Corby
“Si Ratu Mariyuana”
Zaman yang sangat penuh dengan warna globalisasi, seakan
sudah tidak lagi mengenal ruang dan waktu. Pergaulan bebas milik kaum barat sudah
terlalu jauh masuk selangkah demi selangkah merubah kultur dan budaya kita. Minuman keras,
aksi pornografi, seks bebas, dan
obat-obatan terlarang sudah merajalela membodohi akal pikiran kaum muda.
Sasarannya pun seakan sudah tak mengenal batas umur dan profesi, anak kecil,
remaja, orang tua, bahkan aparat berwenang pun turut tenggelam dalam kenikmatan
sesat ini. Indonesia yang kaya akan potensi sumber daya alam dan manusianya,
ternyata menjadi salah satu negara yang dilirik dan diincar untuk dijadikan
tempat berlabuhnya barang-barang haram ini.
Sehingga banyak dari kalangan pebisnis
asing barang haram ini yang tertangkap dan dijatuhi sanksi yang beragam hingga
hukuman penjara seumur hidup.
Sebut saja Suchapelle Leigh Corby, seorang nona warga negara
Australia, sekarang sedang menjalani masa tahanannya di Indonesia, telah menjadi
trend topik yang cukup buming menimbukan banyak pro-kontra di sana sini. Ratu
mariyuana yang kerapkali dipanggil Corby ini divonis 20 tahun penjara pada
tahun 2005 karena menyelundupkan lebih dari 4 kilogram mariyuana di Bali, yang kemudian
ia menjalani hukuman di penjara Kerobokan, Denpasar. Semangat Indonesia yang selalu
menjunjung tinggi akan budaya aslinya untuk memberantas dan menekan angka
kriminalitas tentang narkotika, seakan luntur dengan adanya pemberian grasi
dari presiden terhadap si ratu mariyuana ini. Pengampunan yang berupa grasi ini
banyak menuai kritikan dari kalangan aktivis dan akademisi, khususnya para ahli
hukum yang berwenang dalam penanganan kasus ini. Polemik ini Sangat jelas
terlihat dari sikap individual presiden yang bersifat final dalam memutuskan
pemberian grasi, kemudian inkonsistensinya pemerintah dalam menangani kejahatan
dengan predikat extraordinary crime dan transnational crime, dan juga
penyimpangan cita-cita terhadap pemberantasan narkotika di negeri Indonesia.
Presiden yang merupakan
simbol negara bahkan lebih dari itu,
seharusnya dapat menjaga martabat dan citra bangsa yang dipimpinnya.
Keputusannya sebagai kepala pemerintahan terlalu bersifat individual, konkrit,
dan final. Selaku pejabat tinggi negara yang seharusnya menjunjung tinggi
konstitusi dan supremasi hukum, tidak sepatutnya mengedepankan egoisme dalam
pertimbangan dan persetujuan sekaligus pemberian keputusan yang nantinya berdampak luas
terhadap citra bangsa dan rakyat Indonesia di mata internasional. Pada hakikatnya
konstistusi kita telah mengatur mengenai hak prerogatif presiden yang sah secara undang-undang dalam pemberian
grasi, amnesty, dan abolisi terhadap setiap WNI dan WNA (yang sedang menjalani
sanksi pidana di Indonesia) yang memintanya, tentu saja tetap sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Seperti halnya yang diutarakan Mahfud MD bahwa "Itu sah kewenangan
presiden. Cuma persoalannya bukan konstitusi. Ada persoalan komitmen, moral
keadilan dan sebagainya. Di luar sah tidak sah. Seumpamanya saya yang
mengeluarkan (grasi), saya tidak akan mengeluarkan. Karena narkoba itu sungguh
bahaya." Pernyataan ini menjelaskan
kita, bahwa sesungguhya ada nilai keadilan dan pesan moral dan sebagainya yang
seharusnya lebih diperhatikan presiden di luar konsititusi tersebut. Dan juga
untuk lebih menguatkan dan mempersamakan komitmen negara dan dia selaku kepala
pemerintahan negara dalam memberantas segala jenis narkotika.
