Kamis, 21 November 2013

Hukum Waris Menurut Hukum Positif

Pembahasan Materi

A.    Perihal Warisan Di Indonesia Pada Umumnya
   Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Untuk pengertian hukum “waris” sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian, sehingga istilah untuk hukum waris masih beraneka ragam. Misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro, menggunakan istilah “hukum warisan”. Hazairin, menggunakan istilah “hukum kewarisan”. Dan Soepomo menyebutnya dengan istilah “hukum waris”.[1] Dari istilah-istilah di atas, penulis lebih cenderung menggunakan istilah “hukum waris”, yaitu kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
` Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk hukum waris, hampir tidak dapat dihandarkan untuk terlebih dahulu memahami beberapa istilah yang lazim dijumpai dan dikenal, di antaranya:
1.      Waris; Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang  telah meninggal.
2.      Warisan; berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
3.      Pewaris; adalah orang yang memberikan pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat.
4.      Ahli waris; yaitu orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan.
5.      Mewarisi; yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.
6.      Proses pewarisan; yaitu penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup; dan juga berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.
   Usaha ke arah unifikasi hukum waris di Indonesia merupakan suatu upaya yang dapat dipastikan sulit untuk diwujudkan. Dengan demikian bidang hukum waris ini menurut kriteria Mochtar Kusumaatmaja, termasuk “bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan, adanya komplikasi-komplikasi kultural, keagamaan, dan sosiologi. Hal itu disebabkan beranekaragamnya corak budaya, agama, sosial, dan adat istiadat serta sistem kekeluargaan yang hidup dab berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Sebagai akibat dari keadaan masyarakat yang telah dikemukakan di atas, hukum waris yang berlaku di Indonesia dewasa ini masih tergantung pada hukumnya si pewaris. Oleh karena itu, apabila yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan yang masih berpegang teguh kepada perihal adat, maka akan menyelesaikan hukum waris sesuai dengat aturan adatnya. Sedangkan apabila pewaris termasuk golongan penduduk Eropa atau Timur Asing Cina, atau penduduk yang berpengang teguh dengan hukum barat, maka bagi mereka berlaku hukum waris barat. Di lain pihak, bagi penduduk Indonesia yang berpegang teguh kepada kaidah-kaidah agama Islam sesuai dengan yang tertera dalam Al-quran, maka bagi mereka berlaku sistem hukum waris yang tertera dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam).

   Wujud warisan atau harta peninggalan menurut Hukum Islam sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris Barat sebagaimana diatur dalam BW maupun menurut hukum adat. Warisan atau harta peninggalan menurut Hukum Islam yaitu  “sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih”. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris. Dalam hukum waris BW, wujud harta peninggalan meliputi “seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang”. Jadi harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris tidak hanya meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa aktiva atau keuntungan, melainkan juga termasuk hutang-hutang si pewaris yang merupakan pasiva dari harta kekayaan yang ditinggalkan, sehingga “kewajiban membayar hutang pada hakikatnya beralih juga kepada ahli waris”. Demikian pula pada hukum adat, pembagian harta warisan tidak selalu ditangguhkan sampai semua hutang si peninggal warisan dibayar. Artinya, harta warisan yang dapat beralih kepada para ahli waris tidak selalu dalam keadaan bersih setelah dikurangi hutang-hutang pewaris, melainkan dapat saja ahli waris menerima harta warisan yang di dalamnya tercakup kewajiban membayar hutang-hutang pewaris.

B.     Hak Mewarisi Menurut Hukum Waris BW dan Hukum Waris Islam

Menurut undang-undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1.      Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang
2.      Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
   Cara yang pertama dinamakan mewarisi “menurut undang-undang” atau “ab intestate”. Cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.[2] Undang-undang telah menentukan dan menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris atau mereka yang memiliki hak mewarisi, yaitu:
1.      Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan merekan beserta suami atau isteri yang di tinggalkan/atau yang hidup paling lama. Suami atau istri yang ditinggalkan/atau hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami/istri tidak saling mewarisi.
2.      Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa mereka tidak akan kurang dari (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walupun mereka mewarisi bersama-sama saudara pewaris.
3.      Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris.
4.      Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
   Demikian juga dalam Islam, telah ditentukan bahwa ahli waris atau mereka yang memiliki hak mewarisi adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan. Secara garis besar terdapat 3 golongan yang telah di tentukan dalam Hukum Islam, yaitu:
1.      Ahli waris menurut Al-Quran atau yang sudah ditentukan di dalam Al-Quran disebut dzul faraaidh.
2.      Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut ashabah.
3.      Ahli waris yang ditarik dari garis ibu, disebut arhaam.[3]

C.    Menerima atau Menolak Warisan
   Terbukanya warisan jika pewaris  telah meninggal, seorang ahli waris dapat memilih apakah ia akan menerima atau menolak warisan itu, atau ada pula kemungkinan untuk menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang si meninggal, yang melebihi bagiannya dalam warisan itu[4].
   Ada 3 kemungkinan yang dapat timbul karena hubungan-hubungan antara pewaris dan ahli waris.
1.    Penerimaan sepenuhnya
   Kalau ahli waris sudah menerima sepenuhnya, maka ahli waris tersebut bertanggung jawab atas segala piutang warisan; milik pribadi ahli waris ikut menjadi harta pertanggungjawab terhadap utang-utang warisan.
   Tetapi kalau ahli waris ini mendapat bagian-bagian warisan menurut ketentuan-ketentuan pembagian, maka pertanggungjawaban juga sesuai dengan bagian yang diperolehnya.
2.    Penolakan
   Kalau mereka menolak, hal ini berarti bahwa mereka melepaskan pertanggungjawaban sebagai ahli waris, dan juga menyatakan tidak menerima pembagian harta peninggalan.
   Tetapi kalau sama sekali menolak sehingga tidak ada seorang ahli warispun yang di tunjuk oleh undang-undang, maka akibatnya kekayaan itu jatuh ke tangan Negara (Pasal 1058 KUHPer).
3.   Penerimaan dengan syarat
   Kalau penerimaan disertai syarat pendaftaran dulu harta kekayaan, maka akibatnya adalah:
a.       Pembayaran utang-utang.
b.      Harta sendiri tidak ikut menjadi harta pertanggungan.
c.       Hanya diterima sisa dari harta warisan yang telah di peruntukkan pembayaran hutang.
d.      Legat hanya sebesar aktiva warisan tersebut.
   Kemungkinan demikian berlaku bagi seorang wali atau curator, sebaliknya hal ini tidak berlaku bagi mereka yang telah menolak dengan terang-terangan dan tidak berlaku bagi ahliwaris yang telah menerima sepenuhnya (pasal 1032 KUHPer)[5].
Seorang waris harus menentukan sikapnya. Bahwa suatu keadaan yang tidak tentu terutama bagi penagih hutang, dapat merugikan. Oleh karena itu, tiap pihak yang berkepentingan berhak untuk menggugat para ahli waris agar menyatakan sikapnya. Seorang ahli waris mempunyai hak untuk meminta suatu waktu untuk berfikir hingga selama empat bulan. Akibatnya, selama waktu itu si waris tidak dapat dipaksa untuk melakukan kewajiban seorang ahli waris. Jika sudah ada keputusan dari hakim, pelaksanaannya harus ditangguhkan dulu dahulu. Jika ia di gugat sebagai ahli waris, ia dapat mengajukan perlawanan yang bertujuan untuk mempertangguhkan perkara sampai habisnya waktu untuk berfikir. Selama itu, ahli waris diwajibkan mengurus harta peninggalan itu sebaik-baiknya. Ia tidak boleh menjuan apa-apa, sebab perbuatan semacam itu dapat di artikan sebagai penerimaan penuh secara diam-diam.
    Kemungkinan yang ketiga bagi seorang ahli waris, yang merupakan suatu jalan tengah antara menerima dan menolak dinamakan menerima dengan “beneficiaire aanvaarding”. Jika ia hendak memilih jalan ini si waris haru menyatakan kehendaknya kepada Panitera di Pengadila Negri setempat dimana warisan itu telah terbuka. Akibat yang terpenting dari “beneficiaire aanvaarding”, bahwa kewajiban si waris untuk melunasi hutang dan beban lainnya di batasi sedemikian rupa, sehingga pelunasan itu hanyalah dilakukan menurut kekuatan warisan, sehingga si waris tidak usah menanggung pembayaran hutang dengan kekayaannya sendiri[6].
   Dengan begitu, tidak terjadi percampuran antara  harta peninggalan dengan harta kekayaan si pewaris. Apabila hutang-hutang  si meninggal telah dilunasi semuanya dan masih ada sisa dari harta peninggalan, barulah sisa ini boleh di ambil oleh para waris.
   Kewajiban-kewajiban seorang ahli waris beneficiair adalah:
1.      Melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu empat bulan setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri, bahwa ia menerima warisannya secara beneficiair.
2.      Mengurus serta peninggalan sebaik-baiknya.
3.      Selekas-lekasnya membereskan urusan warisan.
4.      Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan untuk harga benda-benda yang bergerak beserta benda-benda yang tak bergerak yang tidak diserahkan kepada orang-orang berpiutang yang memegang hypotheek.
5.      Memberikanpertanggung jawaban kepada sekalian penagih hutang dan orang-orang yang menerima pemberian secara legaat.
6.      Memanggil orang-orang berpiutang yang tidak terkenal, dalam surat kabar resmi.

            Peraturan-peraturan yang berlaku dalam hal penerimaan atau penolakan warisan dapat kita ringkas sebagai berikut:
1.      Orang yang meninggalkan warisan, tidak diperbolehkan membatasi hak seorang ahliwaris untuk memilih abtara tiga kemungkinan tersebut diatas, yaitu apakah ia akan menerima penuh, menolak atau menerima warisannya dengan bersyarat.
2.      Pemilihan antara ketiga kemungkinan tersebut oleh seorang waris tak dapat dilakukan selama warisan belum berbuka.
3.      Pemilihan tidak boleh digantungkan pada suatu ketetapan waktu atau suatu syarat. Kepentingan umum, terutama kepentingan orang-orang yang menghutangkan si meninggal mengkehendaki dengan pemilihan itu sudah tercapai sesuatu keadaan yang pasti yang tidak berubah lagi.
4.      Pemilihan tidak dapat dilakukan hanya mengenai sebagian saja dari warisan yang jatuh kepada seseorang artinya jika seorang ahliwaris menerima atau menolak, perbuatan itu selaku mengenai seluruh bagiannya dalam warisan. Hanya, mungkin bagi seorang yang selain ia menjadi ahliwaris, baik menurut undang0undang atau menurut surat wasiat, juga ia mendapat legaat untuk menerima legaatnya, tetapi menolak warisannya.
5.      Menyatakan menerima atau menolak suatu warisan, adalah suatu perbuatan  hokum yang  terletak dalam lapangan hokum kekayaan.
6.      Jika seorang ahliwaris sebelum menentukan sikapnya, ia meninggal, maka haknya untuk memilih beralih pada ahliwarisnya[7].


D.    Perihal Wasiat atau Testament
Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal. Pada asasnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Dengan sendirinya, dapat dimengerti bahwa tidak segala yang dikehendaki oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam wasiatnya itu, juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan. Pasal 874 B.W. yang menerangkan tentang arti wasiat atau testament, memang sudah mengandung suatu syarat, bahwa isi pernyataan itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Testament berisi apa yang dinamakan suatu “erfstelling,” yaitu penunjukan seorang atau beberapa orang menjadi “ahliwaris” yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. “Testamentaire erfgenaam,” yaitu ahliwaris menurut wasiat, dan sama halnya dengan seorang ahliwaris menurut undang-undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal “onder algemene titel.”
Suatu testament, juga dapat berisikan suatu “legaat,” yaitu suatu pemberian kepada seorang. Legaat dapat berupa:
1.      Satu atau beberapa benda tertentu;
2.      Seluruh benda dari satu macam atau jenis, misalnya seluruh benda yang bergerak:
3.      Hak “vruchtgebruik” (hak pakai hasil) atas sebagian atau seluruh warisan;
4.      Sesuatu hak lain terhadap boedel (harta keseluruhan) , misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari boedel.[8]

Menurut bentuknya ada tiga macam testament, yaitu:
1.      “Openbaar testament,” suatu “openbaar testament” dibuat oleh seorang notaris. Orang yang akan meninggalkan warisan menghadap pada notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris itu membuat suatu akte dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
2.      “Olographis testament,” suatu “olographis testament” harus ditulis dengan tangan orang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri (eigenhandig). Harus diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan (gedeponeerd). Penyerahan tersebut harus pula dihadiri oleh dua orang saksi. Sebagai tanggal testament itu berlaku diambil tanggal akte penyerahan (akte van depot).
3.      “Testament tertutup atau rahasia.” Suatu testament rahasia, juga dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan ia menulis dengan tangannya sendiri. Suatu testament rahasia harus selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus dihadiri empat orang saksi. 
Untuk dapat membuat suatu testament diantaranya:
1.      Seorang harus sudah mencapai umur 18 tahun atau sudah dewasa, atau sudah kawin meskipun belum berumur 18 tahun.
2.      Harus sungguh-sungguh mempunyai pikiran yang sehat.[9]
Pencabutan wasiat dapat dilakukan dengan:
1.      Surat wasiat dicabut dengan tegas,
   menurut pasal 992 KUHPerdata pencabutan itu harus dengan surat wasiat baru atau dengan akta notaris khusus, dengan mana pewaris menyatakan keinginanya akan mencabut wasiat itu seluruhnya atau sebagian.
2.      Surat wasiat dicabut dengan diam-diam.
   pasal 994 KUHPerdata wasiat yang baru yang tidak dengan tegas mencabut wasiat terdahulu, membatalkan wasiat terdahulu sepanjang tidak dapat disesuaikan dengan ketetapan wasiat yang baru, atau sepanjang wasiat terdahulu bertentangan dengan wasiat yang baru.
Jadi pembuatan suatu testament terikat oleh bentuk dan cara-cara tertentu, yang tidak diindahkan dapat menyebabkan batalnya testament itu. 

E.  Pengangkatan  Waris atau  Pemberian Hibah Wasiat Dengan Lompat Tangan (Fidei Commis/ erfselling over de hand)

Pengertian secara harafiah Fidei Commis,  Fidei berarti Kepercayaan dan Commis berarti Kewajiban. Dalam Kitab Undang-Udang Hukum Perdata Fidei commis diatur dalam Pasal 879 ayat 1 dan 2, yang mengatur, bahwa :
Pasal 879
1.      Pengangkatan waris atau pemberian hibah wasiat dengan lompat tangan, atau sebagai fideicommis adalah terlarang.
2.      Oleh karena itu, pun bagi si yang diangkat atau yang menerima hibah, batal dan tak berhargalah setiap ketetapan, dengan mana masing-masing mereka diwajibkan menyimpan barang-barang warisan atau hibahnya, untuk kemudian menyerahkannya baik seluruhnya mauoun untuk sebagian, kepada orang ke tiga.
Pasal 879 KUHPerdata dengan tegas melarang pengangkatan waris atau hibah wasiat lompat tangan , dengan sanksi, bahwa pemberian yang demikian adalah batal bagi yang diangkat atau si penerima hibah (lihat Pasal 879 ayat [2] KUHPer).
Dari rumusan Pasal 879 ayat (2) KUHPer, definisi fidei commis atau pewarisan secara lompat tangan sebagai: suatu ketetapan dalam surat wasiat, dimana ditentukan bahwa orang yang menerima harta si pewaris, atau sebagian daripadanya – termasuk para penerima hak daripada mereka, berkewajiban untuk menyimpan yang mereka terima, dan sesudah suatu jangka waktu tertentu atau pada waktu matinya si penerima, menyampaikan/menyerahkannya kepada seorang ketiga.

Pada  fidei commis terdapat tiga pihak, dijelaskan bahwa ketiga pihak tersebut adalah:
1.      Pewaris.
   Pewaris adalah orang yang memiliki atau memegang atau menguasai atau yang meninggalkan harta untuk diteruskan kepada ahli waris atau pihak ketiga, termasuk didalamnya adalah beban-beban,hibah dan wasiat kepada pihak ketiga.
2.      Pemikul Beban (bezwaarde).
   Yang dimaksud dengan Pemikul Beban atau bezwaarde adalah orang yang pertama-tama ditunjuk sebagai ahli waris/legetaris, dengan tugas/kewajiban menyimpan barang dari pewaris dan menyampaikannya kepada pihak ketiga
3.      Penunggu (verwachter).
Yang dimaksud dengan Penunggu atau verwachter adalah orang yang akan menerima harta dari pewaris melalui bezwaarde/pemikul beban.   
Pada dasarnya Fidel commis dilarang, namun dalam beberapa hal diperbolehkan, seperti:
1.      Fidel commis de residuo; seorang ketiga yang meninggal dunia sebelumnya, diberikan untuk anaknya yang sah sudah atau belum dilahirkan telah dikaruniai dengan seluruh atau sebagaian berupa harta waris yang tidak terjual atau tidak dihabiskan dari seorang ahli waris atau seseorang penerima hibah atau wasiat tersebut. Pasal 881 KUH Perdata.
   Pada Pasal 990 KUH Perdata mengatur bahwa setiap Fidei commis de residuo ini, ahli waris atau penerima hibah diwajibkan untuk membuat pertelaan dan perincian atas barang-barang warisan, tetapi tidak perlu ada jaminan oleh pihak yang dibebani, agar barang-barang itu diurus dengan sebaik-baiknya.
2.      Fidel commis kepada cucu dan keturunan saudara-saudara
   Kedua orang tua diperbolehkan dengan surat wasiat menghibah wasiatkan seluruh atau sebagian harta kekayaan mereka, yang mana berhaklah mereka menggunakannya dengan bebas, kepada salah seorang anak mereka atau lebih dengan perintah akan menyerahkan barang-barang itu kepada sekalian nak masing-masing, baik yang sudah ada maupun yang akan dilahirkan. (Pasal 973 ayat [1] KUH Perdata). Fidel commis kepada cucu dan keturunan saudara-saudara diatur dalam Pasal 973 sampai dengan Pasal 988 KUH Perdata.

F.   Legitime Portie (Bagian Mutlak)
1.      Pengertian legitime portie.
Pengertian tentang Legitime Portie ini dapat kita temukan dalam Pasal 913 KUHPerdata :
“Bagian Mutlak atau legitime Portie, adalah sesuatu bagiam dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris, dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat”.[10]
Legitime Portie (atau wettelijk erfdeel), yang secara harafiah diterjemahkan “sebagai warisan menurut Undang-Undang”, dikalangan praktisi hukum sejak puluhan tahun dikenal sebagai “bagian mutlak” (legitime Portie). Bagian mutlak adalah bagian dari warisan yang diberikan Undang-Undang kepada ahli waris dalam garis lurus ke bawah dan ke atas. Bagian mutlak tidak boleh ditetapkan atau dicabut dengan cara apapun oleh pewaris, baik secara hibah-hibah yang diberikan semasa pewaris hidup maupun dengan surat wasiat melalui hibah wasiat (legaat) dan erfstelling).[11]
Menurut Pitlo, bagian yang dijamin oleh Undang-Undang legitime portie/wettlijk erfdel :
“Merupakan hak dia/mereka yang mempunyai kedudukan utama/istimewa dalam warisan. Hanya sanak saudara dalam garis lurus (bloedverwanten in de rechte lijn) dan merupakan ahli waris ab intestato saja yang berhak atas bagian yang dimaksud”.[12]
Sedangkan legitimaris menurut Pitlo, adalah: “Ahli waris ab intestato yang dijamin oleh undang-undang bahwa ia akan menerima suatu bagian minimum dalam harta peninggalan yang bersangkutan. Baik dengan jalan hibah ataupun secara pemberian sesudah meninggal (making bij dode) pewaris tidak boleh mencabut hak legitimaris ini”

2.      Tujuan Adanya Legitime Portie.
Pada asasnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur mengenai apa yang akan terjadi dengan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Seseorang pewaris mempunyai kebebasan untuk mencabut hak waris dari para ahli warinya, karena meskipun ada ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang yang menentukan siapa-siapa akan mewaris harta peninggalannya dan berapa bagian masing-masing, akan tetapi ketentuan-ketentuan tentang pembagian itu bersifat hukum mengatur dan bukan hukum memaksa. Akan tetapi untuk ahli waris ab intestato (tanpa wasiat) oleh Undang-Undang diadakan bagian tertentu yang harus  diterima oleh mereka, bagian yang dilindungi oleh hukum, karena mereka demikian dekatnya hubungan kekeluargaan dengan si pewaris sehingga pembuat Undang-Undang menganggap tidak pantas apabila mereka tidak menerima apa-apa sama sekali. Agar orang secara tidak mudah mengesampingkan mereka, maka Undang-Undang melarang seseorang semasa hidupnya menghibahkan atau mewasiatkan harta kekayaannya kepada orang lain dengan melanggar hak dari para ahli waris ab intestato itu.
Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang dilindungi undang-undang itu dinamakan “Legitimaris” sedang bagiannya yang dilindungi oleh Undang-Undang itu dinamakan “legfitime portie”. Jadi harta peninggalan dalam mana ada legitimaris terbagi dua, yaitu “legitime portie” (bagian mutlak) dan “beschikbaar” (bagian yang tersedia). Bagian yang tersedia ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia boleh menghibahkannya sewaktu ia masih hidup atau mewasiatkannya. Hampir dalam perundang-undangan semua negara dikenal lembaga legitime portie. Peraturan di negara satu tidak sama dengan peraturan di negara lain, terutama mengenai siapa-siapa sajalah yang berhak atasnya dan legitimaris berhak atas apa.[13]
Bagian yang kedua itu (bagian mutlak), diperuntukkan bagian para legitimaris bersama-sama, bilamana seorang legitimaris menolak (vierwerp) atau tidak patut mewaris (onwaardig) untuk memperoleh sesuatu dari warisan itu, sehingga bagiannya menjadi tidak dapat dikuasai (werd niet beschikbaar), maka bagian itu akan diterima oleh legitimaris lainnya. Jadi bila masih terdapat legitimaris lainnya maka bagian mutlak itu tetap diperuntukkan bagi mereka ini, hanya jika para legitimaris menuntutnya, ini berarti bahwa apabila legitimaris itu sepanjang tidak menuntutnya, maka pewaris masih mempunyai “beschikking-srecht” atas seluruh hartanya.

3.      Ketentuan-Ketentuan Pembatasan Legitime Portie.
Di dalam KUHPerdata asas legitime dilakukan secara hampir konsekwen, di berbagai tempat dapat diketemukan ungkapan, ungkapan seperti mengingat (behoudens) peraturan-peraturan yang ditulis untuk legitime. Pewaris hanya dapat merampas hak ahli waris dengan mengadakan perbuatan-perbuatan pemilikan harta kekayaan sedemikian rupa sehingga tidak meninggalkan apa-apa.
Bila orang sewaktu hidupnya menggunakan harta kekayaannya sebagai uang pembeli lijfrente (bunga cagak hidup) dapat mengakibatkan bahwa orang yang tidak meninggalkan apa-apa, terutama apabila perkawinannya dilangsungkan tanpa perjanjian kawin.
Di dalam pendapat bahwa legitime adalah tabu dan tidak dapat disinggung sama sekali maka juga perbuatan hukum yang menguntungkan legitimaris adalah tidak sah, misalnya si pewaris meninggalkan pada anak perempuannya yang kawin dalam kebersamaan harta kawin seluruh harta kekayaan dengan ketentuan bahwa harta warisannya itu tidak boleh jatuh dalam harta kebersamaan harta kawin anaknya.
Meskipun ketentuan mengenai legitime bersifat hukum pemaksa akan tetapi bukan demi kepentingan umum. Ketentuan itu ada demi kepentingan legitimaris dan bukan kepentingan umum. Karena itu legitimaris dapat membiarkan haknya dilanggar, hal mana sangat erat berhubungan dengan pendapat bahwa pelanggaran legitime tidak mengakibatkan “nietigheid” (kebatalan demi hukum) malainkan hanya “eenvoudige vernietigbaareid” (dapat diminta pembatalannya secara sedehana).

4.      Sifat Hukum Dari Legitime Portie.
Biasanya orang menyimpulkan sifat hukum legitime portie (bagian mutlak) dari sejarah. Pada permulaan abad kesembilan belas masih terdapat dua sistem, yaitu sistem Romawi dan sistem Prancis-Jerman. Pembuat undang-undang tahun 1938 menurut pendapat Hamaker, Ter Braak telah memilih sistem Romawi, tetapi menurut pendapat Land Meijers yang telah dipilih adalah sistem Prancis-Jerman. Ciri dari sistem Prancis-Jerman Bahwa menurut sistem ini legitimaris adalah ahli waris bagian mutlak dan karena itu untuk bagian yang seimbang itu ia adalah berhak atas aktivanya dan menanggung hutang-hutangnya, ciri dari legitime Romawi ialah bahwa legitimaris tidak dianggap sebagai ahli waris dari bagiannya melainkan hanya mempunyai hak tagih atas barang-barang seharga bagian mutlaknya. Sebenarnya mengenai sifat hukum dari legitime itu tidak dapat dicari di dalam sejarah melainkan dari Undang-Undang itu sendiri dan jurisprudensi.

Seluruh sifat dari legitime terkandung didalam dua peraturan, yaitu :
1)      Legitimaris dapat menuntut pembatalan dari perbuatan-perbuatan si pewaris yang merugikan legitime portie (bagian mutlak).
2)      Si pewaris bagaimanapun tidak boleh beschikken (membuat ketetapan) mengenai bagian mutlak itu.

Apa akibanya bila ketentuan di dalam testament melanggar peraturan mengenai legitime portie itu :
Ada tiga kemungkinan untuk menjawab pertanyaan diatas yaitu :
1)      Ketetapan itu adalah batal.
2)      Ketetapan itu adalah “eenvoudige Vernietigbaarheid” (dapat dibatalkan secara sederhana)
3)  Ketetapan itu adalah sah akan tetapi si legitimaris mempunyai hak tuntut                 pribadi untuk mendapatkan ganti rugi.

5.      Ahli Waris Yang Berhak Atas Legitime Portie

Syarat untuk dapat menuntut suatu bagian mutlak (legitime portie) adalah :
1)      Orang harus merupakan keluarga sedarah dalam garis lurus, dalam hal ini kedudukan garwa (suami / isteri) adalah berbeda dengan anak-anak. Meskipun sesudah tahun 1923 Pasal 852a KUHPerdata menyamakan garwa (suami/isteri) dengan anak, akan tetapi suami/isteri tidak berada dalam garis lurus kebawah, mereka termasuk garis kesamping. Oleh karna itu isteri/suami tidak memiliki legitime portie atau disebut non legitimaris.
2)      Orang harus ahli waris ab intestato. Melihat syarat tersebut tidak semua keluarga sedarah dalam garis lurus memiliki hak atas bagian mutlak. Yang memiliki hanyalah mereka yang juga waris ab instestato.
3)      Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat pewaris, merupakan ahli waris secara ab intestato.
Untuk ahli waris dalam garis kebawah, jika pewaris hanya meninggalkan satu orang anak sah menurut Pasal 914 KUHPerdata adalah ½ dari bagiannya menurut undang-undang, jika meninggalkan dua orang anak sah, maka besarnya bagian mutlak adalah 2/3 dari bagian menurut undang-undang dari kedua anak sah tersebut, sedangkan jika meninggalkan tiga orang anak sah atau lebih, maka besarnya bagian mutlak adalah ¾ dari bagian para ahli waris tersebut menurut ketentuan undang-undang. Bagian menurut Undang-Undang adalah bagian ahli waris atas harta warisan sandainya tidak ada hibah atau testament yang bisa dilaksanakan.
Untuk ahli waris dalam garis keatas, besarnya bagian mutlak menurut ketentuan Pasal 915 KUHPerdata, selamanya ½ dari bagian menurut undang-undang. Sedangkan bagian mutlak dari anak luar kawin yang telah diakui (Pasal 916 KUHPerdata) selamanya ½ dari bagian anak luar kawin menurut ketentuan Undang-Undang.
Ahli waris yang tidak mempunyai bagian mutlak atau legitime portie, yaitu pertama suami/isteri yang hidup terlama. Kedua para saudara-saudara dari pewaris. Mereka tidak berhak (non legitimaris) karena berada dalam garis kesamping. Digunakan tidaknya perhitungan berdasarkan legitime portie sangat tergantung pada ada atau tidaknya hibah atau testament tang bisa dilaksanakan.

6.      Legitimaris Sebagai Ahli Waris
Undang – Undang memang menggunakan kata-kata “wettlijk erfdeel” (bagian warisan menurut undang-undang) dan juga digunakannya sering kata-kata “erfgenamen” (ahli Waris) bila yang dimaksud adalah legitimaris. Karena itu dapat saja disimpulkan bahwa legitimaris adalah ahli waris, dan dari sini lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa apabila legitimaris menerima pelanggaran atas hak legitimenya maka ia tetap tidak kehilangan kedudukanya sebagai ahli waris. Kedudukannya sebagi ahli waris hanyalah dapat hilang dengan cara seperti yang disebutkan dalam Pasal 1057 KUHPerdata. Ialah “verwerping” (penolakan) terhadap harta warisan yang harus dilakukan secara tegas dengan surat pernyataan yang harus dilakukan secara tegas dilakukan dihadapan panitera Pengadilan Negeri.
Jika kita memperhatikan berbagai Pasal dalam KUHPerdata, Pasal 874,913 dan 929, maka jelas bahwa legitimaris merupakan ahli waris atau mempunyai kedudukan sebagai ahli waris. Legitimaris hanya merupakan ahli waris apabila ia mengemukakan haknya atas bagian mutlaknya. Apa yang dinikmatinya karena “inkorting” (pengurangan) diperolehnya karena hak ahli waris, tujuan dari tuntutan pengurangan atau pemotongan adalah agar pemberian-pemberian yang dilakukan dengan hibah atau wasiat itu dikurangi, jadi batal sepanjang hal itu diperlukan untuk memberikan kepada legitimaris apa yang menjadi haknya sebagai ahli waris. Jalan pemikiran demikian dapat ditemukan dalam Pasal 928 KUHPerdata :
“Segala barang tak bergerak yang karena pengurangan harus
kembali lagi dalam harta peninggalan, karena pengembalian
itu bebaslah dari segala beban, dengan mana si penerima
pengaruniaan telah membebaninya”.[14]
Apabila legitimaris mengurangi suatu hibah barang tak bergerak, maka barang ini bukannya berpindah dari si penerima hibah ke legitimaris, melainkan hibah itu batal dan dianggap tidak pernah terjadi, orang yang meninggal itu tidak pernah kehilangan barang dan dianggap masih selalu berada di dalam budelnya, ternyata setelah pengurangan itu berpindah karena pewarisan dari si pewaris kepada si legitimaris, maka ia tidak memperoleh kedudukan sebagai ahli waris karena hukum, akan tetapi ia menjadi ahli waris oleh karena ia mengemukakan pembatalan dari ketetapan-ketetapan yang melanggar legitime nya.

G.    Perihal Pembagian Warisan
Jika beberapa orang waris bersama sama memperoleh suatu warisan, maka warisan ini tentunya pada suatu waktu akan dibagi. peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku II B.W. perihal boedelscheiding (pasal 1066 dsl.) oleh undang-undang ditetapkan berlaku untuk segala macam pembagian dari setiap kekayaan bersama yang belum terbagi. jadi tidak saja untuk pembagian warisan, tetapi juga misalnya untuk pembagian kekayaan bersama yang terjadi karena perkawinan atau karena beberapa orang bersama yang terjadi karena perkawinan atau karena beberapa orang bersama-sama telah mendirikan suatu persekutuan dagang. Karena itu , perkataan "Boedel-scheiding" dapat diartikan sebagai suatu perbuatan hukum yang bermaksud untuk mengakhiri suatu keadaan, dimana terdapat suatu kekayaan bersama yang belum terbagi. Hak untuk menuntut supaya diadakan pembagian suatu kekayaan bersama, adalah suatu hak yang tidak boleh dikurangi apalagi dihapuskan.
Dalam undang-undang tata cara mengadakan boedelscheiding yaitu tergantung pada keadaan. Dalam hal ini semua ahli waris cakap untuk bertindak sendiri dan semuanya dapat hadir maka cara melakukan pembagian diserahkan kepada ahli waris itu sendiri. Jadi tidak ditetapkan cara tertentu. Akan tetapi jika diantara para ahli waris ada anak yang masih dibawah umur atau yang telah ditaruh dibawah curatele, maka pembagian warisan itu harus dilakukan dengan suatu akte notaris dan dihadapkan weeskamer. sebagai dasar pembagian, harus dipakai harga taksiran dari semua benda warisan.
Dalam hal waris terdapat istilah "inbreng" yaitu pengembalian benda-benda kedalam boedel. Persoalan ini ada apabila si meninggal pada waktu masih hidup memberikan benda-benda secara "schenking" atau donasi kepada sementara waris. Pemberian semacam itu, dapat dianggap sebagai suatu "voorschot" atau lebih atas bagian warisan yang akan diperhitungkan kemudian. perhitungan ini dapat dilakukan dnegan mengembalikan benda yang telah diterimanya itu atau dengan memperhitungkan harganya menurut taksiran.
Orang-orang yang mempunyai piutang terhadap si meninggal, oleh undang-undang diberikan hak untuk mengadakan perlawanan terhadap pembagian warisan selama piutang-piutang itu belum dilunasi. Hak untuk menantang pembagian ini, diberikan kepada mereka, karena mereka hanya dapat menyita harta peninggalan selama kekayaan si meninggal belum terbagi antara para ahli waris. apabila kekayaan itu sudah terbagi maka mereka dapat menagih piutang kepada ahli waris seorang demi seorang , masing-masing untuk jumlah piutang dibagi sesuai bagian dalam warisan. Jika salah seorang ahli waris berhutang pada si meninggal, maka ada yang mengatakan hutang itu harus juga dimasukkkan atau dikembalikan.




H.   Executeur Testamentair dan Bewindvoerder/Pengelola,
Executeur testamentair adalah pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh si pewaris, yang bertugas mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak pewaris. Seorang manusia dalam hidupnya mengalami tiga peristiwa penting, yaitu waktu dilahirkan, perkawinan dan pada waktu ia meninggal dunia.
Ketika manusia meninggal dunia, maka beralihlah segala yang ditinggalkan si almarhum kepada anggota keluarga yang ditinggalkan. Dalam KUHPerdata dikenal dua Cara untuk menjadi ahli waris, yaitu menurut Undang-undang dan penunjukan dalam surat wasiat atau testament. Dalam hal mewaris dengan ketentuan testamen, pewaris dapat menentukan siapa-siapa yang dapat menggantikan atas harta kekayaan yang ditinggalkannya. Pewasiat juga dapat mengangkat seseorang sebagai pelaksana wasiat yang bertugas mengawasi bahwa wasiat itu dilaksanakan sesuai dalam surat wasiat.
Seorang pelaksana wasiat berkewajiban untuk menyelenggarakan sebaik-baiknya kepentingan ahli waris yang dipercayakan kepadanya oleh si pewaris. Pelaksanaan atas suatu wasiat bagi ahli warisnya dalam suatu kasus, mungkin terdapat masalah, misalkan apakah tindakan pelaksana wasiat dalam suatu kasus telah sesuai dengan isi wasiat. Mengapa Pengadilan dapat menetapkan pelaksana wasiat berhak untuk menjual obyek wasiat si penerima wasiat.
Apapun alasannya, siapapun yang menjadi pelaksana wasiat adalah salah jika pelaksana wasiat melanggar isi dari wasiat dan bertindak atas kemauannya sendiri sehingga merugikan kepentingan si penerima wasiat dan menerima hasil penjualan warisan tersebut untuk kepentingan pribadinya.
Dalam hal memberikan penetapan, Hakim tidak berdasarkan pada kepentingan si pewaris dalam wasiatnya, hak ahli waris atas wasiat si pewaris dan aturan-aturan yang membatasi hak dan kewajiban seorang pelaksanan wasiat. Oleh karenanya, ajakan bagi kita semua [terutama sarjana hukum dan praktisi hukum] untuk kembali mendalami hukum waris sehingga dapat memberikan penerangan serta penjelasan yang baik mengenai hukum waris kepada masyarakat.

Bewindvoerder/Pengelola adalah seorang yang ditentukan dalam wasiat untuk mengurus kekayaan (harta peninggalan) sehingga para ahli waris/legataris hany menerima penghasilan dari harta peninggalan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kekayaan (harta peninggalan) tersebut dihabiskan dalam waktu singkat oleh para ahli waris/legataris.

I.     Harta Warisan Tak Terurus
Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorang pun ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tak seorang pun yang menolak warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak terurus. Dalam keadaaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan wajib (Weeskamer) mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim.
Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai saat terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai Harta Peninggalan akan memberikan pertanggung jawaban atas pengurusan itu kepada negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik negara.










Kesimpulan
Perkembangan Hukum perdata di Indonesia sangat bertolak ukur dan berkaitan  kepada perubahan dan keanekaragaman sosial dan budaya. Dalam hal penyelesaian sengketa soal perdata, negara kita berpedoman kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang telah terkodifikasi. Namun hingga saat ini, masih banyak golongan masyarakat yang masih menjadikan hukum adat sebagai solusi penyelasaian sengketa. Dan kita juga tidak bisa menutup mata bahwa sebagian besar penduduk  Indonesia adalah penganut ajaran agama Islam, sehingga banyak metode penyelesaian sengketa yang telah berpedoman kepada syariat Islam, seperti perkawinan, waris, perihal wakaf, perbangkan, dan lainnya.
Hal di atas menjadi bukti bahwa KUHPerdata yang sekarang kita pegang sudah tidak relevan dan membutuhkan revisi. Ini menjadi tugas pemerintah untuk segera membentuk kodifikasi hukum nasional yang bisa diterima oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan ini kami dapat menyimpulkan, bahwa Indonesia saat ini belum memilliki rujukan nasional dalam menyelesaikan sengketa. Dalam perihal waris saja, berlaku istilah “Tergantung kepada hukumnya si pewaris/yang meninggalkan waris. Apabila si pewaris adalah orang asli Indonesia yang berpegang teguh kepada hukum adatnya, maka berlaku baginya hukum adat tersebut. Jika si pewaris adalah seorang muslim, maka berlaku baginya kompilasi hukum Islam. sedangkan yang lainnya berpedoman kepada KUHPerdata.
Akan tetapi menurut penulis, dalam penyelesaian hukum waris, al-Quran lah pedoman yang tepat dan sangat relevan. Islam membawa perubahan sekaligus sebagai pembaharu dalam setiap sudut kehidupan manusia. Hingga saat ini, Indonesia yang beranheka tunggal ika mulai dapat menerima hukum islam, khususnya dalam perihal perdata walaupun belum seluruhnya.





Daftar Pusaka



Andhasasmitha, Komar. Hukum Harta Perkawinan dan Waris Menurut KUHPerdata        Jawa Bara: Ikatan Notaris Indonesia. 1987
Kansil, C.S.T. Modul Hukum Perdata (termasuk asas-asas hokum perdata). Jakarta:          Pradnya  Paramita. 2004

Suparman, Eman.  Hukum Waris Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2007
Soerjopratiknjo, Hartono. Hukum Waris Testamenter. Yogyakarta: Seksi Notariat Fakultas HukumUniversitas Gajah Mada. 1984
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. 2003
Suberti dan Tjitro Sudibyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .

file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR.../HKM_WARIS_2.ppt







[1] Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 1
[2] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa,2003),h. 95
[3] Eman Suparman,Op. Cit., h. 17
[4]  Subekti, Op. Cit., h.103
[5] C.S.T Kansil, Modul Hukum Perdata (termasuk asas-asas hokum perdata), (Jakarta:  Pradnya  Paramita, 2004) h. 153-154
[6] Subekti, Op. Cit., h.103-104
[7] Subekti, Op. Cit., h. 105-106
[8] Subekti, Op. Cit.,h.106-107.
[9] Subekti, op.cit. h.109-112
[10] Suberti dan Tjitro Sudibyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . h. 239
[11] Ibid. h. 112
[12]Komar Andhasasmitha, Notaris III, Hukum Harta Perkawinan dan Waris Menurut KUHPerdata. (Ikatan Notaris Indonesia: Jawa Barat 1987). h. 143
[13] Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter. (Seksi Notariat Fakultas HukumUniversitas Gajah Mada: Yogyakarta,1984), h. 109

[14] Suberti dan Tjitro Sudibyo, Op. Cit.,  h. 243.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar