan perubahan pertama. Kedua. Dan ketiga (10 November 2001-10 Agustus 2002).
8)      UUD 1945 dan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat (10 Agustus 2002 – sekarang).






BAB II
Penutup

Kesimpulan
         
          Konstitusi adalah fundamental Law yang lebih baik bersifat fleksibel sehingga dengan mudah mengikuti perkembangan dan perubahan peradaban. Nilai atau value yang luhur sebuah konstitusi yang harus tetap kita jaga sangat mempengaruhi pengakuan negara asing akan keberadaan negara kita. Terasa sudah cukup menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga dan keras, ajang reformasi dari pergulatan akbar pemerintahan yang otoritarian.  Reformasi secara berkesinambungan telah berani dilakukan, dalam bidang ekonomi, hukum, sosial budaya, maupun politik, yang akhirnya melepaskan kita dari cengkeraman Bureaucratic Authoritarian Regime.
            UUD 1945 yang merupakan wujud konstitusi tertulis kita seharusnya dan sebaiknya bersifat mehrmalig, sehingga perubahan dapat dilakukan secara beberapa kali dan menciptakan UUD yang selalu hidup dan berkembang (a living Constitution). Amandemen terhadap UUD 1945 tidak hanya merupakan tuntutan alamiah untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan strategis semata-mata, namun sarat dengan nilai (value loaded) karena amandemen tersebut merupakan agenda utama gerakan reformasi yang pada hakikatnya merupakan proses demokratisasi yang sangat kompleks dalam masa transisi dari Bureaucratic Capitalist State.
            Secara konseptual sangat diyakini bahwa mantapnya keseimbangan antara demokrasi dan perlindungan HAM serta tegaknya supremasi hukum merupakan prakondisi suatu bangsa untuk hidup secara bermartabat.







DAFTAR PUSTAKA



Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Kosntitualisme. 2006. Jakarta: Konpress.

Dasril, Rajab. Hukum Tata Negara Indonesia.  1994. Jakarta: Rineka Cipta

Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. 1988.             Jakarta: PSHTN UI .
­­­­­­­­­­­­­­­­­­______________. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. 2009. Jakarta: Raja           Grafindo Persada.

Soemantri. Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi.  2006. Bandung: P.T.   Alumni , Cetakan ke-3 

Tutik., Titik Triwulan . Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca     Amendemen UUD 1945. 2011. Jakarta: Kencana.







[1] Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Kosntitualisme. (Jakarta: Konpress. 2006).hlm. 1
[2] Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009).hlm. 95
[3] Titik Triwulan Tutik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amendemen UUD 1945. (Jakarta: Kencana.2011).hlm. 90-91
[4] Jimly Asshiddiqie. Op, cit. Halaman. 101
[5] Ibid. halaman 108
[6] Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. (Jakarta:PSHTN UI . 1988).hlm. 72-74
[7]  Titik Triwulan Tutik. Op, Cit. hlm. 95
[8]  Jimly asshiddiqie. Op,Cit. hlm. 112
[9]  BAB XVI pasal 37 UUD 1945
[10]  Kusnardi dan hermaily  Ibrahim, Op.Cit. hlm 77
[11]  Jimly asshiddiqie, Op.Cit, hlm116
[12]Sri Soemantri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. ( Bandung: P.T. Alumni , Cetakan ke-3  2006), hlm. 275

[13] Kusnardi dan hermaily Ibrahim, Op.Cit,  hlm.  80
[14] Dasril Rajab. Hukum Tata Negara Indonesia.  (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) hlm.50
[15] Kusnardi dan hermaily Ibrahim, Op.Cit,  hlm.  83
[16] Titik Triwulan Tutik. Op, Cit. hlm. 99-101

[17] Titik Triwulan Tutik. Op, Cit. hlm. 102-104

1 komentar:

  1. sangat bagus tulisannya, terimakasih atas informasinya...
    minta ijin juga buat referensi.

    BalasHapus