PEMBAHASAN
A. Dalil Naqli
Hukum Pencurian
Surat Al- maidah ayat 38-39
Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
Maka barangsiapa bertaubat
(di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki
diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebab Turunnya
Ayat:
Imam Ahmad dan lain-lainnya
mengetengahkan sebuah hadis dari Abdullah bin Amr, "Di zaman Nabi saw. ada
seorang perempuan mencuri, kemudian tangannya yang sebelah kanan dipotong. Lalu
ia bertanya kepada Nabi, 'Wahai Rasulullah! Apakah pintu tobat masih terbuka
bagiku?' Maka Allah menurunkan ayat, 'Maka barang siapa yang bertobat (di
antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan dan memperbaiki
diri...'" (Q.S. Al-Maidah ayat 39).[1]
Tafsir Surat
Al-maidah ayat 38-39
(والسارق
والسارقة فاقطعوا
أيديهما )
Dan barang
siapa yang mencuri (seorang laki-laki maupun perempuan) maka potonglah (kata
perintah) wahai para pemimpin Negara, para hakim, dan para penegak hukum tangan
orang tersebut mulai dari telapak tangan sampai
perelangan tangan, karena tindakan pencurian secara langsung dilakukan oleh
telapak tangan. Sedangkan telapak tangan terletak dan terbawa dalam pergelangan
tangan dan lengan tangan, seperti keduannya terletak dan terbawa oleh tubuh
manusia. Sedangkan pergelangan tangan yang dipotong dahulu adalah bagian kanan
karena dalam mendapatkan atau mengambil lebih cenderung dari bagian kiri.
Sedangkan di kalangan para ulama telah terjadi perdebatan dalam ukuran (nisab)
dan batasan diwajibakannya potong tangan atasnya. Dalam riwayat dari Anas
al-Bashari dan Dawud al-Zahiri menyatakan
had potong tangan tetap dilakukan walupun dalam batasan dan ukuran yang
sedikit atau banyak. Pendapat ini beralasan dari kejelasan ayat yang tidak
mengatur banyak dan sedikitnya batas dilakukannya potong tangan, pendapat ini dipertegas dengan sabda
Rasulullah:
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلي الله عليه و سلم
: لعن الله السارق, يسرق البيضة, فتقطع يده, ويسرق الحبل فتقطع يده . (متفق
عليه)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
saw.bersabda : Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri sebutir telor, maka
dipotong tangannya. Dan yang mencuri tali, maka dipotong pula tangannya.(H.R
Bukhari dan Muslim)
Sedangkan dikalangan para
ulama Jumhur salaf maupun khalaf
berpendapat bahwa had potong tangan tidak dapat dilakukan kecuali dalam
pencurian minimal
seperempat dinar atau lebih (ukuran dinar emas atau seperempat dari emas).
Atau tiga dirham (perak), pendapat ini dipertegas dengan hadist dari ‘aisyah:
عن عائشة قالت: قال رسولالله صلى الله عليه
وسلم:لا تقطع يد سارق الا في ربع دينار فصاعدا
(متفق عليه)
Rasulullah saw. Bersabda: Tidak
dipotong tangan seorang pencuri kecuali di seperempat dinar atau lebih .(H,R
Ahmad dan dua Syekh dan Ashab al-Sunan). Dan hadist dari Ibnu Umar
dalam Shahihaini
عن ابن عمر أن النبي ص قطع فى مجن ثمنه ثلاثة دراهم (متفق عليه)
Dari
Ibnu Umar, bahwa sanya Nabi saw.telah potong tangan pada perisai (tameng) yang
harganya tiga dirham (muttafaqun alaihi)
جزاء بما كسبا نكالا من الله
Siksaan tersebut berupa niklun, yaitu semacam rantai atau belenggu rantai yang menjadi
ikatan pada binatang melata. Siksaan tersebut adalah janji Allah atas apa yang
mereka curi dan ancaman siksaan tersebut
agar mencari teguran bagi mereka agar tidak mencuri. Sedangkan potong tangan di
dunia ini adalan balasan atas perbuatan mereka yang jahat dan agar menjadi
pelajaran bagi yang lainnya. Maka tidak ada pelajaran atau siksaan yang lebih
besar dari potong tangan, karena dapat memberikan rasa malu yang amat dalam
seumur hidup. Dan hukuman had ini sangatlah efektif untuk mengurangi angka
pencurian dan memberi rasa aman terhadap harta dan jiwa manusia.
والله عزيز حكيم
Yaitu Allah sangat maha bijaksana terhadap
keputusan dan balasan atas perbuatan pencuri dan orang yang bermaksiat.
Bijaksana atas ciptaannya, dan pemberian had
dan uqubah yang sesuai dengan hikmah
yang memperhatikan maslahah ummat. Maka tidak ada perintah yang
diperintahkannya kecuali ada maslahah ummat di dalamnya, dan tidak ada larangan
yang dilarangnya kecuali ada kerusakan di dalamnya.
فمن تاب من بعد ظلمه و أصلح فإن الله يتوب عليه إن
الله غفور رحيم
Barang siapa yang bertobat dari perbuatan mencuri
atau perbuatan lainnya dan tidak akan pernah kembali kepada perbuatan keji
tersebut dan itu semua diniatkan untuk merubah dirinya dan tidak akan
mengerjakan apa yang dilarang Allah, kemudian dia memperbaiki dirinya dengan
mengerjakan apa yang diperintahkan Allah maka Allah akan menerima taubat mereka
dan akan kembali kepadanya dengan ridho dan kasih sayangnya. Akan tetapi had
hukuman potong tangan tidak hilang bagi orang yang bertaubat tersebut, dan
tidak akan diterima taubatnya apabila ia tidak mengambalikan harta yang
dicurinya sesuai dengan apa yang diambilnya, namun apa bila tidak mampu maka
cukup mengganti rugi secukupnya.[2]
B. Definisi
Pencurian
Kata pencurian adalah berasal dari terjemahan dari
kata bahasa arab al-sariqoh, yang
menurut etimologi berarti melakukan suatu tindakan terhadap orang lain secara
tersembunyi.sedangkan dalam krimonologi pencurian dikenal dengan larceny, yakni pengambil alihan property
orang lain tanpa hak dengan cara sembunyi-sembunyi atau diluar sepengatahuan
pemiliknya. Menurut Siegel Jenis kejahatan ini tidak memakai kekerasaan (force)
dan ancaman (threat).[3]
Sedangkan menurut Abdul Qadir Awdah, pencurian
adalah tindakan mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi.
Berarti mengambil tanpa sepengatahuan dan kerelaan pemiliknya. Maka orang yang
mengambil harta secara terang-terangan tidak termasuk kategori pencurian.
Alasannya adalah hadist Rasulullah saw.yang menegaskan: “Tidak dipotong
tangan orang yang menipu, dan tidak dipotong tangan orang yang mencopet (H.R
Ahmad). Atas hadist tersebut, hukuman bagi pelaku penipuan dan pencopetan
adalah ta’zir.
C.
Unsur dan Syarat Tindakan Pencurian
Pencurian baru diancam dengan hukuman had jika memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur itu adalah tindakan
mengambil secara sembunyi-sembunyi, unsur benda yang diambil berupa harta, unsur yang diambil adalah hak orang lain, dan unsur kesengajaan berbuat
jahat.
1.
Tindakan mengambil (harta orang lain) secara sembunnyi-sembunyi.
Dua hal yang perlu dicatat dalam unsur pertama ini. Yang pertama, adalah“tindakan mengambil” harta orang lain. Tindakan
mengambil harta orang lain baru dikatakan tindakan pencurian, bilamana
mencukupi tiga syarat-syarat:
a. Benda yang diambil telah dikeluarkan dari
tempat penyimpanan yang layak bagi sejenisnya.
b. Benda tersebut telah diambil dan telah
dikeluarkan dari kekuasaan pemiliknya.
c. Benda itu telah berada dalam kewenangan pihak
pencuri.
Jika salah satu dari ketiga syarat itu
berkurang, tindakan “mengambil” tersebut belum dianggap sebagai pencurian yang
dikenakan hukuman had. Karenanya,
seseorang yang melakukan percobaan pencurian, misalnya, baru saja masuk kedalam
sebuah rumah, atau baru mengumpulkan barang yang akan dibawa (tetapi belum
terbawa dari tempat itu) tidak dianggap sebagai pencurian yang dapat dikenakan
hukuman had.
Kedua, tindakan
mengambil dilakukan “secara sembunyi-sembunyi”. Berarti pengambilan dilakukan
tanpa sepengatahuan dan kerelaan pemiliknya. Jika unsur “secara
sembunyi-sembunyi” ini tidak ada, misalnya pencopetan atau perampasan, hal itu
tidak dianggap sebagai tindak pencurian yang dapat dikenakan had, tetapi diatur dalam hukuman ta’zir. Unsur pertama ini disepakati
oleh para ahli fuqaha, kecuali di kalangan Zahariyah, yang menganggap tindakan
percobaan mencuri dapat dianggap mencuri dan dapat dikenakan had.
2. Benda
yang diambil adalah berupa harta
Yang dimaksud dengan harta, seperti yang
dikemukakan Mustafa Ahmad Zarqa, adalah sesuatu yang dicenderungi oleh tabi’at
manusia, dan disimpan sampai waktu yang dibutuhkan. Unsur kedua ini disepakati
oleh Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Oleh karena itu, menurut
mereka orang yang menculik anak kecil (karena bukan harta) tidak dianggap
sebagai tindakan pencuirian yang dikenakan hukuman had,tetapi hukuman ta’zir. Namun menurut Imam Malik dan kalangan
Zahariyah bahwa menculik anak yang belum mumayyiz
dianggap sebagai tindakan pencurian yang dikenakan had karena jika dilihat dari
bahaya yang ditimbulkan, tindakan tersebut dapat berakibat lebih dari pencurian
harta biasa. Unsur kedua ini baru dianggap sempurna bila mana terdapat padanya persyaratan:
a. Harta yang dicuri berupa benda bergerak (harta
yang mungkin dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya).
b. Benda yang diambil adalah benda yang mempunyai
nilai ekonomis (yang halal menurut Islam). Maka mencuri khamar atau babi tidak dikenakan
had.
c. Benda yang diambil berada ditempat penyimpanan
yang layak bagi jenis harta itu. Syarat ini disepakati oleh ulama fiqih kecuali
kalangan Zahiriyah.
d. Harta yang diambil sampai satu nisab. Ulama berbeda pendapat tentang
kadar nisab pencurian. Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah berpendapat bahwa kadar nisab pencurian yang diancam dengan hukuman
had adalah sebanyak seperempat dinar emas. Pendapat mayoritas ulama ini
didasarkan atas hadist riwayat Bukhari dan Muslim yang mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda:
عن عائشة قالت: قال رسولالله صلى الله عليه
وسلم:لا تقطع يد سارق الا في ربع دينار فصاعدا (متفق عليه)
Dari Aisyah, Rasulullah saw.bersabda: jangan
dipotong tangan pencuri kecuali pada seperempat dinar atau lebih. (muttafaqun
alaih).
Berbeda dengan kalangan Hanafiyah, mereka
berpendapat hukum potong tangan baru dilakukan bilamana ia mencuri harta orang
lain sebanyak satu dinar atau sepuluh dirham.
Alasan mereka berdasarkan hadist:
Tidak dipotong tangan pencuri kecuali jika ia mencuri seharga al-mijan
yaitu sepuluh dirham. (H.R Ibnu Abi Syaibah)
3. Benda yang diambil adalah harta orang lain
Dengan persyaratan ini dapat diketahui bahwa
seseorang yang mengambil benda yang bukan hak milik seseorang, seperti kayu di
hutan, tidak dianggap sebagai tindakan pencurian yang dikenakan had. Sedangkan apabila terdapat syubhat
di dalam harta itu, akibat adanya sebagian hak pencuri dan hak pemilik harta
itu, maka tindakan mencuri terhadap harta itu tidak dikenakan hukuman had. Dalam keadan ini terdapat dalil
yang membolehkan karena merupakan hartanya, dan terdapat pula dalil yang
melarang karena di situ terdapat pula hak orang lain.
Atas dasar pertimbangan bahwa adanya had menggugurkan hukaman had, seseorang yang mencuri harta baitul
mal kepunyaan orang muslimin, tidak dapat dipotong tanganya, karena didalamnya
terdapat haknya. Dalam hal ini pelaku akan dikenakan hukuman ta’zir. Berbeda
dengan ini Imam malik berpendapat seseorang yang mencuri harta baitul mal
diancam dengan hukuman had. Bilamana kita berpegang pada pendapat Imam Malik
ini, maka seseorang yang korupsi terhadap harta negara, diancam dengan hukuman
had.
Maka dipandang dari sudut pandangan syariat,
pendapat yang terhakhir ini itu lebih terarah pada upaya memelihara harta. Sebab,
bahaya yang ditimbulkan oleh tindakan kejahatan terhadap harta dalam bentuk
menyelewengkan uang negara lebih berbahaya dibandingkan dengan tindakan pencurian
yang bisa mencapai satu nisab. Oleh karena itu, dari segi ini, pendapat yang
terhakhir ini dipandang lebih cocok untuk diterapkan pada masa kini.
4. Unsur keempat adalah adanya unsur kesengajaan
melakukan kejahatan.
Yang dimaksud dengan adanya kesengajaan
melakukan tindakan kejahatan ialah adanya kesengajaan mengambil harta orang
lain padahal si pengambil mengatahui bahwa perbuatan itu terlarang. Adanya
kesengajaan mengambil harta orang lain dipertegas dengan adanya keinginan memiliki
harta yang diambil itu. Oleh sebab itu, tidak dianggap pencurian bilamana
seseorang mengambil harta orang lain dan melenyapkannya di tempat itu juga. Ia
tidak dikenakan hukuman had, tetapi
dikenakan hukuman ta’zir dan
mengganti rugi. Bilamana telah lengkap keempat unsur ini dengan segala
persyaratannya pada satu perbuatan, maka perbuatan itu dianggap sebagai
tindakan kejahatan pencurian, sehingga pelakunya diancam dengan hukuman had.
D.
Pembuktian Pencurian
Tindakan kejahatan pencurian, seperti
dikemukakan Wahbah al-Zuahaili, baru dianggap terbukti dengan salah satu dari
dua cara pembuktian:
1. Dua orang saksi
Pencurian dianggap terbukti dengan disaksikan
oleh dua orang saksi, yang sama-sama melihat terjadinya tindak kejahatan
itu. Jika yang satunya melihat sendiri
perbuatan itu dan yang satu lagi hanya mendengar dari orang lain, kesaksian
keduanya tidak dapat diterima. Menurut kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah, kesaksian dua orang baru dianggap sah sebagai alat bukti yang
mewajibkan potong tangan pelakunya, bilamana ada pengaduan dari pihak yang
kecurian. Maka jika tidak ada aduan, kesaksian dua orang itu dianggap tidak sah
sebagai alat bukti. Namun menurut Imam Malik, kesaksian dua orang yang adil
dianggapnya cukup untuk dijadikan bukti pencurian dan pelakunya dijatuhi
hukuman had, meskipun tidak ada aduan
dari pemilik harta.
2. Ikrar (pengakuan) pelaku pencurian bahwa ia telah
melakukan tindakan pencurian.
Menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah,
ikrar pelaku pencurian sudah dianggap cukup sebagai bukti, meskipun hanya
diucapkan satu kali. Sedangkan, Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah, Ahmad bin
Hambal dan kalangan Syiah Zaidiyah berpendapat bahwa ikrar si pencuri baru
dianggap cukup sebagai bukti bila diucapkan paling kurang dua kali. Menurut
pendapat pertama tadi, ikrar yang hanya diucapkan satu kali oleh seorang
pencuri tidak dikenakan hukuman had, tetapi ia terkena hukuman ta’zir. Seperti
halnya pada pembuktian dengan dua orang saksi tersebut menurut Abu Hanifaha,
pembuktian dengan ikrar juga diperlukan ada pengaduan dari korban pencurian.
E.
Ancaman Hukuman Pencurian
Bila tindakan pencurian telah terbukti dan
telah memenuhi segala unsur dan syarat-syaratnya, jenis pencurian ini disebut al-sariqoh al-tammah (pencurian yang
telah lengkap syarat dan rukunnya). Tindakan pencurian seperti itu diancam
dengan dua bentuk hukuman: hukuman had, yaitu potong tangan dan hukuman berupa
keharusan mengembalikan harta yang dicurinya.[4]
1. Hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian
ditegaskan dalam al-Quran Surat al-Maidah ayat 38, dan sabda Rasulullah yang
dikemukakan oleh ibnu abdulbar tentang eksekusi potong tangan tehadap seorang
wanita bernama Fatimah binti al-Aswad. Menurut Awdah hukuman potong tangan
seperti yang disebutkan dalam al-quran tidak boleh ditukar dengan bentuk
hukuman lain yang lebih ringan. Sedangkan Atha’ berpendapat bahwa hukuman
potong tangan atas pelaku pencurian hanya dikenakan pada pencurian kali
pertama, dengan memotong tangan kanannya. Bilamana mengulangi pencuriannya, ia
tidak dikenakan hukuman potongan tangan, tetapi diancam dengan hukuman ta’zir.
Sedangkan kalangan Zahariyah berpendapat bahwa pada pencurian pertama, pencuri
dipotong tangannya. Dan jika diulanginya maka dipotong tangannya yang lain.
Jika masih mengulanginya lagi, dikenakan hukuman ta’zir.
2. Pencuri diharuskan mengembalikan harta yang
dicurinya itu kepada pemiliknya, walaupun dirinya telah dikenakan had potong
tangan. Jika barang yang dicurinya itu sudah tidak ada atau telah berpindah ke
tangan orang lain, ia harus membayar ganti rugi senilai harganya. Demiakian
ditegaskan oleh Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, karena hak Allah dan hak
manusia telah dilanggar di dalamnya. Namun Abu Hanifah berbeda pendapat,
menurutnya seorang pencuri apabila telah dihukum dengan potong tangan, ia tidak
lagi diharuskan mengembalikan harta yang dicurinya, dengan dalil bahwa dalam
al-quran surat al-maidah ayat 38 hanya disebutkan hukum potong tangan. Para
ulama lebih menguatkan pendapat yang pertama bahwa pencuri harus
mempertanggungjawabkan keduanya (potong tangan dan mengembalikan harta yang
dicurinya), karena telah melanggar hak allah dan hak hamba.
F.
Hal-hal yang Menggugurkan Hukuman Potong Tangan
Awdah menyebutkan enam hal yang dapat
menggugurkan hukuman potong tangan atas
diri seorang pencuri:
1. Pemilik harta yang membantah pengakuan (ikrar)
seorang atau kesaksian para saksi.
Dengan demikian, menurut Abu Hanifah pencurian
jadi tidak terbukti dan hukuman potong tangan menjadi gugur. Namun Imam Malik
berpendapat bahwa bantahan pemilik harta yang dicuri tidak bisa membatalkan
ikrar atau kesaksian para saksi, walaupun ada indikasi bahwa adanya bantahan
itu tidak lain dari upaya membantu pelaku pencurian. Pendapat ini disetujui
oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bilamana pengingkaran itu terjadi setelah
adanya pengaduan dari pemilik harta. Tetapi bantahan pemilik harta dianggap
membatalkan ikrar dan kesaksian para saksi bilamana bantahan tersebut tejadi
sebelum pemilik harta menyampaikan pengaduannya ke pengadilan.
2. Ada pemberian maaf dari pihak yang dirugikan.
Hal ini hanya difatwakan oleh kalangan syi’ah Zaidiyah.
3. Seseorang membatalkan ikrarnya.
Hal ini baru dianggap sebagai hal yang
menggurkan hukuman had bilamana pencurian hanya dibuktikan dengan ikrar. Hal
ini disepakati oleh para ulama kecuali sebagian kalangan syafi’iyah dan
kalangan Zahairyah. Mereka berpendapat bahwa hukuman potong tangan tidak bisa
gugur desebabkan tertuduh membatalkan ikrar bahwa dirinya telah melakukan
pencurian.
4. Pihak pelaku pencurian mengembalikan harta
yang dicurinya kepada pemilik sebelum pengaduannaya sampai ke pengadilan.
Demikian ditegaskan oleh Abu Hanifah. Sebab
menurutnya, hukuman potong tangan menjadi wajib jika permasalahannya telah
diangkat ke pengdilan. Berbeda dengan itu Abu Yusuf, murid dari Abu Hanifah,
menegaskan bahwa pengembalian harta curian (meskipun dilakukan sebelum diajukan
ke pengadilan) tidak menggugurkan potong tangan. Sebab dengan terjadinya
pencurian hukuman potong tangan menjadi wajib meskipun belum diangkat ke
pengadilan. Di sini kelihatannya fungsi pembuktian hanyalah menyingkap hakikat
yang sudah ada sejak terjadinya tindakan pencurian.
5. Harta yang dicuri itu kemudian menjadi milik
pihak pencuri sebelum kasus tersebut diangkat ke pengadilan.
Misalnya, pihak pemilik harta menghibahkan
harta yang dicuri itu kepada pelaku pencurian. Hal ini disepakati oleh para
ulama. Mereka berbeda pendapat tentang hal pemilikan itu terjadi setelah
diajukan ke pengadilan sebelum kasus pencuriannya diputuskan. Menurut Abu
Hanifah dan Muhammad, pemilik seperti yang disebutkan tadi menggugurkan had,
berbeda dengan itu, Abu Yusuf, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat
bahwa pemilikan setelah kasus pencurian dingkat ke pengadilan tidak mengugurkan
hukuman had.
6. Pihak pencuri mengaklaim bahwa harta yang
dicurinya itu adalah hak miliknya.
Adanya klaim seperti ini menjadikan pencurian
yang terjadi mengandung syubhat yang menggugurkan hukuman had.
G.
Pencurian Ditinjau dari Segi KUHP
Pengertian Pencurian menurut hukum beserta
unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KHUP yaitu: "Barang siapa mengambil suatu benda yang
seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5
tahun atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah". [5]
Selanjutnya dalam Pasal 363 KUHP, pencurian Diancam dengan Pidana paling lama tujuh tahun dalam hal-hal berikut:
1. Pencurian Ternak pencurian pada
waktu terjadi kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung
meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan
atau bahaya perang.
2. Pencurian pada waktu malam dalam
sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh
orang yang ada di situ tanpa diketahui atau tanpa dikehendaki oleh yang berhak
3. Pencurian
yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
4. Pencurian yang untuk masuk ke
tempat melakukan kejahatan, atau untuk dapat mengambil barang yang hendak
dicuri itu, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan
memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Bila pencurian tersebut dalam nomor 3 disertai dengan salah satu hal dalam nomor 4 dan 5,maka perbuatan itu diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
Sedangkan dalam Pasal 365 KUHP Diancam
dengan pidana paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang
dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu, atau bila
tertangkap tangan, untuk memungkinkan diri sendiri atau peserta lainnya untuk
melarikan diri, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
Diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun:
1. Bila perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah
rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam
kereta api atau tremyangsedangberjalan
2. Bila perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu
3. Bila yang bersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan
merusak atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu
atau pakaian jabatan palsu
4. Bila perbuatan mengakibatkan luka berat.
Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang
bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Diancam
dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh
tahun, bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan
oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal
yang diterangkan dalam nomor 1' dan 3'.
Kesimpulan
Allah SWT.yang maha kuasa
memberikan hukuman had potong tangan bagi para pencuri, merupakan kebijakan
yang maha bijaksana. Jika ditelusuri secara mendalam, pidana tersebut memiliki
manfaat yang bisa dipertanggungjawabkan, baik untuk pelaku, korban, dan
masyarakat pada umumnya.
1. Pelaku, pidana potong tangan lebih ringan dibandingkan
dengan perlakuan main hakim sendiri, dipukul, hingga dibunuh.
2. Korban, terjaga hak milik harta korban dan terjaga hak
ketenangan hidup baginya.
3. Masyarakat, khalayak umum akan semakin terjaga dan merasa
aman, tidak akan mencotohi perbuatan keji tersebut, dan menjadikan potong
tangan sebagai peringatan dan pelajaran bagi mereka.
Berbagai pendapat dilontarkan
oleh para ulama mengenai tata cara potong tangan, tidak mengurangi rasa iman
kita, bahwa tindakan pencurian adalah tetap tindakan yang harus diberantas dan
diberikan hukuman had.
Daftar Pustaka
Ajdis, Chairil dan Dudi Akasyah. Kriminologi Syariah. Jakarta: Ambooks. Cet. I. 2007
Al-Marogi, Ahmad Musthafa. Tafsir
Al-marogi. Lebanon: Darul Ihya At-turos Al-‘azli.1999
Al-asqolani, Ibnu Hajar. Bulugul-Marom.
Terjemahan A. Hassan. Bandung: Diponegoro. Cet. XXVI. 2002
Assyuthi, Jalaluddin. Asbabun
Nuzul Sebab Turunnya Ayat al-Quran . Terjemahan Abdul Hayyie. Jakarta: Gema
Insani. 2008
Hamzah, Andi. KUHP &
KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. Ke 16. 2010
Suma, Muhammad Amin dkk. Pidana
Islam di Indonesia.
Jakarta: Pustaka Firdaus. Cet. I. 2001
[1]Jalaluddin Assyuyuti. Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat al-Quran . Terjemahan Abdul
Hayyie. (Jakarta:
Gema Insani. 2008).hlm. 223-224
[2] Ahmad
Musthafa Al-Marogi. Tafsir Al-marogi.
(Lebanon: Darul Ihya
At-turos Al-‘azli.1999) hlm.113-115
[4], Muhammad Amin Suma dkk. Pidana Islam Di Indonesia. (Jakarta: Pustaka Firdaus.
Cet. I. 2001) hlm.124
Tidak ada komentar:
Posting Komentar