Kamis, 21 November 2013

Aliran-aliran Dalam Filsafat Hukum

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan keistimewaan akal sebagai ruang cipta dan hati sebagai ruang rasa. Keduanya menuntun manusia untuk selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu, yang hasil dari keinginan ini disebut pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki manusia bisa berbentuk pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama. Pengetahuan filsafat sering sekali menjadi fokus pengkajian dalam sejarah perkembangannya dengan tidak menyampingkan ketiga pengetahuan lainnya yang saling berkontribusi dalam hal menghasilkan ilmu selalu berkembang. Ketidakpuasan dan kehausan para pemikir dalam menghasilkan ilmu yang dinamis menjadikan berkembangnya aliran-aliran yang saling mempertahankan ilmu atau buah pikiran yang telah mereka hasilkan. Hal demikian juga terjadi dalam disiplin ilmu filsafat pada umumnya , dan filsafat hukum pada khususnya.
Filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan mendalam tentang pertanyaan dalam kehidupan yang dijalani manusia, dengan artian filsafat merupakan sesuatu yang bersifat abstrak. Adalah pengethuan yang membangun banyak dasar-dasar keilmuan atas pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari manusia. Dan diantara ilmu yang dihasilkan dan dikembangkan oleh manusia dari berfilsafat, ilmu hukum merupakan salah satunya. Sebuah adagium mengatakan, ibi ius ibi societas, yakni dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Sebagian keilmuan, teori-teori dan penemuan norma-norma dalam hukum didasari oleh filsafat hukum sebagai cabang dari filsafat.
Filasafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum, apa tujuannya, mengapa dia ada, dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Filsafat mengajak kita untuk berpikir radikal dan spekulatif, sehingga selalu ingin mengetahui mengenai kebenaran produk hukum, bagaimana datangnya kebenaran itu dan bagaimana mempertahankannya, dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan yang mampu diaplikasikan.
Berbagai pergulatan pemikiran hukum yang terus menerus berkembang dalam filsafat hukum, menimbulkan banyak aliran dalam filsafat hukum. Antar aliran-aliran atau mazhab-mazhab filsafat hukum tersebut terjadi dialektika yang membahas asal usul terciptanya hukum. Apabila pada masa lalu, filsafat hukum merupakan produk sampingan dari para filosuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri bagi para ahli hukum. Karena memang aliran-aliran filsafat hukum tersebut sangat diperlukan dalam menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai dasar-dasar filsafatnya. Dengan demikian dalam kajian ini, penulis akan menguraikan beberapa aliran filsafat hukum yang menurut kami paling dominan atau memiliki pengaruh yang cukup besar dalam iklim hukum di Indonesia .
B.  Rumusan Masalah
1.    Apakah definisi aliran hukum itu?
2.    Apa saja aliran-aliran dominan dalam filsafat hukum dan bagaimana perkembanganya di dunia?
3.    Siapa saja pelopor dan tokoh yang terpenting dalam aliran-aliran tersebut?
4.    Aliran-aliran apa saja yang relevan serta berkembang dalam iklim hukum Indonesia?
C.  Tujuan
1.    Memahami definisi aliran secara etimologi bahasa dan istilah.
2.    Memahami perkembangan aliran-aliran dominan dalam filsafat hukum di dunia.
3.    Mengetahui tokoh-tokoh terpenting dalam aliran tersebut beserta ajarannya.
4.    Memahami aliran-aliran yang relevan dalam iklim hukum Indonesia.
D.  Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penyelesaian makalah ini adalah pendekatan kepustakaan, dengan mempelajari buku-buku dan karya tulisan lainnya yang berkaitan dengan materi makalah.







BAB II
PEMBAHASAN

Secara etimologi bahasa aliran adalah haluan, pendapat atau paham. Secara istilah aliran hukum merupakan suatu paham seseorang atau kelompok mengenai nilai-nilai, dasar beserta hakikat hukum yang memiliki penganut dengan yakin mengikutinya. Jika kita bandingkan dengan pemahaman teori hukum maka ada beberapa ahli yang menyamakannya namun ada juga yang membedakannya. Akan tetapi penulis cenderung membedakannya, karena teori hukum itu adalah pendapat yang dikemukakan seseorang sebagai pedoman dalam merumuskan suatu produk hukum sehingga hukum itu dapat dilaksanakan dalam praktek kehidupan masyarakat. Aliran cenderung lebih umum karena satu aliran yang sama dapat melahirkan berberapa teori hukum.
Para pakar hukum memiliki pandangan yang hampir sama tentang konsep aliran dalam filsafat hukum. Satjipto Rahardjo membagai aliran filsafat hukum sebagai teori yunani dan romawi, positivisme dam utilitarianisme, hukum alam, teori hukum murni, pendekatan sejarah dan antropologis, serta pendekatan sosiologis. Sedangkan Soejono Soekanto membaginya sebagai aliran utilitarianisme, mazhab sejarah dan kebudayaan, mazhab formalitas, aliran realisme hukum, dan aliran sociological jurisprudence. Adapun Lili Rasjidi membaginya ke dalam mazhab sejarah, aliran hukum alam, aliran hukum positif, aliran sociological jurisprudence, dan aliran pragmatic legal realism.
Akan tetapi dalam makalah ini penulis akan membatasi pembahasan kepada beberapa aliran filsafat hukum, meliputi:
1.      Aliran Hukum Alam
2.      Aliran Hukum Positif
3.      Aliran Utilitarianisme
4.      Aliran sejarah
5.      Aliran sociological jurisprudence
6.      Aliran Realisme Hukum



A.  Aliran Hukum Alam
            Aliran hukum alam, bisa dibilang sebagai sebuah paradigma yang paling tua sekaligus  serta paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam, sesungguhnya merupakan perkembangan atau penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam. Dalam teori hukum alam, hukum sebagai nilai yang universal dan selalu hidup di sanubari orang, masyarakat maupun negara. Hal ini disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi hukum itu sendiri. Bahkan disebutkaan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior dari hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari tindakan-tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang mereka bentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif atau relatif.[1] Hukum alam tampil sebagai suatu hukum dari akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorng yang menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum.[2]
            Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaaian nilai-nilai keadilan bagi masyarakat. Para pemikir hukum paradigma hukum alam, berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuh esensial (essential value) dari hukum, bahkan sering diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan  menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebgai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat suatu negara.[3]
            Pada abad ke-5 SM masih bersifat primitif, yaitu hukum masih bersifat primitif, yaitu hukum masih dipandang sebagai suatu keharusan alamiah, baik semesta alam maupun alamiah. Namun, pada abaad ke-4 SM para filsuf mulai insaf peran manusia dalam membentuk hukum misalnya Socrates. Socrates menuntut upaya para penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai nilai yang melebihi manusia. Demikian juga pendapat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (348-322 SM) yang mulai mempertimbangkan bahwa manakah aturan yang lebih adil yang harus menjadi alat untuk mencapai tujuan hukum, walaupun mereka juga tetap mau taat pada tuntutan-tuntutan alam sehingga zaman ini dikenal dengan zaman atau aliran hukum alam.
            Pada abad ke-8 sebelum Masehi, aliran hukum alam dalam pemikiran di zaman Romawi dimunculkan oleh pemikir-pemikir yang dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang berkembang di Yunani, terutama oleh pikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Salah satu tokoh Romawi yang banyak mengemukakan pemikirannya tentang hukum alam adalah Cicero, [4]seorang yuris dan seorang negarawan. Cicero mengajarkan konsep tentang a true law (hukum yang benar) yang disesuaikannya dengan right reason (penalaran yang benar), serta sesuai dengan alam, dan yang menyebar diantara kemanusiaan dan sifat immutable dan enternal. Hukum apapun harus bersumber dari true law itu. Pada kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa, kita lahir untuk keadilan. Dan hukum tidaklah didasarkan pada opini, tetapi pada man’s very nature. Selain Cicero sebagai salah seorang tokoh pemikir zaman Romawi  tersebut, maka salah satu pemikir terkenal adalah Gaius. Gaius membedakan antara ius civile dan ius gentium. Ius Civile adalah hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu, sedangkan ius gentium adalah hukum yang berlaku universal yang bersumber pada akal pemikiran manusia.[5]
            Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi mempunyai perbedaan yang konkret mengenai pandangan terhadap hukum. Menurut pendapat Achmad Ali, pemikiran Yunani tentang hukum lebih bersifat teoritis dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih menitikberatkan pada hal-hal yang praktis dan berkaitan dengan hukum positif.[6]
            Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran disekitar abad ke-16 dan muncul kembali pada abad ke-19, oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Rudolf Stammler. Stammler memberikan pokok-pokok pikirannya mengenai hukum alam sebagai berikut: [7]
a.    Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil;
b.    Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan untuk menentukan kebenaran yang relatif dari hukum dalam setiap situasi.
c.    Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan membawanya lebih dekat pada tujuannya.
            Pada prinsipnya hukum alam bukanlah sesuatu aturan jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah lebel yang bernama hukum alam. Hal ini sejalan dengan pandangan Satjipto Rahardjo[8] yang mengatakan bahwa istilah hukum alam ini didatangkan dalam berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, hakikat hukum alam merupakan hukum yaang berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedman, sejarah hukum alam adalah absolute justice (keadilan yang mutlak) di samping kegagalan manusia dalam mencari keadilan. Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola pikir masyarakat dan keadan politik di zaman itu.[9]
            Pendapat Friedmann di atas, sejalan dengan pendapat Dias yang mengatakan bahwa, hukum alam itu adalah :
1.    Ideal-ideal yang menurut perkembangan hukum dan pelaksanaannya;
2.    Dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya;
3.    Metode untuk menemukan hukum yang sempurna;
4.    Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didiskusikan melalui akal;
5.    Kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam masyarakat.
            Selain Friedmann dan Dias yang merupakan penggagas aliran hukum alam, juga ada Thomas Aquinas, seorang filsuf yang terkenal melalui bukunya Summa Theologica dan De Regimen Principum. Pemikiran yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas mengenai hukum alam banyak mempengaruhi gereja bahkan menjadi dasar pemikiran gereja hingga saat ini. Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam empat golongan, yaitu [10]
1.    Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengtaur segala hal dan bersumber dari segala hukum. Rasio ini yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia.
2.    Lex Divina, bagian dari Rasio Tuhan yang ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
3.    Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia.
4.    Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berhubungan dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh keadaan dunia.

B.  Aliran Hukum Positif
Aliran Hukum Positif juga yang sering dikenal dengan positivisme hukum menurut Hans Kelsen seperti yang dikutip oleh Lili Rasjidi merupakan suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan senyatanya itu, yakni apakah hukum positif itu adil atau tidak adil. Selain itu dapat juga dikatakan bahwa hukum positf merupakan kebalikan hukum alam. Sebab, aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Menurut aliran  positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis dalam arti yang mutlak. Artinya adalah ilmu pengetahuan hukum adalah undang-undang positif yang diketahui dan disistematikan dalam bentuk kodifikasi-kodifikasi yang ada. Positivisme hukum juga berpandangan bahwa perlu dipisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya / antara das Sollen dan das Sein).
Dalam kacamata positivis tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command from the lawgivers). Bahkan bagi sebagian aliran Positivisme Hukum yang disebut juga Legisme, berpendapat bahwa hukum itu identik dengan Undang-undang. Positivisme Hukum juga sangat mengedepankan hukum sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Aliran ini memiliki beberapa tokoh terkemuka diantaranya Hans Kelsen, John Austin, L.A. Hart, Rudolf Von Jhering, Georg Jellinek, Roguin, Jeze, Saleiles, dan Ripert. Akan tetapi penulis hanya akan membahas aliran positivisme yang dikembangkan oleh John Austin dan L.A Hart, karena peran andil mereka yang cukup signifikan dalam perkembangan aliran ini sehingga banyak menuai kritikan yang bersifat kontroversial dari para filosuf hukum lainnya.
Melalui aliran ini John Austin mengeluarkan suatu karya mengenai teori hukum yaitu digantinya perintah yang berdaulat “yakni negara” bagi tiap cita keadilan dalam definisi hukum. Sehingga buah pemikirannya sangat terlihat dalam pendefinisian hukumnya, yaitu “peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya”. Sedangkan inti dari ajaran Austin dapat diikhtisarkan dalam beberapa butir berikut:[11]
1.    Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat atau bahasa aslinya: Law...was the command of sovereign. Bagi Austin: No low, no sovoreign; and no sovoreign, no low;
2.    Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya;
3.    Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of sovoreignty) mewarnai hampir keseluruhan dari ajaran Austin. Hal ini dapat dikhtisarkan sebagai berikut:
1)      Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat internal maupun eksternal;
2)      Sifat ekskternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum internasional, sedangkan sifat internal kedaulatan negara tercermin pada hukum positif;
3)      Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Yaitu ketaatan tersebut terletak pada legitimasi kedaulatan negara yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku dan diakui secara sah, dan subjeknya merasakan a moral duty to obey ( ada kewajiban moral untuk mentaatinya).
Sedangkan tokoh aliran ini yang juga terpenting adalah H.L.A Hart, yang mana tercerminkan dalam esensi positivismenya betapa kuatnya pengaruh teori hukum murni dari Hans Kelsen. Yang mana diartikan esensi positivisme sebagai berikut:[12]
1.    Pernyataan bahwa hukum adalah perintah manusia;
2.    Pernyataan bahwa tidak ada hubungan yang penting antara hukum dan kesusilaan atau hukum sebagai apa adanya dan hukum yang diharapkan;
3.    Pernyataan bahwa studi hukum harus dibedakan dengan studi hukum dari sudut historis, atau dari sudut sosiologis atau dari sudut kritis (Critical Legal Studies);
4.    Pernyataan bahwa sistem hukum bersifat tertutup (Close Legal System) di mana putusan yang benar adalah yang tidak mempertimbangkan tujuan kesusilaan dan standar moral;
5.    Pernyataan bahwa penilaian moralitas tidak dapat dipertahankan sebagai pernyataan mengenai fakta atas dasar argumen rasional, bukti-bukti.
H.L.A Hart telah memberikan kritik terhadap konsep hukum sebagai perintah penguasa yang bersifat memaksa (ajaran Austin yang mana hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan dimaksudkan untuk menunjukan bahwa hukum tergantung dari paksaan, dan bahwa hak untuk memaksa adalah monopoli mutlak negara). Dia mengatakan bahwa konsep hukum Austin memiliki tiga cacat (defects). Pertama, dalam primary rules of the social structure tidak mencerminkan kepastian (uncertainty); cacat kedua, konsep hukum Austin bersifat statis (static character); dan cacat ketiga, konsep hukum Austin tidak efesien (ineffeciency).[13] Tidak hanya H.L.A Hart, pemikiran Austin juga sangat ditentang keras oleh Mazhab sejarah dan Mazhab Sociological Jurisprudence yang mempertahankan ketidaktergantungan hukum dari kekuasaan dan perintah.

C.  Aliran Utilitarianisme
Aliran ini di pelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Aliran ini akan penulis awali dengan ajaran Jeremy Bentham, yang berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Standar penilaian etis yang dipakai disini adalah apakah suatu tindakan itu menghasilkan kebahagiaan. Kebaikan adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Dalam sistem pemidanaan, menurutnya harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dana seberapa beratnya pidana itu tidak boleh melibihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih rendah, Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jika tidak demikian, maka akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant yang mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Ia berpendapat bahwa asal-usul perasaan akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahanka diri dan perasaan simpati. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya. Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita.
Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial, jadi merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain. Jhering sangat tidak menyukai apa yang disebut dengan ilmu hukum yang menekankan pada konsep-konsep, bahwa kebijaksanan hukum itu tidak terletak pada permainan teknik-teknik pengehalusan dan penyempurnaan konsep, melainkan kepada penggarapan konsep-konsep itu untuk melayani tujuan-tujuan yang praktis.

D.  Aliran Sejarah
Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari aliran pemikiran hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun kerangka teoritik berikutnya. Disamping itu kelahiran satu aliran sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu pertama kali muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran atau mazhab hukum dapat dikatakan sebagai jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian pada zamannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan kritik positivisme dan aliran sejarah terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis terhadap positivistik. Demikian juga halnya dengan kritik yang ditujukan oleh postmodernisme terhadap kemapanan modernisme. Kelahiran mazhab sejarah dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui tulisannya yang berjudul ”Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft” (Tentang Pekerjaan pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), di pengaruhi oleh dua faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19.
Disamping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari pendapat Thibaut yang menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan pada hukum Prancis (Code Napoleon). Kedua pengaruh tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:
Menurut Friedmann Aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua kekuatan besar yang berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut Friedmann adalah[14] :
1.    Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi sosial;
2.    Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.
Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran aliran/mazhab sejarah merupakan reaksi tidak langsung dari terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif. Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya mazhab sejarah adalah pemikiran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” yang mengatakan tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya[15]. Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari L’esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.
Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi perbandingan mengenai undang-undang dan pemerintahan. Seperti yang telah diuraikan diatas, selain dipengaruhi oleh pemikiran Montesque lahirnya mazhab sejarah juga banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme Jerman yang mulai muncul pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan moment (semangat nasionalisme), Savigny menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang kodifikasi hukum yang tersebar dalam pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland” (Keperluan akan adanya kodefikasi hukum perdata negara Jerman).  
Hakikat dari setiap sistem hukum menurut savigny adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. Dikemudian hari hal tersebut oleh G. Puchta, murid Savigny yang paling setia, dicirikan sebagai Volkgeist,  menurut Puchta hukum adalah perwujudan dari kesadaran yang umum ini. Dikatakannya[16]:
“Hukum itu bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya.”

E.  Aliran Sociological Jurisprudence
Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Aliran ini berkembang di Indonesia dan di Amerika, dipelopori oleh Roescoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich, Gurvitch, dan lain-lain. Akan tetapi Romli Atmasasmita berpendapat bahwa aliran ini berasal dari Oliver Wendell Holmes (1841-1935) yang juga menurut para teoritis merupakan tokoh terpenting dalam aliran Realisme Hukum.[17] Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup  di dalam masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis.
Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang sebagai hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini adalah hukum adat yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai kebiasaan yang lama kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.[18]
Dalam hal ini penulis hanya akan membahas pemikiran dari dua tokoh aliran ini yang kami anggap berperan penting dalam perkembangan aliran ini yaitu Roescoe Pound dan Eugen Ehrlich. Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara. Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan primat “pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public interest).[19]
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua aliran tersebut ada kebenarannya. Hanya, hukum yang sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.
Eugen Ehrlich (1862-1922) dalam karyanya “Fundamental Principles of the Sociology of Law (1913) yang telah melakukan kritik terhadap peranan ahli hukum dengan sebutan “Lawyer’s Law”. Sebutan sinis ini telah membuka mata para ahli para ahli hukum ketika itu atas kekeliruannya dalam memahami konsep hukum dan penerepanya dalam masyarakat. Bahkan Ehrlich lebih jauh mengkritisi peranaan para hakim yang hanya menerapkan hukum atas suatu fakta tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis atas putusannya. Pernyataan Ehrlich yang sangat terkenal sebagai pelopor aliran ini adalah “pusat gravitasi perkembangan hukum sepanjang waktu dapat ditemukan, bukan di dalam perundang-perundangan dan dalam ilmu hukum atau putusan pengadilan melainkan di dalam masyarakat itu sendiri”.[20] Aliran sangat mempengaruhi para ahli hukumnya untuk betul-betul menarik perhatiannya kepada problem-problem kehidupan sosial yang nyata. Kritik yang bisa dilontarkan terhadap pendapat Ehrlich yang demikia itu adalah, bahwa ilmu hukum yang dilahirkanya menjadi tanpa bentuk (amorphous), bahkan menjadikan arti penting dari hukum itu tenggelam dan menuntun kepada kematian ilmu tersebut.[21]

F.   Aliran Realisme Hukum
Aliran realisme hukum merupakan salah satu subaliran dari positivisme hukum yang dipelopori oleh John Chipman, Oliver Wendel Holmes, Karl Liwellyn, Jerome Frank, William James, dan lain-lain. Roescoe Pound pun dapat digolongkan dalam aliran ini melalui pendapatnya yang mengungkapkan bahwa hukum itu merupakan a tool of social engineering.
Gerakan realisme mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan formula dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta (kenyataan).
Jadi, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah “gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa hal, yang terpeting diantaranya:[22]
1.      Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
2.       Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.
3.      Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.
4.      Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”
5.      Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.
Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga tersebut telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli. Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam Undang-Undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang atau aturan lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena belum ada hukum tertulis yang mengaturnya. [23]
Holmes dikenal sebagai “the founder of the realist shoud”. Holmes, selama 30 tahun menjabat jabatan Hakim Agung Amerika Serikat. Kata-katanya yang paling terkenal adalah: The life of the law has been, not logic, but experience. Aspek-aspek empiris dan pragmatis dari hukum merupakan hal yang penting. Bagi Holmes, yang disebutnya sebagai hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus dalam kenyataannya oleh pengadilan: Buku Holmes yang terkenal terbit pada tahun 1920 berjudul: The Path of Law.
            Jadi bagi Holmes, hukum adalah kelakuan aktual para hakim ( Patterns of behaviors) dimana patterns of behavior hakim itu ditentukan oleh tiga faktor, masing-masing:[24]
1.      Kaidah-kaidah hukum yang dikonkritkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan konstruksi.
2.      Moral hidup pribadi hakim.
3.      Kepentingan sosial.


    






BAB III
KESIMPULAN


Keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum adalah sebuah doktrin hukum yang telah berkembang pada zaman keemasan  masing-masing dari ketiga hal tersebut. Pada hakekatnya, timbulnya setiap aliran-aliran dalam filsafat hukum yang membawakan doktrin-doktrin yang merupakan buah pemikiran di tiap-tiap periode adalah wujud ketidakpuasan atas apa yang mereka dapatkan dalam realita konteks bermasyarakat yang selalu menginginkan ketiga doktrin tersebut berjalan searah dan sepadan. Akhirnya mereka para filosuf mulai berkontemplasi untuk menghasilkan suatu ajaran hukum yang tertuang berdasarkan ide-ide imajinatif (law in abstracto) dan pengalaman yang secara langsung mereka rasakan (law in concreto).
Perkembangan hukum indonesia yang bisa dikatakatan masih dalam pasang surut, tidak berpendirian tetap pada satu doktrin dan lebih cenderung menerima adalah salah satu contoh negara yang terpengaruhi dengan ajaran-ajaran hukum era klasik maupun modern. Setelah kita  terlepas dari jeratan kolonialisme, indonesia menerima begitu saja doktrin hukum belanda yang terpengaruhi oleh doktrin hukum perancis dalam suatu peralihan yang akhirnya terkodifikasi menjadi suatu tatanan hukum nasional. Menurut penulis, terlihat jelas dalam praktik penegakan hukum diawal kemerdekaan Indonesia bagaiamana para penegak hukum sangat terpengaruhi dengan apa yang diajarkan oleh aliran legisme-positivisme dengan doktrin kepastian hukum. Dimana setiap para penegak hukum, dan hakim khususnya dituntut untuk mengadili setiap perkara sesuai dengan apa yang tertera dalam kitab undang-undang demi terjaminnya kepastian hukum tanpa memasukkan sumber-sumber nilai normatif lainnya.
Maka kembali lagi kepada ketidakpuasan para sarjana hukum yang melihat lemahnya doktrin legisme-positvisme  tersebut, timbul adanya kebutuhan untuk mengadopsi dan membangun sebuah paradigma baru untuk menggantikan posisi doktrin yang sudah tak relavan termakan usia tersebut. Maka ketika itu, ada beberapa aliran dalam filsafat hukum yang ditawarkan untuk melengkapi kesenjangan hukum di negeri ini, seperti  pernah diutarakan untuk mempertimbangkan doktrin utilitarianisme tentang kemanfaatan hukum untuk menyelesaikan (bukan sekedar memutusi) perkara. Bukan logika hukum para yuris elit yang beroptik formalisme untuk mendahulukan berlakunya hukum perundang-undangan saja yang terutama harus berbicara di sini, akan tetapi terutama juga kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk di badan-badan legislatif (sebagai pembuat undang-undang alias hukum in abstracto) maupun yang duduk di kursi-kursi sidang pengadilan (sebagai hakim, pembuat hukum in concreto.
Bukan positivisme dan legisme yang diperlukan di sini, melainkan temuan paradigma baru, khususnya untuk kinerja kehakiman, seperti misalnya apa yang di Amerika, dirintis oleh Roscoe Pound, disebut sociological jurisprudence yang menuntut para hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Juga tidak bisa terbantahkan dengan apa yang telah ditawarkan aliran sejarah yang telah membuka mata para legislator untuk menjadikan hukum adat sebagai salah satu  sumber hukum yang tidak bisa ditinggalkan. Maka apabila kita melihat perkembangan hukum di Indonesia beserta relavansi aliran-aliran hukum dalam filsafat yang berpengaruh dan berkembang didalamnya. Terlihat jelas terhadap maju pesatnya perkembangan teori hukum yang terilhami dari beberapa aliran-aliran yang tertera diatas, seperti dua teori yang telah menjadi tolak ukur pembalajaran dan rujukan ilmiah para sarjana hukum di Indonesia yaitu teori hukum pembangunan dan teori hukum progresif.
Akan tetapi apabila kita telaah lebih mendalam mengenai apa yang menyebabkan terjadinya kesenjangan hukum yang begitu kritis di Indonesia, dengan tetap tidak menyampingkan sistem hukum yang begitu lemah. Adalah sebuah integritas para penegak hukum, dimana mereka yang katanya ahli hukum dengan sendirinya mengikis nilai integritas hanya demi memenuhi kepentingan beberapa pihak tak bertanggungjawab. Maka di sini bukan kehadiran good law yang sebenarnya pertama-tama diharapkan, melainkan kehadiran good man (tentu saja juga good woman), khususnya di badan-badan pengadilan. Inilah manusia arif dan bijaksana yang tahu bagaimana mendayakan hukum guna merespons kebutuhan masyarakat warga, khususnya mereka yang masih terpuruk di dalam derita kesenjangan yang sungguh diskriminatif. Di tangan dan ditangani good (wo)man — baik yang duduk di kursi-kursi badan legislatif maupun di kursi-kursi badan pengadilan — itu maka hukum itu, in abstracto maupun in concreto, akan nyata terbilang ke dalam bilangan ‘hukum yang responsif’ dengan fungsinya sebagai pelindung kebebasan dan hak-hak asasi manusia warganegara, yang tak cuma hendak berkutat pada tafsir formal melainkan juga mengajuk ke kebenaran yang lebih bersifat materiil, ialah justice for all.























DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atmasasmita,Romli., Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori Hukum   
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta Publishing, 2012
Ali, Achmad., Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,
Jakarta:Gunung Agung, 2002
Ali, Zainuddin., Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Friedman.W., Legal Theory, alih bahasa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat
Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I , Jakarta: CV. Rajawali, 1990
MD,Moh.Mahfud., Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana UII
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah., Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum:
Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Rahardjo, Satjipto., Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006
Rasyidi, Lili., Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996
Soekanto, Soerjono., Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: cv
Rajawali, 1985
Sidartha, B.Arief., Hukum dan Logika, Bandung: PT Alumni, 2000

Internet





[1]B.Arief Sidartha, Hukum dan Logika, (Bandung: PT Alumni, 2000), hlm.35.
[2]Ibid.,hlm.35
[3]Moh.Mahfud MD, Bahan Kuliah Politik Hukum, (Program Pascasarjana UII), hlm.12.
[4]Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.49
[5]Ibid.,49 hlm.
[6] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta:Gunung Agung, 2002), hlm.258.
[7]Lihat, Rudolf Stammler, dalam Achmad Ali, Ibid.,hlm.262
[8]Zainuddin Ali, Ibid., hlm. 53
[9] Friedmann, dalam Lili Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 1996)hlm.49
[10]Thomas Aquinas, dalam Lili Rasyidi,Ibid., hlm.50.
[11]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum: Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 98-99
[12]Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif ( Yogyakarta: Genta Publishing, 2012),hlm. 30-31
[13]Ibid., hlm. 32
[14]W. Friedmann, Legal Theory, alih bahasa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I (Jakarta, CV. Rajawali, 1990),hlm.60
[15]Lili Rasjidi, Ibid,. hlm. 64
[16]Sajdipto Rahardjo, Ibid,. hlm. 285
[17]Romli Atmasasmita, Ibid., hlm. 37
[18]Zainuddin Ali, Ibid., hlm. 61
[19]http://kuliahfilsafathukum12.blogspot.com/2012/03/aliran-aliran-filsafat-hukum. Diunduh 20 April 2013


[20]Romli Atmasasmita, Ibid., hlm. 38
[21]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 303
[22]Zainuddin Ali, ibid., hlm. 63
[23]Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: cv Rajawali, 1985), hlm. 33
[24]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, ibid., hlm. 146

Tidak ada komentar:

Posting Komentar