Dalam menyikapi upaya
pemberantasan obat-obatan terlarang, tentu tidak bisa hanya mengandalkan peran
pemerintah selaku lembaga eksekutif negara, namun lebih dari itu negara harus
turun bersama-sama serentak untuk say no terhadap barang haram ini. Maka
dengan ini, masyarakat awam menjadi lebih paham akan bahaya berkepanjangan yang
dapat ditimbulkannya. Hal ini sudah terlihat jelas dengan berdirinya berbagai
LSM yang bergerak memfokuskan diri dalam pembarantasan dan penanggulangan
pencandu narkoba, seperti GRANAT, GAN, dan lain sebagainya. Pemerintah sendiri
memiliki lembaga nasional yang khusus menekuni bidang ini yaitu BNN, sedangkan
di lintas internasional telah dikeluarkan Konvensi PBB tentang Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 maka jelas kejahatan ini adalah
kejahatan dengan predikat extraordinary
crime dan transnational crime. Hal ini menambah keyakinann akan bahaya
narkotika yang mana dunia telah sepakat menyatakan perang terhadapnya dan
menjatuhkan hukuman yang seberat-seberatnya terhadap pelakunya. Maka keputusan
presiden memberikan grasi terhadap terpidana narkotika seperti Corby, sebanyak
lima tahun, merupakan perbuatan yang terkesan membelot dari cita-cita dan
tujuan dunia dalam menjatuhkan hukuman seberat-beratanya terhadap terpidana
narkotika.
Dunia saja telah sepakat menyatakan perang terhadap
narkotika, maka dalam ini Indonesia pada jauh hari telah lebih dahulu
menyatakan tidak untuk narkoba, hal ini didukung peran Islam yang sejak pertama
kali ajaran agama ini diturunkan, telah ada hukum qiyas yang menyatakan
segala barang yang memabukkan adalah haram dan wajib diperangi. Hal ini diperkuat
dengan dijadikannya undang-undang narkotika sebagai lex specialis,
ditambah lagi berlakunya kembali TAP MPR Bab IV Bagian
F Huruf H No 4 Tahun 1999 tentang GBHN yang mengamanatkan pemberantasan secara
sistematis perdagangan dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang
dengan memberikan sanksi seberat-beratnya kepada produsen, pengedar, dan
pemakai, yang mana peraturan ini telah ditetapkan kembali sebagai hierarki yang
sah menurut undang-undang. Dengan adanya hal ini berarti grasi yang diputuskan
oleh presiden(Kepres)) dapat digugat dan diuji hak kelayakan materilnya di PTUN,
yang mana Yusril Ihza Mahendra, Maqdir Ismail, Luhut Pangaribuan, SF Marbun,
Kartika Putri Yosodiningrat, dan Hermansyah Dulaimi sebagai tim kuasa hukum
dari GRANAT. Karena dalam hal ini setidaknya
Susilo Bambang Yudoyono selaku kepala pemerintahan yang memiliki hak
prerogatif serta telah diatur dalam konstitusi dalam pemberian grasi telah
melanggar undang-undang dan telah menjalankan asas-asas pemerintahan yang
tidak baik.
Sudah jelas saudara,
bahwa narkotika merupakan barang yang sesat dan menyesatkan sedangkan produsen,
pengedar, dan pemakainya harus dihukum seberat-beratnya. Maka presiden dalam
hal ini harus lebih berhati-hati dalam mempertimbangkan pemberian grasi dengan
alasan hubungan diplomasi yang tidak jelas arahnya menguntungkan pihak siapa,
apalagi grasi terhadap terpidana narkotika baru terjadi pertama kalinya sejak
Indonesia merdeka. Kemudian agar lebih memperhatikan nilai keadilan dan pesan
moral, dengan meninggalkan jauh egoisme dalam mempertimbangkan suatu keputusan.
Dan juga presiden harus lebih memperhatikan kata-kata komitmen yang selau dia
koar-koarkan mengenai pemberantasan narkotika, agar sejalan dengan eksekusi
dilapangan yang selama ini hanya manis dibibir saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar