BAB I
PEMBAHASAN
A. Arti dan Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi itu
sendiri pada mulanya berasal dari perkataan Yunani Kuno Politea dan perkataan
bahasa latin, constitutio yang berkaitan dengan kata jus atau ius
yang berarti “hukum atau prinsip”.[1] Di zaman modern, bahasa yang biasa dijadikan
sumber rujukan mengenai istilah ini adalah Inggris, Jerman, prancis, Italia,
dan Belanda. Untuk pengertian constitution
dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda membedakan antara constitutie
dan grondwet, sedangkan bahasa Jerman membedakan antara verfassung
dan grundgesetz, bahkan dibedakan pula antara grundrecht dan grundgesetz
seperti antara grondrecht dan grondwet dalam bahasa Belanda[2].
Demikian pula dalam
bahasa Prancis dibedakan antara Droit Constitutionnelle dan Loi
Constitutionnelle. Istilah yang pertama identik dengan pengertian
konstitusi, sedangkan yang kedua adalah undang-undang dasar dalam arti yang
tertuang dalam naskah tertulis. Untuk pengertian konstitusi dalam arti
undang-undang dasar, sebelum dipakainya istilah grondwet, di Belanda
juga pernah dipakai istilah staatregeling. Namun atas prakarsa Gijsbert
Karel Van Hogendorg, istilah grondwet dipakai untuk menggantikan istilah
staatregeling. Dalam kamus Oxford Dictionary of law, perkataan constitution
diartikan (versi bahasa Indonesia):
Artinya, yang dinamakan konstitusi itu tidak saja aturan yang tertulis,
tetapi juga apa yang dipraktikkan dalam kegiatan penyelenggaraan negara, dan
yang diatur itu tidak saja berkenaan dengan organ negara beserta komposisi dan
fungsinya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah. Tetapi
juga mekanisme hubungan antara negara atau organ negara itu dengan warga negara
Sedangkan menurut makna katanya, Konstitusi
berarti dasar susunan badan politik yang bernama negara. Konstitusi
menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa
kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur dan memerintah negara.
K.C Wheare mengatakan:
Istilah constitution pada umumnya digunakan untuk menunjuk kepada
seluruh peraturan mengenai ketatanegaraan suatu negara yang secara keseluruhan
akan menggambarkan sistem ketatanegaraannya. Sistem ketatanegaraan tersebut
terbagi ke dalam dua golongan, yaitu peraturan berderajat legal (law)
dan berderajat nonlegal (extralegal).
Sedangkan dalam pandangan Bolingbroke:
Yang dimaksud dengan konstitusi jika berbicara dengan cermat dan tepat,
adalah kumpulan hukum, lembaga dan kebiasaan, yang berasal dari prinsip-prinsip
tertentu …yang menyusun sistem umum, dan masyarakat setuju untuk diperintah
dengan sistem itu.[3]
Berdasarkan pendapat
tersebut, maka pada dasarnya peraturan-peraturan (konstitusi) ada yang tertulis
sebagai keputusan badan yang berwenang, berupa UUD dan UU dan ada yang tidak
tertulis berupa usages, understanding, custums atau convention.
Namun demikian dalam
beberapa literatur hukum tata negara arti konstitusi itu kadang-kadang
dirumuskan sebagai perspektif mengenai konsepsi konsititusi yang dibedakan dari
arti perkataan konstitusi itu sendiri. Sebagaimana dihimpun oleh Prof. Harun
Alrasid ada tiga arti yang dapat diberikan kepada konsepsi konstittusi ,
yaitu: konsititusi dalam arti materil, konsititusi dalam arti formal, dan
konstittusi dalam arti yang didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian dan
kesatuan rujukan.
Sehingga pada
hakikatnya, para pakar ahli memiliki pandangan yang berbeda mengenai
konstitusi, seperti pendapat Ferdinand Lasalle yang membagi konstitusi
dalam dua pengertian yaitu, secara pengertian sosiologis dan politis, dan
secara pengertian yuridis. Selanjutnya Herman heller yang memandang
konstitusi dalam tiga pandangan, yaitu: konsititusi dalam arti sosial-politik,
dalam arti pengertian hukum, dan dalam pengertian peraturan hukum. Selanjutnya dalam
pandangan Carl Schmit konstitusi dapat dipahami dalam empat kelompok pengertian,
yaitu: konstitusi dalam arti absolut, konstitusi dalam arti relatif, konstitusi
dalam arti positif, dan konstitusi dalam arti ideal.[4]
Istilah Konsititusi
dalam perkembangannya memilliki dua pengertian, yaitu:
1. Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari
ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar, baik yang tertulis ataupun tidak
tertulis ataupun campuran keduanya.
2. Dalam pengertian sempit (terbatas), konstitusi berarti piagam dasar atau
undang-undang dasar (loi Consititutionelle) ialah suatu dokumen lengkap
mengenai peraturan-peraturan dasar negara, missal UUD RI 1945, Konstitusi USA
1787.
B.
Nilai dan Sifat konstitusi
1)
Nilai
Konstitusi
Nilai
konstitusi yang dimaksud di sini adalah nilai (values) sebagai hasil penilaian
atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan praktik.[5]
Dalam praktek ketatanegaraan sering pula
terjadi, bahwa suatu kontitusi yang tertulis tidak berlaku secara sempurna, karena salah satu atau beberapa pasal di dalamnya
ternyata tidak dijalankan lagi, atau karena suatu kondisi yang berlaku tidak lebih
hanya untuk kepentingan suatu golongan atau pribadi dari penguasa saja, tapi
sudah barang tentu banyak pula konstitusi yang berlaku tidak hanya untuk kepentigan suatu golongan atau
pribadi penguasa saja tetapi ada juga yang berlaku sesuai dengan pasal-pasal yang ditentukan
Sehubungan dengan masalah tersebut
di atas Karl Loewenstein mengadakan penyelidikan mengenai apa arti
sebenarnya dari suatu konstitusi tertulis dalam suatu lingkungan nasional yang spesifik, terutama kenyataannya
bagi rakyat biasa, sehingga membawa Karl Loewenstein kepada tiga jenis
penilaian terhadap konstitusi, seperti berikut:[6]
a.
Nilai
Normatif
Apabila suatu konstitusi telah resmi
diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu bukan hanya berlaku
dalam arti hukum (legal), tetapi merupakan suatu kenyataan (reality) dalam arti
sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain Konstitusi itu dilaksanakan
secara murni dan konsekuen. Sebagai contoh
dapat diberikan Konstitusi Amerika Serikat dimana kekuasaan eksekutif, legislative
dan yudikatif menjalankan fungsinya masing masing secara terpisah.
b.
Nilai
Nominal
Dalam hal ini konstitusi itu menurut hukum
memang berlaku, tetapi kenyataannya tidak sempurna. Ketidaksempurnaan
berlakunya suatu konstitusi ini jangan dikacaukan bahwa sering kali suatu
konstitusi yang tertulis berbeda dari konstitusi yang di praktekan. Sebab suatu
konstitusi itu dapat berubah-ubah, baik karena perubahan formil seperti yang di
cantumkan dalam konstitusi itu sendiri maupun karena kebiasaan ketatanegaraan
umpamanya. Yang dimaksud di sini bahwa suatu konstitusi itu secara hukum
berlaku, namun berlakunya itu tidak sempurna, karena ada pasal-pasal yang dalam
kenyataannya tidak berlaku.
c.
Nilai
Semantic
Konstitusi itu secara hukum tetap
berlaku, tetapi dalam kenyataan hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat
yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan
yang dinamis untuk mengatur, yang menjadi maksud yang esensial dari suatu
konstitusi diberikan demi kepentingan pemegang kekuasaaan
yang sebenarnya. Jadi dalam hal ini konstitusi hanya sekedar istilah saja,
sedangkan pelaksanaanya selalu dikaikan dengan kepentingan
pihak penguasa. Konstitusi yang demikian nilainya hanya semantic saja. Pada
intinya keberlakuan dan penerapan konstitusinya hanya untuk kepentingan
bagaimana mempertahankan kekuasaaan yang ada.
2) Sifat
konstitusi
Secara umum, suatu
konstitusi memiliki sifat-sifat antara lain, formal dan materiil, tertulis dan
tidak tertulis serta flexibel (luwes) dan rigid (kaku) sebagai berikut :
a. Formal
dan Materiil
konstitusi dalam arti formal berarti
konstitusi yang tertulis dalam suatu ketatanegaraan suatu negara[7]. Dalam
pandangan ini suatu konstitusi baru bermakna apabila konstitusi tersebut telah berbentuk naskah tertulis dan
diundangkan , misal UUD 1945.
Konstitusi materiil adalah
konstitusi yang jika dilihat dari segi isinya yang merupakan peraturan bersifat
mendasar dan fundamental[8].
Artinya tidak semua masalah yang penting harus dimuat dalam konstitusi,
melainkan hal-hal yang bersifat pokok, dasar, atau asas-asasnya saja.
b. Tertulis
dan Tidak Tertulis
Membedakan secara prinsipiil antara konstitusi tertulis dan tidak tetulis adalah tidak tepat
, sebuatan konstitusi tidak tertulis adalah tidak tertulis hanya dipakai untuk
dilawankan dengan konstitusi modern yang
lazimnya ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah. Timbulnya
konstitusi tertulis disebabkan
karena pengaruh aliran kodifikasi .Salah
satu negara di dunia yang mempunyai konstitusi tidak tertulis adalah inggris
namun prinsip-prinsip yang ada dikonstitusikan dan dicantumkan dalam
undamg-undang biasa seperti bill of rights .
Dengan demikian, suatu konstitusi
tertulis apabila dicantumkan dalam suatu naskah atau beberapa naskah ,
sedangkan yang tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu melainkan dalam
banyak hal yang diatur dalam konvensi-konvensi
atau undang-undang biasa .
c. Sifat
Flexibel (luwes) dan Rigid (kaku)
Naskah konstitusi atau undang-undang dasar dapat bersifat flexsibel
atau rigid. Menurut kusnardi dan Harmaily
ibrahim untuk menentukan suatu konstitusi
itu bersifat rigid dapat dipakai ukuran
sebagai berikut :
1 ) Cara Mengubah
Konstitusi
setiap konstitusi yang tertulis mencantumkan pasal tentang
perubahan[9] , karena kemungkinan
akan tertinggal dari perkembangan masyarakat. Suatu
konstitusi pada hakekatnya adalah suatu hukum
yang merupakan dasar bagi peraturan perundangan lainnya . konstitusi
yang bersifat flexibel ialah dengan pertimbangan bahwa perkembangan tidak perlu
mempersulit perubahan konstitusi , karena
untuk perubahannya tidak memerlukan cara yang istimewa, cukup dilakukan oleh
badan pembuat Undang-Undang biasa. Misal negara
yang mempunyai konstitusi bersifat luwes adalah New Zealand
dan Inggris. Sementara yang bersifat rigid atau kaku seperti Amerika, Kanada,
Australia.
Karena tingkatannya yang lebih tinggi, konstitusi yang juga menjadi
dasar bagi peraturan-peraturan hukum lainnya yang lebih rendah, para penyusun
atau perumus undang-undang dasar selalu menganggap perlu menentukan tata cara
perubahan yang tidak mudah. Dengan prosedur yang tidak mudah pula orang untuk
mengubah hukum dasar negaranya. Kecuali apabila hal itu memang sungguh-sungguh
dibutuhkan karena pertimbangan objektif
dan untuk kepentingan seluruh rakyat, serta bukan untuk sekedar memenuhi
keinginan atau kepentingan segolongan orang yang berkuasa saja. Oleh
karena itu biasanya prosedur perubahan
undang-undang dasar diatur sedemikian berat dan rumit syarat-syaratnya
sehingga undang-undang dasar yang bersangkutan
menjadi sangat rigid dan kaku. Konstitusi yang
bersifat rigid menetapkan syarat perubahan dengan cara yang istimewa, misalnya
dalam sistem parlemen bikameral, harus disetujui lebih dahulu oleh kedua kamar
parlemennya. Misal negara yang mempunyai konstitusi bersifat rigid adalah
amerika serikat, australia, kanada dan swiss.
2) apakah konstitusi itu mudah atau tidak
mengikuti perkembangan zaman.
Suatu konstitusi dikatakan fleksibel
apabila konstitusi itu mudah mengikuti perkembangan zaman. Suatu konstitusi
yang mudah mengikuti perkembangan zaman, biasanya hanya memuat hal-hal yang
pokok dan penting saja . Suatu
konstitusi yang mengatur hal-hal yang pokok adalah konstitusi yang mudah
mengikuti perkembangan masyarakat[10],
Sebab norma-norma pelaksanaannya lebih lanjut diserahkan kepada bentuk
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sehingga lebih mudah untuk
dibuat dan diubah.
Sementara
itu menurut C.F strong untuk undang-undang dasar yang dikenal kaku atau
rigid, prosedur perubahannya dapat dilakukan[11] :
a.
Oleh
lembaga legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan
b.
Oleh
rakyat secara langsung melalui suatu referendum
c.
Oleh
urusan negara-negara bagian (negara serikat)
d.
Dengan
kebiasaan ketatanegaraan atau oleh suatu lembaga negara yang khusus yang
dibentuk hanya untuk keperluan perubahan
C.
Nilai Konstitusi di Indonesia
Berbicara konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi
tertulisnya yakni, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 sebelum amendemen
memiliki kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik.[12]
Contohnya UUD 1945 pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku
secara hukum, tetapi dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk
kepentingan penguasa saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar
1945. Kenyataan itu dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa
dalam hal ini eksekutif (Presiden) dalam bidang peradilan, yang sebenarnya dalam
pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 harus
bebas dan tidak memihak, hal tersebut dapat terlihat dengan adanya Undang-Undang
No. 19 tahun 1965. Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena
pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat dengan adanya
sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan atau prosedur
perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang Dasar pada saat itu dibentuk
dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar sementara, mengingat kondisi negara
yang pada waktu itu telah memproklamirkan kemerdekaan maka diperlukanlah suatu
Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum tertinggi. Namun dikarenakan konstitusi
tersebut masih dimungkinkan untuk melanggengkan kekuasaan, maka konstitusi
tersebut dipertahankan. Maka timbulah adigium negatif “Konstitusi akan
dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan kekuasaan”.
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4, memberikan
nilai lain pada konstitusi kita. Dalam beberapa pasal konstitusi kita memiliki
nilai nominal, namun untuk beberapa pasal memiliki nilai normatif. Misal pada
pasal 28 A-J UUD 1945 tentang Hak Asasi manusia, namun pada kenyataan masih
banyak pelanggaran atas pemenuhan hak asasi tersebut, katakanlah dalam pasal
28B ayat (2), yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi . Walaupun
dalam ayat tersebut terdapat hak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi namun kenyataannya masih banyak diskriminasi-diskriminasi penduduk
pribumi keturunan. Terlebih pada era orde baru. Kemudian pasal 29 ayat (2),
yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”. Perkataan Negara menjamin kemerdekaan menjadi sia-sia kalau
agama yang diakui di Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan. Hal tersebut menjadi
delematis dan tidak konsekuen, bila memang kenyataan demikian, mengapa tidak
dituliskan secara eksplisit dalam ayat tersebut. Hal lain adalah dalam pasal 31
ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya”. Kata-kata wajib membiayainya seharusnya
pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar tanpa memandang apakah sekolah
tersebut swasta atau negeri, karena kata wajib disana tidak merujuk pada
sekolah dasar negeri saja, seperti yang dilaksanakan pemerintah tahun ini,
tetapi seluruh sekolah dasar. Pasal selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang
berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata dipergunakan dalam ayat tersebut
tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa tidak banyak eskploitasi sumber
daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan asing yang sebagian
besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka. Kondisi demikian
masih jauh dari tujuan pasal teersebut yakni
kemakmuran rakyat bukan kemakmuran investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1),
yang berbunyi “ fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara”. Kata dipelihara disini
bukan berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta ngemis”
atau bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial dimana sesuai
dengan tujuan awal, yakni kesemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Kesimpulan dari pemaparan diatas tampaknya UUD kita mempunyai nilai
nominal. Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini berlaku dan mengikat
peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak semua pasal dalam
konstitusi berlaku secara menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya
diperlukan dan efektif dan dijalankan secara murni dan konsekuen.
D.
Perubahan konstitusi
Suatu
Perubahan itu mungkin terjadi karena ketidaksempurnaan suatu konstitusi, mungkin disebabkan oleh dua
hal, pertama konstitusi itu adalah hasil karya yang bersifat kompromi, dan
kedua kemampuan para penyusunnya itu sendiri yang terbatas[13] .
bersifat kompromi ini disebabkan karena konstituante yang dari berbagai
kelompok manusia yang mempunyai pandangan politik yang berbeda dan kepentingan
berbeda pula. Jika dilihat dari sudut pandang keterbatasan kemampuan manusia
dalam hal ini konstituante maka hasil karya yang bernama konstitusi ini tidak
akan sanggup mengatur setiap masalah yang akan terjadi di masa depan , maka
dianggap tidak sempurna dan bisa saja tidak memadai lagi karena tidak sesuai
dengan perkembangan masyarakat dalam hal seperti itu maka konstitusi akan
mengalami perubahan .
Kapankah
suatu konstitusi itu perlu diubah. Perubahan itu dirasakan perlu, manakala
salah satu atau beberapa pasalnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan
masyarakat, orang sudah mersakan tidak lagi memberikan jaminan kepastian hukum.
Tetapi kalau berbicara kapan harusnya konstitusi diubah, maka persoalannya
lebih terletak bidang politik ketimbang HTN.
Karena betapa pun sukarnya suatu konstitusi untuk diubah, kalau kekuatan
politik yang berkuasa menghendakinya, maka perubahan itu dapat diwujudkan begitu
pun sebaliknya.
1. Pengertian perubahan Konstitusi
Menurut Dasril
Radjab[14]
perbuatan mengubah harus diartikan dengan mengubah konsitutusi yang dalam
bahasa Inggris adalah To Amend the Constitution sedangkan dalam bahasa
Belanda disebut dengan Verandring in de Grondwet.
Sedangkan menurut John
M. Echols menyebutkan bahwa amendemen yang dalam arti bahasa berarti
mengubah undang-undang dasar.
Sri Soemantri [15]berpendapat
kata “mengubah Konstitusi” atau Undang-Undang Dasar sama dengan “mengamandemen
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Dengan demikian mengubah Konstitusi/
Undang-Undang Dasar dapat berarti dua, yaitu: pertama mengubah sesuatu yang
sudah diatur dalam Konstitusi/Undang-Undang Dasar, dan kedua menambahkan
sesuatu yang belum diatur dalam Undang-Undang Dasar/Konstitusi.
Dengan memperhatikan
pengalaman-pengalaman dalam mengubah konstitusi di kerajaan Belanda. Amerika
Serikat, dan Soviet Uni maka mengubah undang-undang dasar tidak hanaya
mengandung arti menambah, mengurangi, atau mengubah kata-kata dan istilah
maupun kalimat dalam undang-undang dasar. Tetapi juga berarti membuat isi
ketentuan undang-undang dasar menjadi lain dari yang semula, melalui
penafsiran.
2. Macam-macam Perubahan Konstitusi
Adanya perubahan
konstitusi didasarkan atas klasifikasi konstitusi ke dalam yang rigid
dan yang fleksibel. Konstitusi dalam rigid didasarkan atas sulitnya
konstitusi tersebut diubah, sedangkan konsititusi dikatakan fleksibel bulat
jika mudah diubah.
Menurut C.F Srong dalam
Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik perubahan konstitusi dapar dilakukan dengan
empat cara: [16]
1) Oleh kekuasaan Legislatif (by ordinary legislative, but under certain
restriction)
2) Oleh rakyat melalui referendum (by the people through of referendum)
3) Oleh sejumlah negara bagian (by a major of all units of federal
state)
4) Dengan kovensi ketatanegaraan (by special convention)
1) By ordinary Legislative, but under certain restriction
Pengubahan konstitusi menurut system ini
dilakukan berdasarkan tiga jalan:
a) Untuk dapat mengubah konstitusi, dalam harus dihadiri oleh paling
sedikit dua pertiga atau empat perlima dari seluruh jumlah anggota, dan
keputusan tersebut sah apabila usul-usul pengubahan disetujui oleh suara
terbanyak.
b) Sebelum pengubahan dilakukan, lembaga perwakilan lembaga perwakilan
rakyat dibubarkan, kemudian diadakan pemilu yang baru, dan lembaga perwakilan
rakyat yang baru inilah (sebagai constituante) yang kemudian melakukan
perubahan terhadap konstitusi.
c) Untuk mengubah konstitusi, dua lembaga perwakilan rakyat (bicameral
sistem:DPR dan MPR) melakukan sidang gabungan sebagai satu badan. Keputusan
perubahan konstitusi sah apabila disetujui dengan suara terbanyak dari
anggota-anggota.
2) By the People Through of Referendum
Cara
ini terjadi apabila pengubahab konstitusi memerlukan adanya pendapat langsung
dari rakyat. Pendapat rakyat dilakukan melalui refendum, plebisit, atau popular
vote.
3) By a Major of All Units of a federal
State.
Cara
ini hanya terjadi pada negara federal. Karena pembentukan negara federal
dilakukan oleh negara-negara bagian yang membentuknya dan konstitusinya
merupakan bentuk perjanjian (traktat) antara negara-negara tadi, maka
pengubahan konstitusi memerlukan adanya persetujuan negara-negara bagian.
4) By Special Convention
Cara
ini terjadi apabila untuk mengubah konstitusi mengaharuskan dibentuknya suatu
badan hukum. Misal, untuk mengubah UUDS 1950 dibentuk sebuah badan khusus yang
bernama Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar
3. Perubahan Konsititusi di Indonesia
Perubahan
konstitusi merupakan keharusan dalam sistem ketatanegaraan suatu negara, karena
bagaimanapun sebuah konstitusi haruslah sesuai dengan realitas kondisi suatu
bangsa dan warga negaranya. Dengan kata lain, bahwa sifat dinamis suatu bangsa
terhadap setiap peradaban harus mampu diakomodasai dalam konstitusi negara
tersebut. Karena jika tidak, maka bukan tidak mungkin bangsa dan negara
tersebut akan tergilas dengan arus perubahan peradaban tersebut.
Pertanyaannya
adalah bagaimana dengan UUD 1945? Apakah UUD 1945 memberikan peluang bagi
perubahan tersebut? Jika perubahan itu dimungkinkan bagaimana mekanisme dan
prosedur perubahannya?
Tidak
dapat dipungkiri bahwa UUD 1945 tergolong konstitusi yang bersifat rigid,
karena selain tata cara perubahannya yang tergolong sulit, juga dibutuhkan
suatu prosefur khusus, yaitu dengan cara by the people through a referendum.
Kesulitan tersebut semakin jelas di dalam praktik ketatanegaraan Indonesia,
dengan diberlakukannya ketetapan MPR No. IV/ MPR/ 1983 jo. UU No. 5 Tahun 1985
yang mengatur tentang referendum.
Akan
tetapi, kesulitan perubahan konstitusi tersebut, menurut K.C. Wheare,
memiliki motif-motif tersendiri yaitu:[17]
1) Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak,
tidak secara serampangan dan dengan sadar.
2) Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangang-pandangan
sebelum perubahan dilakukan.
3) Agar-dan ini berlaku di negara serikat- kekuasaan negara serikat dan
kekuasaan negara-negara bagian tidak diubah semata-mata oleh
perbuatan-perbuatan masing-masing pihak secara sendiri.
4) Agar hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas agama
atau kebudayaannya mendapat jaminan.
Melihat
realitas dan kondisi UUD 1945, sekalipun termasuk kategori konstitusi yang
sulit dilakukan perubahan, tetapi apabila dilakukan dicermati, terdapat peluang
untuk perubahan terhadap konsititusi Indonesia (UUD 1945), walaupun
mekanismenya tergolong berat. Secara yuridis terdapat satu pasal yang mengatur
mekanisme perubahan terhadap UUD 1945, yaitu pasal 37 yang menyebutkan:
a. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR
apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
b. Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan
ditunjukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
c. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
d. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota
MPR.
e. Khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan.
Pasal 37 UUD 1945 tersebut mengandung empat
norma dasar, yaitu:
1) Bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR sebagai penjelmaan dan
wakil rakyat .
2) Perubahan hanya pada pasal-pasalnya saja, kecuali pasal mengenai bentuk
negara.
3) Usul perubahan dilakukan secara tertulis oleh sekurang-kurangnya 1/3
jumlah anggota MPR.
4) Untuk mengubah sekurang-kurangnya dihadiri oleh 2/3 jumlah angora MPR dan
putusan untuk perubahan dilakukan dengan persetujuan lima puluh persen ditambah
satu anggota dari seluruh anggota MPR.
Dalam
sejajarah ketatanegaraan Indonesia, konstitusi atau UUD 1945 diberlakukan di
Indonesia, telah mengalami perubahan-perubahan dari masa berlakunya sejak
diproklamasikannya kemerdekaan negara Indonesia. Perubahan kostitusi sejak orde
lama hingga orde reformasi secara terperinci adalah sebagai berikut:
1) UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949).
2) Konstitusi RIS (27 Desember 1949- 17 Agustus 1950).
3) UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).
4) UUD 1945 (5 Juli 1959- 19 Oktober 1999).
5) UUD 1945 dan perubahan pertama (19 Oktober 1999-18 Agustus 2000).
6) UUD 1945 dan perubahan pertama dan kedua (18 Agustus 2000-10 November
2001).
7) UUD 1945 dan perubahan pertama. Kedua. Dan ketiga (10 November 2001-10
Agustus 2002).
8) UUD 1945 dan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat (10 Agustus
2002 – sekarang).
BAB II
Penutup
Kesimpulan
Konstitusi adalah fundamental Law
yang lebih baik bersifat fleksibel sehingga dengan mudah mengikuti perkembangan
dan perubahan peradaban. Nilai atau value yang luhur sebuah konstitusi yang
harus tetap kita jaga sangat mempengaruhi pengakuan negara asing akan
keberadaan negara kita. Terasa sudah cukup menjadi sebuah pelajaran yang sangat
berharga dan keras, ajang reformasi dari pergulatan akbar pemerintahan yang
otoritarian. Reformasi secara
berkesinambungan telah berani dilakukan, dalam bidang ekonomi, hukum, sosial
budaya, maupun politik, yang akhirnya melepaskan kita dari cengkeraman Bureaucratic
Authoritarian Regime.
UUD
1945 yang merupakan wujud konstitusi tertulis kita seharusnya dan sebaiknya
bersifat mehrmalig, sehingga perubahan dapat dilakukan secara beberapa
kali dan menciptakan UUD yang selalu hidup dan berkembang (a living
Constitution). Amandemen terhadap UUD 1945 tidak hanya merupakan tuntutan
alamiah untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan strategis
semata-mata, namun sarat dengan nilai (value loaded) karena amandemen
tersebut merupakan agenda utama gerakan reformasi yang pada hakikatnya merupakan
proses demokratisasi yang sangat kompleks dalam masa transisi dari Bureaucratic
Capitalist State.
Secara
konseptual sangat diyakini bahwa mantapnya keseimbangan antara demokrasi dan
perlindungan HAM serta tegaknya supremasi hukum merupakan prakondisi suatu
bangsa untuk hidup secara bermartabat.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan
Kosntitualisme. 2006. Jakarta: Konpress.
Dasril, Rajab. Hukum Tata Negara Indonesia. 1994. Jakarta: Rineka Cipta
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia. 1988. Jakarta:
PSHTN UI .
______________.
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. 2009. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soemantri. Sri. Prosedur
dan Sistem Perubahan Konstitusi. 2006. Bandung: P.T.
Alumni
, Cetakan ke-3
Tutik., Titik Triwulan . Konstruksi
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amendemen
UUD 1945. 2011. Jakarta: Kencana.
[1] Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan
Kosntitualisme. (Jakarta: Konpress. 2006).hlm. 1
[2] Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009).hlm. 95
[3] Titik Triwulan Tutik. Konstruksi
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amendemen UUD 1945. (Jakarta:
Kencana.2011).hlm. 90-91
[4] Jimly Asshiddiqie. Op, cit.
Halaman. 101
[5] Ibid. halaman 108
[6] Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia. (Jakarta:PSHTN UI . 1988).hlm. 72-74
[9] BAB XVI pasal 37 UUD 1945
[12]Sri Soemantri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. ( Bandung: P.T. Alumni , Cetakan ke-3 2006), hlm. 275
sangat bagus tulisannya, terimakasih atas informasinya...
BalasHapusminta ijin juga buat referensi.