BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia
adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan keistimewaan akal sebagai ruang
cipta dan hati sebagai ruang rasa. Keduanya menuntun manusia untuk selalu ingin
tahu terhadap segala sesuatu, yang hasil dari keinginan ini disebut
pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki manusia bisa berbentuk pengetahuan
indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama.
Pengetahuan filsafat sering sekali menjadi fokus pengkajian dalam sejarah
perkembangannya dengan tidak menyampingkan ketiga pengetahuan lainnya yang
saling berkontribusi dalam hal menghasilkan ilmu selalu berkembang.
Ketidakpuasan dan kehausan para pemikir dalam menghasilkan ilmu yang dinamis
menjadikan berkembangnya aliran-aliran yang saling mempertahankan ilmu atau
buah pikiran yang telah mereka hasilkan. Hal demikian juga terjadi dalam
disiplin ilmu filsafat pada umumnya , dan filsafat hukum pada khususnya.
Filsafat
sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan mendalam tentang
pertanyaan dalam kehidupan yang dijalani manusia, dengan artian filsafat
merupakan sesuatu yang bersifat abstrak. Adalah pengethuan yang membangun
banyak dasar-dasar keilmuan atas pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari
manusia. Dan diantara ilmu yang dihasilkan dan dikembangkan oleh manusia dari
berfilsafat, ilmu hukum merupakan salah satunya. Sebuah adagium mengatakan, ibi
ius ibi societas, yakni dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Sebagian
keilmuan, teori-teori dan penemuan norma-norma dalam hukum didasari oleh
filsafat hukum sebagai cabang dari filsafat.
Filasafat
hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum, apa
tujuannya, mengapa dia ada, dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum.
Filsafat mengajak kita untuk berpikir radikal dan spekulatif, sehingga selalu
ingin mengetahui mengenai kebenaran produk hukum, bagaimana datangnya kebenaran
itu dan bagaimana mempertahankannya, dengan mempertimbangkan nilai-nilai
keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan yang mampu diaplikasikan.
Berbagai
pergulatan pemikiran hukum yang terus menerus berkembang dalam filsafat hukum,
menimbulkan banyak aliran dalam filsafat hukum. Antar aliran-aliran atau
mazhab-mazhab filsafat hukum tersebut terjadi dialektika yang membahas asal
usul terciptanya hukum. Apabila pada masa lalu, filsafat hukum merupakan produk
sampingan dari para filosuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi demikian karena
masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri bagi para
ahli hukum. Karena memang aliran-aliran filsafat hukum tersebut sangat
diperlukan dalam menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai dasar-dasar
filsafatnya. Dengan demikian dalam kajian ini, penulis akan menguraikan
beberapa aliran filsafat hukum yang menurut kami paling dominan atau memiliki
pengaruh yang cukup besar dalam iklim hukum di Indonesia .
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah
definisi aliran hukum itu?
2.
Apa
saja aliran-aliran dominan dalam filsafat hukum dan bagaimana perkembanganya di
dunia?
3.
Siapa
saja pelopor dan tokoh yang terpenting dalam aliran-aliran tersebut?
4.
Aliran-aliran
apa saja yang relevan serta berkembang dalam iklim hukum Indonesia?
C. Tujuan
1.
Memahami
definisi aliran secara etimologi bahasa dan istilah.
2.
Memahami
perkembangan aliran-aliran dominan dalam filsafat hukum di dunia.
3.
Mengetahui
tokoh-tokoh terpenting dalam aliran tersebut beserta ajarannya.
4.
Memahami
aliran-aliran yang relevan dalam iklim hukum Indonesia.
D. Metode Penelitian
Metode yang
digunakan dalam penyelesaian makalah ini adalah pendekatan kepustakaan, dengan
mempelajari buku-buku dan karya tulisan lainnya yang berkaitan dengan materi
makalah.
BAB
II
PEMBAHASAN
Secara
etimologi bahasa aliran adalah haluan, pendapat atau paham. Secara istilah aliran
hukum merupakan suatu paham seseorang atau kelompok mengenai nilai-nilai, dasar
beserta hakikat hukum yang memiliki penganut dengan yakin mengikutinya. Jika
kita bandingkan dengan pemahaman teori hukum maka ada beberapa ahli yang
menyamakannya namun ada juga yang membedakannya. Akan tetapi penulis cenderung
membedakannya, karena teori hukum itu adalah pendapat yang dikemukakan
seseorang sebagai pedoman dalam merumuskan suatu produk hukum sehingga hukum
itu dapat dilaksanakan dalam praktek kehidupan masyarakat. Aliran cenderung
lebih umum karena satu aliran yang sama dapat melahirkan berberapa teori hukum.
Para
pakar hukum memiliki pandangan yang hampir sama tentang konsep aliran dalam
filsafat hukum. Satjipto Rahardjo membagai aliran filsafat hukum sebagai teori
yunani dan romawi, positivisme dam utilitarianisme, hukum alam, teori hukum
murni, pendekatan sejarah dan antropologis, serta pendekatan sosiologis.
Sedangkan Soejono Soekanto membaginya sebagai aliran utilitarianisme, mazhab
sejarah dan kebudayaan, mazhab formalitas, aliran realisme hukum, dan aliran
sociological jurisprudence. Adapun Lili Rasjidi membaginya ke dalam mazhab
sejarah, aliran hukum alam, aliran hukum positif, aliran sociological
jurisprudence, dan aliran pragmatic legal realism.
Akan
tetapi dalam makalah ini penulis akan membatasi pembahasan kepada beberapa
aliran filsafat hukum, meliputi:
1.
Aliran
Hukum Alam
2.
Aliran
Hukum Positif
3.
Aliran
Utilitarianisme
4.
Aliran
sejarah
5.
Aliran
sociological jurisprudence
6.
Aliran
Realisme Hukum
A.
Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam, bisa dibilang
sebagai sebuah paradigma yang paling tua sekaligus serta paling besar pengaruhnya bagi
perkembangan ilmu hukum sampai hari ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan
setelah periode hukum alam, sesungguhnya merupakan perkembangan atau
penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam. Dalam teori hukum alam, hukum
sebagai nilai yang universal dan selalu hidup di sanubari orang, masyarakat
maupun negara. Hal ini disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada
batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.
Bahkan disebutkaan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem
hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat ketuhanan yang
berdasarkan atas akal budi hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih
superior dari hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari
norma-norma yang bukan makna dari tindakan-tindakan kemauan manusia; karena itu
nilai-nilai yang mereka bentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy),
subjektif atau relatif.[1]
Hukum alam tampil sebagai suatu hukum dari akal budi (reason) manusia
dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorng yang
menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum.[2]
Kekuatan utama dari paradigma ini
tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada
pencapaaian nilai-nilai keadilan bagi masyarakat. Para pemikir hukum paradigma
hukum alam, berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuh esensial (essential
value) dari hukum, bahkan sering diidentikkan sebagai sebuah nilai yang
tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak
tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebgai sebuah alat
untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai
“cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat suatu negara.[3]
Pada abad ke-5 SM masih bersifat
primitif, yaitu hukum masih bersifat primitif, yaitu hukum masih dipandang
sebagai suatu keharusan alamiah, baik semesta alam maupun alamiah. Namun, pada
abaad ke-4 SM para filsuf mulai insaf peran manusia dalam membentuk hukum
misalnya Socrates. Socrates menuntut upaya para penegak hukum mengindahkan
keadilan sebagai nilai yang melebihi manusia. Demikian juga pendapat Plato
(427-347 SM) dan Aristoteles (348-322 SM) yang mulai mempertimbangkan bahwa
manakah aturan yang lebih adil yang harus menjadi alat untuk mencapai tujuan
hukum, walaupun mereka juga tetap mau taat pada tuntutan-tuntutan alam sehingga
zaman ini dikenal dengan zaman atau aliran hukum alam.
Pada abad ke-8 sebelum Masehi,
aliran hukum alam dalam pemikiran di zaman Romawi dimunculkan oleh
pemikir-pemikir yang dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang berkembang di Yunani,
terutama oleh pikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Salah satu tokoh Romawi
yang banyak mengemukakan pemikirannya tentang hukum alam adalah Cicero, [4]seorang
yuris dan seorang negarawan. Cicero mengajarkan konsep tentang a true law
(hukum yang benar) yang disesuaikannya dengan right reason (penalaran
yang benar), serta sesuai dengan alam, dan yang menyebar diantara kemanusiaan
dan sifat immutable dan enternal. Hukum apapun harus bersumber
dari true law itu. Pada kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa, kita
lahir untuk keadilan. Dan hukum tidaklah didasarkan pada opini, tetapi pada man’s
very nature. Selain Cicero sebagai salah seorang tokoh pemikir zaman Romawi
tersebut, maka salah satu pemikir
terkenal adalah Gaius. Gaius membedakan antara ius civile dan ius gentium. Ius
Civile adalah hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu, sedangkan
ius gentium adalah hukum yang berlaku universal yang bersumber pada akal
pemikiran manusia.[5]
Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi
mempunyai perbedaan yang konkret mengenai pandangan terhadap hukum. Menurut
pendapat Achmad Ali, pemikiran Yunani tentang hukum lebih bersifat teoritis dan
filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih menitikberatkan pada hal-hal yang
praktis dan berkaitan dengan hukum positif.[6]
Perkembangan hukum alam mengalami
kemunduran disekitar abad ke-16 dan muncul kembali pada abad ke-19, oleh
seorang bangsa Jerman yang bernama Rudolf Stammler. Stammler memberikan
pokok-pokok pikirannya mengenai hukum alam sebagai berikut: [7]
a.
Semua
hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil;
b.
Hukum
alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan untuk
menentukan kebenaran yang relatif dari hukum dalam setiap situasi.
c.
Metode
itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan membawanya
lebih dekat pada tujuannya.
Pada prinsipnya hukum alam bukanlah
sesuatu aturan jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang
keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah lebel yang
bernama hukum alam. Hal ini sejalan dengan pandangan Satjipto Rahardjo[8]
yang mengatakan bahwa istilah hukum alam ini didatangkan dalam berbagai artinya
oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda pula. Dengan demikian,
hakikat hukum alam merupakan hukum yaang berlaku universal dan abadi. Sebab
menurut Friedman, sejarah hukum alam adalah absolute justice (keadilan
yang mutlak) di samping kegagalan manusia dalam mencari keadilan. Pengertian
hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola pikir masyarakat dan
keadan politik di zaman itu.[9]
Pendapat Friedmann di atas, sejalan
dengan pendapat Dias yang mengatakan bahwa, hukum alam itu adalah :
1.
Ideal-ideal
yang menurut perkembangan hukum dan pelaksanaannya;
2.
Dasar
dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu
pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya;
3.
Metode
untuk menemukan hukum yang sempurna;
4.
Isi
dari hukum yang sempurna, yang dapat didiskusikan melalui akal;
5.
Kondisi
yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam masyarakat.
Selain Friedmann dan Dias yang
merupakan penggagas aliran hukum alam, juga ada Thomas Aquinas, seorang filsuf
yang terkenal melalui bukunya Summa Theologica dan De Regimen
Principum. Pemikiran yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas mengenai hukum
alam banyak mempengaruhi gereja bahkan menjadi dasar pemikiran gereja hingga
saat ini. Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam empat golongan, yaitu [10]
1.
Lex
Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang
mengtaur segala hal dan bersumber dari segala hukum. Rasio ini yang tidak dapat
ditangkap oleh panca indra manusia.
2.
Lex
Divina, bagian dari Rasio Tuhan yang ditangkap
oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
3.
Lex
Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam,
yaitu penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia.
4.
Lex
Positivis, hukum yang berlaku merupakan
pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berhubungan dengan syarat khusus yang
dipengaruhi oleh keadaan dunia.
B.
Aliran Hukum Positif
Aliran
Hukum Positif juga yang sering dikenal dengan positivisme hukum menurut Hans
Kelsen seperti yang dikutip oleh Lili Rasjidi merupakan suatu teori tentang
hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan senyatanya itu, yakni apakah
hukum positif itu adil atau tidak adil. Selain itu dapat juga dikatakan bahwa
hukum positf merupakan kebalikan hukum alam. Sebab, aliran ini mengidentikkan
hukum dengan undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
Menurut aliran positivisme, hukum
ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis dalam arti yang mutlak. Artinya
adalah ilmu pengetahuan hukum adalah undang-undang positif yang diketahui dan
disistematikan dalam bentuk kodifikasi-kodifikasi yang ada. Positivisme hukum
juga berpandangan bahwa perlu dipisahkan secara tegas antara hukum dan moral
(antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya / antara das Sollen
dan das Sein).
Dalam
kacamata positivis tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is
command from the lawgivers). Bahkan bagi sebagian aliran
Positivisme Hukum yang disebut juga Legisme, berpendapat bahwa hukum itu
identik dengan Undang-undang. Positivisme Hukum juga sangat mengedepankan hukum
sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Aliran ini
memiliki beberapa tokoh terkemuka diantaranya Hans Kelsen, John Austin, L.A.
Hart, Rudolf Von Jhering, Georg Jellinek, Roguin, Jeze, Saleiles, dan Ripert.
Akan tetapi penulis hanya akan membahas aliran positivisme yang dikembangkan
oleh John Austin dan L.A Hart, karena peran andil mereka yang cukup signifikan
dalam perkembangan aliran ini sehingga banyak menuai kritikan yang bersifat
kontroversial dari para filosuf hukum lainnya.
Melalui
aliran ini John Austin mengeluarkan suatu karya mengenai teori hukum yaitu
digantinya perintah yang berdaulat “yakni negara” bagi tiap cita keadilan dalam
definisi hukum. Sehingga buah pemikirannya sangat terlihat dalam pendefinisian
hukumnya, yaitu “peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk
yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya”. Sedangkan inti
dari ajaran Austin dapat diikhtisarkan dalam beberapa butir berikut:[11]
1.
Hukum
adalah perintah pihak yang berdaulat atau bahasa aslinya: Law...was the
command of sovereign. Bagi Austin: No low, no sovoreign; and no
sovoreign, no low;
2.
Ilmu
hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan
lain yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya;
3.
Konsep
tentang kedaulatan negara (doctrine of sovoreignty) mewarnai hampir
keseluruhan dari ajaran Austin. Hal ini dapat dikhtisarkan sebagai berikut:
1)
Kedaulatan
yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat
internal maupun eksternal;
2)
Sifat
ekskternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum internasional, sedangkan
sifat internal kedaulatan negara tercermin pada hukum positif;
3)
Pelaksanaan
kedaulatan membutuhkan ketaatan. Yaitu ketaatan tersebut terletak pada
legitimasi kedaulatan negara yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku
dan diakui secara sah, dan subjeknya merasakan a moral duty to obey (
ada kewajiban moral untuk mentaatinya).
Sedangkan
tokoh aliran ini yang juga terpenting adalah H.L.A Hart, yang mana tercerminkan
dalam esensi positivismenya betapa kuatnya pengaruh teori hukum murni dari Hans
Kelsen. Yang mana diartikan esensi positivisme sebagai berikut:[12]
1.
Pernyataan
bahwa hukum adalah perintah manusia;
2.
Pernyataan
bahwa tidak ada hubungan yang penting antara hukum dan kesusilaan atau hukum
sebagai apa adanya dan hukum yang diharapkan;
3.
Pernyataan
bahwa studi hukum harus dibedakan dengan studi hukum dari sudut historis, atau
dari sudut sosiologis atau dari sudut kritis (Critical Legal Studies);
4.
Pernyataan
bahwa sistem hukum bersifat tertutup (Close Legal System) di mana putusan yang
benar adalah yang tidak mempertimbangkan tujuan kesusilaan dan standar moral;
5.
Pernyataan
bahwa penilaian moralitas tidak dapat dipertahankan sebagai pernyataan mengenai
fakta atas dasar argumen rasional, bukti-bukti.
H.L.A
Hart telah memberikan kritik terhadap konsep hukum sebagai perintah penguasa
yang bersifat memaksa (ajaran Austin yang mana hukum sebagai alat untuk
mencapai tujuan dimaksudkan untuk menunjukan bahwa hukum tergantung dari
paksaan, dan bahwa hak untuk memaksa adalah monopoli mutlak negara). Dia
mengatakan bahwa konsep hukum Austin memiliki tiga cacat (defects). Pertama,
dalam primary rules of the social structure tidak mencerminkan kepastian
(uncertainty); cacat kedua, konsep hukum Austin bersifat statis (static
character); dan cacat ketiga, konsep hukum Austin tidak efesien (ineffeciency).[13]
Tidak hanya H.L.A Hart, pemikiran Austin juga sangat ditentang keras oleh
Mazhab sejarah dan Mazhab Sociological Jurisprudence yang mempertahankan
ketidaktergantungan hukum dari kekuasaan dan perintah.
C.
Aliran Utilitarianisme
Aliran
ini di pelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873),
dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Aliran ini akan penulis awali dengan ajaran
Jeremy Bentham, yang berpendapat bahwa alam
memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak
kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Standar penilaian etis yang dipakai
disini adalah apakah suatu tindakan itu menghasilkan kebahagiaan. Kebaikan
adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara
kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Dalam
sistem pemidanaan, menurutnya harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dana
seberapa beratnya pidana itu tidak boleh melibihi jumlah yang dibutuhkan untuk
mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa
diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih
rendah, Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan
kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk
itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jika tidak demikian, maka
akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang
lain). karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.
Penulis lain yang tidak
kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak dipengaruhi oleh
pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia ialah kebahagiaan.
Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang membangkitkan
nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant yang mengajarkan bahwa individu
harus bersimpati pada kepentingan umum. Kemudian Mill lalu menganalisis
hubungan antara kegunaan dan keadilan. Ia berpendapat bahwa asal-usul perasaan
akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan melainkan pada dua sentimen,
yaitu rangsangan untuk mempertahanka diri dan perasaan simpati. Pada
hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu menyesal
dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya. Menurut Mill,
keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan
yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan
simpati dari kita.
Pendapat lain
dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme yang
individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai pandangan utilitarianisme
yang bersifat sosial, jadi merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan
oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi Jhering,
tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam
mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai
pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu
dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi
seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain. Jhering sangat tidak
menyukai apa yang disebut dengan ilmu hukum yang menekankan pada konsep-konsep,
bahwa kebijaksanan hukum itu tidak terletak pada permainan teknik-teknik
pengehalusan dan penyempurnaan konsep, melainkan kepada penggarapan
konsep-konsep itu untuk melayani tujuan-tujuan yang praktis.
D. Aliran Sejarah
Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat
tergantung dari aliran pemikiran hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik
dalam rangka membangun kerangka teoritik berikutnya. Disamping itu kelahiran
satu aliran sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu
pertama kali muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran atau mazhab hukum
dapat dikatakan sebagai jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian pada
zamannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan kritik positivisme dan aliran
sejarah terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis terhadap
positivistik. Demikian juga halnya dengan kritik yang ditujukan oleh
postmodernisme terhadap kemapanan modernisme. Kelahiran mazhab sejarah
dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui tulisannya yang
berjudul ”Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft”
(Tentang Pekerjaan pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum),
di pengaruhi oleh dua faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya “L’
esprit des Lois” dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul pada
awal abad ke 19.
Disamping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari
pendapat Thibaut yang menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan
pada hukum Prancis (Code Napoleon). Kedua pengaruh tersebut bisa
digambarkan sebagai berikut:
Menurut Friedmann Aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua
kekuatan besar yang berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut Friedmann
adalah[14] :
1. Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam, kekuasaan
akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan
suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, cirri
khas nasional, dan kondisi sosial;
2. Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap
tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas
keadaan-keadaan zamannya.
Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran aliran/mazhab sejarah merupakan
reaksi tidak langsung dari terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif.
Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya mazhab sejarah adalah pemikiran
Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” yang mengatakan tentang
adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya[15]. Menurut
W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari L’esprit des Lois
adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip
hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah,
agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.
Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi
perbandingan mengenai undang-undang dan pemerintahan. Seperti yang telah
diuraikan diatas, selain dipengaruhi oleh pemikiran Montesque lahirnya mazhab
sejarah juga banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme Jerman yang mulai
muncul pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan moment (semangat nasionalisme),
Savigny menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang kodifikasi hukum
yang tersebar dalam pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit Eines Allgemeinen
Burgerlichen Rechts Fur Deutschland” (Keperluan akan adanya kodefikasi
hukum perdata negara Jerman).
Hakikat dari setiap sistem hukum menurut savigny adalah sebagai pencerminan
jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. Dikemudian hari hal tersebut oleh G.
Puchta, murid Savigny yang paling setia, dicirikan sebagai Volkgeist, menurut Puchta hukum adalah perwujudan dari kesadaran
yang umum ini. Dikatakannya[16]:
“Hukum itu bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat bersama-sama
dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu
kehilangan kebangsaannya.”
E. Aliran Sociological Jurisprudence
Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran
pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan
masyarakat. Aliran ini berkembang di Indonesia dan di Amerika, dipelopori oleh Roescoe
Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich, Gurvitch, dan lain-lain.
Akan tetapi Romli Atmasasmita berpendapat bahwa aliran ini berasal dari Oliver
Wendell Holmes (1841-1935) yang juga menurut para teoritis merupakan tokoh
terpenting dalam aliran Realisme Hukum.[17] Menurut
aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup di dalam masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara
hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the
living law). Singkatnya yaitu, aliran hukum
yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup
dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis.
Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan
Undang- Undang sebagai hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak
tertulis disini adalah hukum adat yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya
sebagai kebiasaan yang lama kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku dalam
adat tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak
tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan
perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk
itu ia harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan
mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Aliran Sociological
Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi
Hukum. Dengan rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi
yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence
merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal
balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai
cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan
sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di
samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap
masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan
sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological
jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedang
sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.[18]
Dalam
hal ini penulis hanya akan membahas pemikiran dari dua tokoh aliran ini yang
kami anggap berperan penting dalam perkembangan aliran ini yaitu Roescoe Pound
dan Eugen Ehrlich. Roscoe Pound menganggap
bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering and
social controle) yang
bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi
kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang
usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan
kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal
itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara. Pendapat/pandangan
dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence.
Primat logika dalam hukum digantikan dengan primat “pengkajian dan penilaian
terhadap kehidupan manusia (Lebens
forschung und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan
keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing
of interest, private as well as public interest).[19]
Roscoe Pound juga
berpendapat bahwa living law merupakan synthese
dari these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya,
kedua aliran tersebut ada kebenarannya. Hanya, hukum yang sanggup menghadapi ujian
akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu
hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji
oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh
pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem
hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang
diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau
mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu
oleh kekuasaan masyarakat itu.
Eugen Ehrlich
(1862-1922) dalam karyanya “Fundamental Principles of the Sociology of Law
(1913) yang telah melakukan kritik terhadap peranan ahli hukum dengan sebutan “Lawyer’s
Law”. Sebutan sinis ini telah membuka mata para ahli para ahli hukum ketika
itu atas kekeliruannya dalam memahami konsep hukum dan penerepanya dalam
masyarakat. Bahkan Ehrlich lebih jauh mengkritisi peranaan para hakim yang
hanya menerapkan hukum atas suatu fakta tanpa mempertimbangkan aspek-aspek
sosiologis atas putusannya. Pernyataan Ehrlich yang sangat terkenal sebagai
pelopor aliran ini adalah “pusat gravitasi perkembangan hukum sepanjang
waktu dapat ditemukan, bukan di dalam perundang-perundangan dan dalam ilmu
hukum atau putusan pengadilan melainkan di dalam masyarakat itu sendiri”.[20]
Aliran sangat mempengaruhi para ahli hukumnya untuk betul-betul menarik
perhatiannya kepada problem-problem kehidupan sosial yang nyata. Kritik yang
bisa dilontarkan terhadap pendapat Ehrlich yang demikia itu adalah, bahwa ilmu
hukum yang dilahirkanya menjadi tanpa bentuk (amorphous), bahkan
menjadikan arti penting dari hukum itu tenggelam dan menuntun kepada kematian
ilmu tersebut.[21]
F. Aliran Realisme Hukum
Aliran realisme hukum
merupakan salah satu subaliran dari positivisme hukum yang dipelopori oleh John
Chipman, Oliver Wendel Holmes, Karl Liwellyn, Jerome Frank, William James, dan
lain-lain. Roescoe Pound pun dapat digolongkan dalam aliran ini melalui
pendapatnya yang mengungkapkan bahwa hukum itu merupakan a tool of social
engineering.
Gerakan realisme mulai melihat apa
sebenarnya yang dikehendaki hukum dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti
fakta-fakta dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat
menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan
formula dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta
(kenyataan).
Jadi, hal yang pokok dalam ilmu
hukum realis adalah “gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum”.
Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa hal, yang terpeting
diantaranya:[22]
1. Tidak ada
mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
2. Realisme
adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial,
sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung
konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.
3. Realisme
menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya
ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu
diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan,
gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan
atau tujuan-tuan etis.
4. Realisme
tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang
ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh
pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-peraturan
sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh
pengadilan-pengadilan.”
5. Realisme
menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.
Llewellyn
sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa perkembangan
hukum di dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan
perubahan-perubahan keadaan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan
yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang
ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata
lain, hukum merupakan bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga
tersebut telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan
eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli. Jadi yang namanya
hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam Undang-Undang atau ketentuan dan
peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh hakim di pengadilan yang
pada umumnya didasarkan pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan
hukum ketika menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam
beberapa hal tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang
atau aturan lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat menentukan
kualitas hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan demikian,
tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena
belum ada hukum tertulis yang mengaturnya. [23]
Holmes dikenal sebagai “the
founder of the realist shoud”. Holmes, selama 30 tahun menjabat jabatan
Hakim Agung Amerika Serikat. Kata-katanya yang paling terkenal adalah: The
life of the law has been, not logic, but experience. Aspek-aspek empiris
dan pragmatis dari hukum merupakan hal yang penting. Bagi Holmes, yang
disebutnya sebagai hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus dalam
kenyataannya oleh pengadilan: Buku Holmes yang terkenal terbit pada tahun 1920
berjudul: The Path of Law.
Jadi
bagi Holmes, hukum adalah kelakuan aktual para hakim ( Patterns of behaviors)
dimana patterns of behavior hakim itu ditentukan oleh tiga faktor,
masing-masing:[24]
1. Kaidah-kaidah
hukum yang dikonkritkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan konstruksi.
2. Moral hidup
pribadi hakim.
3.
Kepentingan sosial.
BAB
III
KESIMPULAN
Keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan hukum adalah sebuah doktrin hukum yang telah
berkembang pada zaman keemasan masing-masing
dari ketiga hal tersebut. Pada hakekatnya, timbulnya setiap aliran-aliran dalam
filsafat hukum yang membawakan doktrin-doktrin yang merupakan buah pemikiran di
tiap-tiap periode adalah wujud ketidakpuasan atas apa yang mereka dapatkan
dalam realita konteks bermasyarakat yang selalu menginginkan ketiga doktrin
tersebut berjalan searah dan sepadan. Akhirnya mereka para filosuf mulai
berkontemplasi untuk menghasilkan suatu ajaran hukum yang tertuang berdasarkan
ide-ide imajinatif (law in abstracto) dan pengalaman yang secara
langsung mereka rasakan (law in concreto).
Perkembangan
hukum indonesia yang bisa dikatakatan masih dalam pasang surut, tidak
berpendirian tetap pada satu doktrin dan lebih cenderung menerima adalah salah
satu contoh negara yang terpengaruhi dengan ajaran-ajaran hukum era klasik
maupun modern. Setelah kita terlepas
dari jeratan kolonialisme, indonesia menerima begitu saja doktrin hukum belanda
yang terpengaruhi oleh doktrin hukum perancis dalam suatu peralihan yang
akhirnya terkodifikasi menjadi suatu tatanan hukum nasional. Menurut penulis,
terlihat jelas dalam praktik penegakan hukum diawal kemerdekaan Indonesia
bagaiamana para penegak hukum sangat terpengaruhi dengan apa yang diajarkan
oleh aliran legisme-positivisme dengan doktrin kepastian hukum. Dimana setiap
para penegak hukum, dan hakim khususnya dituntut untuk mengadili setiap perkara
sesuai dengan apa yang tertera dalam kitab undang-undang demi terjaminnya
kepastian hukum tanpa memasukkan sumber-sumber nilai normatif lainnya.
Maka
kembali lagi kepada ketidakpuasan para sarjana hukum yang melihat lemahnya
doktrin legisme-positvisme tersebut,
timbul adanya kebutuhan untuk mengadopsi dan membangun sebuah paradigma baru
untuk menggantikan posisi doktrin yang sudah tak relavan termakan usia
tersebut. Maka ketika itu, ada beberapa aliran dalam filsafat hukum yang
ditawarkan untuk melengkapi kesenjangan hukum di negeri ini, seperti pernah
diutarakan untuk mempertimbangkan doktrin utilitarianisme tentang kemanfaatan
hukum untuk menyelesaikan (bukan sekedar memutusi) perkara. Bukan logika hukum
para yuris elit yang beroptik formalisme untuk mendahulukan berlakunya hukum
perundang-undangan saja yang terutama harus berbicara di sini, akan tetapi terutama
juga kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk di badan-badan legislatif
(sebagai pembuat undang-undang alias hukum in abstracto) maupun yang duduk di
kursi-kursi sidang pengadilan (sebagai hakim, pembuat hukum in
concreto.
Bukan
positivisme dan legisme yang diperlukan di sini, melainkan temuan paradigma
baru, khususnya untuk kinerja kehakiman, seperti misalnya apa yang di Amerika,
dirintis oleh Roscoe Pound, disebut sociological jurisprudence
yang menuntut para hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Juga tidak bisa terbantahkan dengan apa yang telah ditawarkan
aliran sejarah yang telah membuka mata para legislator untuk menjadikan hukum
adat sebagai salah satu sumber hukum
yang tidak bisa ditinggalkan. Maka apabila kita melihat perkembangan hukum di
Indonesia beserta relavansi aliran-aliran hukum dalam filsafat yang berpengaruh
dan berkembang didalamnya. Terlihat jelas terhadap maju pesatnya perkembangan
teori hukum yang terilhami dari beberapa aliran-aliran yang tertera diatas,
seperti dua teori yang telah menjadi tolak ukur pembalajaran dan rujukan ilmiah
para sarjana hukum di Indonesia yaitu teori hukum pembangunan dan teori hukum
progresif.
Akan
tetapi apabila kita telaah lebih mendalam mengenai apa yang menyebabkan
terjadinya kesenjangan hukum yang begitu kritis di Indonesia, dengan tetap
tidak menyampingkan sistem hukum yang begitu lemah. Adalah sebuah integritas
para penegak hukum, dimana mereka yang katanya ahli hukum dengan sendirinya
mengikis nilai integritas hanya demi memenuhi kepentingan beberapa pihak tak
bertanggungjawab. Maka di sini
bukan kehadiran good law yang sebenarnya pertama-tama
diharapkan, melainkan kehadiran good man (tentu saja juga good
woman), khususnya di badan-badan pengadilan. Inilah manusia arif
dan bijaksana yang tahu bagaimana mendayakan hukum guna merespons kebutuhan
masyarakat warga, khususnya mereka yang masih terpuruk di dalam derita
kesenjangan yang sungguh diskriminatif. Di tangan dan ditangani good
(wo)man — baik yang duduk di kursi-kursi badan legislatif maupun di
kursi-kursi badan pengadilan — itu maka hukum itu, in abstracto maupun in
concreto,
akan nyata terbilang ke dalam bilangan ‘hukum yang responsif’ dengan fungsinya
sebagai pelindung kebebasan dan hak-hak asasi manusia warganegara, yang tak
cuma hendak berkutat pada tafsir formal melainkan juga mengajuk ke kebenaran
yang lebih bersifat materiil, ialah justice for all.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atmasasmita,Romli., Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap
Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum
Progresif, Yogyakarta: Genta Publishing, 2012
Ali, Achmad., Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis,
Jakarta:Gunung Agung, 2002
Ali, Zainuddin., Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,
2009
Friedman.W., Legal Theory, alih bahasa Mohammad Arifin, Teori
dan Filsafat
Hukum : Idealisme Filosofis dan
Problem Keadilan, cet. I ,
Jakarta: CV. Rajawali, 1990
MD,Moh.Mahfud., Bahan Kuliah Politik Hukum, Program
Pascasarjana UII
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah., Ilmu Hukum dan
Filsafat Hukum:
Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang
Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Rahardjo,
Satjipto., Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006
Rasyidi,
Lili., Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996
Soekanto, Soerjono., Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: cv
Rajawali, 1985
Sidartha, B.Arief., Hukum dan Logika, Bandung: PT Alumni,
2000
Internet
[1]B.Arief
Sidartha, Hukum dan Logika, (Bandung: PT Alumni, 2000), hlm.35.
[2]Ibid.,hlm.35
[3]Moh.Mahfud
MD, Bahan Kuliah Politik Hukum, (Program Pascasarjana UII), hlm.12.
[4]Zainuddin
Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.49
[5]Ibid.,49
hlm.
[6]
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,
(Jakarta:Gunung Agung, 2002), hlm.258.
[7]Lihat,
Rudolf Stammler, dalam Achmad Ali, Ibid.,hlm.262
[8]Zainuddin
Ali, Ibid., hlm. 53
[9]
Friedmann, dalam Lili Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum,
(Bandung:Citra Aditya Bakti, 1996)hlm.49
[10]Thomas
Aquinas, dalam Lili Rasyidi,Ibid., hlm.50.
[11]Teguh
Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum: Studi
Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),
hlm. 98-99
[12]Romli
Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif ( Yogyakarta: Genta Publishing,
2012),hlm. 30-31
[13]Ibid.,
hlm. 32
[14]W.
Friedmann, Legal Theory, alih bahasa Mohammad Arifin, Teori dan
Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I (Jakarta,
CV. Rajawali, 1990),hlm.60
[15]Lili
Rasjidi, Ibid,. hlm. 64
[16]Sajdipto
Rahardjo, Ibid,. hlm. 285
[17]Romli
Atmasasmita, Ibid., hlm. 37
[18]Zainuddin
Ali, Ibid., hlm. 61
[19]http://kuliahfilsafathukum12.blogspot.com/2012/03/aliran-aliran-filsafat-hukum.
Diunduh 20 April 2013
[20]Romli
Atmasasmita, Ibid., hlm. 38
[21]Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 303
[22]Zainuddin
Ali, ibid., hlm. 63
[23]Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam
Masyarakat, (Jakarta: cv Rajawali, 1985), hlm. 33
[24]Teguh
Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, ibid., hlm. 146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar