Kamis, 21 November 2013

Makalah Tentang Pencurian Menurut Hukum Pidana Islam

PEMBAHASAN

A.      Dalil Naqli Hukum Pencurian  

Surat Al- maidah ayat 38-39

             
 Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.


             Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sebab Turunnya Ayat:
            Imam Ahmad dan lain-lainnya mengetengahkan sebuah hadis dari Abdullah bin Amr, "Di zaman Nabi saw. ada seorang perempuan mencuri, kemudian tangannya yang sebelah kanan dipotong. Lalu ia bertanya kepada Nabi, 'Wahai Rasulullah! Apakah pintu tobat masih terbuka bagiku?' Maka Allah menurunkan ayat, 'Maka barang siapa yang bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan dan memperbaiki diri...'" (Q.S. Al-Maidah ayat 39).[1]


Tafsir Surat Al-maidah ayat 38-39
(والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما )
Dan barang siapa yang mencuri (seorang laki-laki maupun perempuan) maka potonglah (kata perintah) wahai para pemimpin Negara, para hakim, dan para penegak hukum tangan orang tersebut mulai dari telapak tangan sampai perelangan tangan, karena tindakan pencurian secara langsung dilakukan oleh telapak tangan. Sedangkan telapak tangan terletak dan terbawa dalam pergelangan tangan dan lengan tangan, seperti keduannya terletak dan terbawa oleh tubuh manusia. Sedangkan pergelangan tangan yang dipotong dahulu adalah bagian kanan karena dalam mendapatkan atau mengambil lebih cenderung dari bagian kiri.
Sedangkan di kalangan para ulama telah terjadi perdebatan dalam ukuran (nisab) dan batasan diwajibakannya potong tangan atasnya. Dalam riwayat dari Anas al-Bashari dan Dawud al-Zahiri menyatakan  had potong tangan tetap dilakukan walupun dalam batasan dan ukuran yang sedikit atau banyak. Pendapat ini beralasan dari kejelasan ayat yang tidak mengatur banyak dan sedikitnya batas dilakukannya potong tangan,  pendapat ini dipertegas dengan sabda Rasulullah:
    عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلي الله عليه و سلم : لعن الله السارق, يسرق البيضة, فتقطع يده, ويسرق الحبل فتقطع يده . (متفق عليه)                                                                                                   

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw.bersabda : Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri sebutir telor, maka dipotong tangannya. Dan yang mencuri tali, maka dipotong pula tangannya.(H.R Bukhari dan Muslim)

            Sedangkan dikalangan para ulama Jumhur salaf maupun khalaf  berpendapat bahwa had potong tangan tidak dapat dilakukan kecuali dalam pencurian minimal
seperempat dinar atau lebih (ukuran dinar emas atau seperempat dari emas). Atau tiga dirham (perak), pendapat ini dipertegas dengan hadist dari             ‘aisyah:
            عن عائشة قالت: قال رسولالله صلى الله عليه وسلم:لا تقطع يد سارق الا في ربع دينار فصاعدا                                                              
(متفق عليه)                                                                                               
Rasulullah saw. Bersabda: Tidak dipotong tangan seorang pencuri kecuali di seperempat dinar atau lebih .(H,R Ahmad dan dua Syekh dan Ashab al-Sunan). Dan hadist dari Ibnu Umar dalam Shahihaini
عن ابن عمر أن النبي ص قطع فى مجن ثمنه  ثلاثة دراهم (متفق عليه)                                              
Dari Ibnu Umar, bahwa sanya Nabi saw.telah potong tangan pada perisai (tameng) yang harganya tiga dirham (muttafaqun alaihi)
  جزاء بما كسبا نكالا من الله                                                                                                      
Siksaan tersebut berupa niklun, yaitu semacam rantai atau belenggu rantai yang menjadi ikatan pada binatang melata. Siksaan tersebut adalah janji Allah atas apa yang mereka curi dan ancaman siksaan  tersebut agar mencari teguran bagi mereka agar tidak mencuri. Sedangkan potong tangan di dunia ini adalan balasan atas perbuatan mereka yang jahat dan agar menjadi pelajaran bagi yang lainnya. Maka tidak ada pelajaran atau siksaan yang lebih besar dari potong tangan, karena dapat memberikan rasa malu yang amat dalam seumur hidup. Dan hukuman had ini sangatlah efektif untuk mengurangi angka pencurian dan memberi rasa aman terhadap harta dan jiwa manusia.
والله عزيز حكيم                                                                                                                    
Yaitu Allah sangat maha bijaksana terhadap keputusan dan balasan atas perbuatan pencuri dan orang yang bermaksiat. Bijaksana atas ciptaannya, dan pemberian had dan uqubah yang sesuai dengan hikmah yang memperhatikan maslahah ummat. Maka tidak ada perintah yang diperintahkannya kecuali ada maslahah ummat di dalamnya, dan tidak ada larangan yang dilarangnya kecuali ada kerusakan di dalamnya.

فمن تاب من بعد ظلمه و أصلح فإن الله يتوب عليه إن الله غفور رحيم                                                    
Barang siapa yang bertobat dari perbuatan mencuri atau perbuatan lainnya dan tidak akan pernah kembali kepada perbuatan keji tersebut dan itu semua diniatkan untuk merubah dirinya dan tidak akan mengerjakan apa yang dilarang Allah, kemudian dia memperbaiki dirinya dengan mengerjakan apa yang diperintahkan Allah maka Allah akan menerima taubat mereka dan akan kembali kepadanya dengan ridho dan kasih sayangnya. Akan tetapi had hukuman potong tangan tidak hilang bagi orang yang bertaubat tersebut, dan tidak akan diterima taubatnya apabila ia tidak mengambalikan harta yang dicurinya sesuai dengan apa yang diambilnya, namun apa bila tidak mampu maka cukup mengganti rugi secukupnya.[2]

B.  Definisi Pencurian

Kata pencurian adalah berasal dari terjemahan dari kata bahasa arab al-sariqoh, yang menurut etimologi berarti melakukan suatu tindakan terhadap orang lain secara tersembunyi.sedangkan dalam krimonologi pencurian dikenal dengan larceny, yakni pengambil alihan property orang lain tanpa hak dengan cara sembunyi-sembunyi atau diluar sepengatahuan pemiliknya. Menurut Siegel Jenis kejahatan ini tidak memakai kekerasaan (force) dan ancaman (threat).[3]
Sedangkan menurut Abdul Qadir Awdah, pencurian adalah tindakan mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi. Berarti mengambil tanpa sepengatahuan dan kerelaan pemiliknya. Maka orang yang mengambil harta secara terang-terangan tidak termasuk kategori pencurian. Alasannya adalah hadist Rasulullah saw.yang menegaskan: “Tidak dipotong tangan orang yang menipu, dan tidak dipotong tangan orang yang mencopet (H.R Ahmad). Atas hadist tersebut, hukuman bagi pelaku penipuan dan pencopetan adalah ta’zir.

C.    Unsur dan Syarat Tindakan Pencurian
                    Pencurian baru diancam dengan hukuman had jika memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur itu adalah tindakan mengambil secara sembunyi-sembunyi, unsur benda yang diambil berupa harta, unsur yang diambil adalah hak orang lain, dan unsur kesengajaan berbuat jahat.
1.      Tindakan mengambil (harta orang lain) secara sembunnyi-sembunyi.
Dua hal yang perlu dicatat dalam unsur pertama ini. Yang pertama, adalah“tindakan mengambil” harta orang lain. Tindakan mengambil harta orang lain baru dikatakan tindakan pencurian, bilamana mencukupi tiga syarat-syarat:
a.       Benda yang diambil telah dikeluarkan dari tempat penyimpanan yang layak bagi sejenisnya.
b.      Benda tersebut telah diambil dan telah dikeluarkan dari kekuasaan pemiliknya.
c.       Benda itu telah berada dalam kewenangan pihak pencuri.
Jika salah satu dari ketiga syarat itu berkurang, tindakan “mengambil” tersebut belum dianggap sebagai pencurian yang dikenakan hukuman had. Karenanya, seseorang yang melakukan percobaan pencurian, misalnya, baru saja masuk kedalam sebuah rumah, atau baru mengumpulkan barang yang akan dibawa (tetapi belum terbawa dari tempat itu) tidak dianggap sebagai pencurian yang dapat dikenakan hukuman had.
Kedua, tindakan mengambil dilakukan “secara sembunyi-sembunyi”. Berarti pengambilan dilakukan tanpa sepengatahuan dan kerelaan pemiliknya. Jika unsur “secara sembunyi-sembunyi” ini tidak ada, misalnya pencopetan atau perampasan, hal itu tidak dianggap sebagai tindak pencurian yang dapat dikenakan had, tetapi diatur dalam hukuman ta’zir. Unsur pertama ini disepakati oleh para ahli fuqaha, kecuali di kalangan Zahariyah, yang menganggap tindakan percobaan mencuri dapat dianggap mencuri dan dapat dikenakan had.
2.       Benda yang diambil adalah berupa harta
Yang dimaksud dengan harta, seperti yang dikemukakan Mustafa Ahmad Zarqa, adalah sesuatu yang dicenderungi oleh tabi’at manusia, dan disimpan sampai waktu yang dibutuhkan. Unsur kedua ini disepakati oleh Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Oleh karena itu, menurut mereka orang yang menculik anak kecil (karena bukan harta) tidak dianggap sebagai tindakan pencuirian yang dikenakan hukuman had,tetapi hukuman ta’zir. Namun menurut Imam Malik dan kalangan Zahariyah bahwa menculik anak yang belum mumayyiz dianggap sebagai tindakan pencurian yang dikenakan had karena jika dilihat dari bahaya yang ditimbulkan, tindakan tersebut dapat berakibat lebih dari pencurian harta biasa. Unsur kedua ini baru dianggap sempurna bila mana terdapat padanya persyaratan:
a.       Harta yang dicuri berupa benda bergerak (harta yang mungkin dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya).
b.      Benda yang diambil adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis (yang halal menurut Islam). Maka mencuri khamar atau babi tidak dikenakan had.
c.       Benda yang diambil berada ditempat penyimpanan yang layak bagi jenis harta itu. Syarat ini disepakati oleh ulama fiqih kecuali kalangan Zahiriyah.
d.      Harta yang diambil sampai satu nisab. Ulama berbeda pendapat tentang kadar nisab pencurian. Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa kadar nisab pencurian yang diancam dengan hukuman had adalah sebanyak seperempat dinar emas. Pendapat mayoritas ulama ini didasarkan atas hadist riwayat Bukhari dan Muslim yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

              عن عائشة قالت: قال رسولالله صلى الله عليه وسلم:لا تقطع يد سارق الا في ربع دينار فصاعدا (متفق عليه)
Dari Aisyah, Rasulullah saw.bersabda: jangan dipotong tangan pencuri kecuali pada seperempat dinar atau lebih. (muttafaqun alaih).
Berbeda dengan kalangan Hanafiyah, mereka berpendapat hukum potong tangan baru dilakukan bilamana ia mencuri harta orang lain sebanyak satu dinar atau sepuluh dirham.  Alasan mereka berdasarkan hadist:
Tidak dipotong tangan pencuri kecuali jika ia mencuri seharga al-mijan yaitu sepuluh dirham. (H.R Ibnu Abi Syaibah)
3.      Benda yang diambil adalah harta orang lain
Dengan persyaratan ini dapat diketahui bahwa seseorang yang mengambil benda yang bukan hak milik seseorang, seperti kayu di hutan, tidak dianggap sebagai tindakan pencurian yang dikenakan had. Sedangkan apabila terdapat syubhat di dalam harta itu, akibat adanya sebagian hak pencuri dan hak pemilik harta itu, maka tindakan mencuri terhadap harta itu tidak dikenakan hukuman had. Dalam keadan ini terdapat dalil yang membolehkan karena merupakan hartanya, dan terdapat pula dalil yang melarang karena di situ terdapat pula hak orang lain.
Atas dasar pertimbangan bahwa adanya had menggugurkan hukaman had, seseorang yang mencuri harta baitul mal kepunyaan orang muslimin, tidak dapat dipotong tanganya, karena didalamnya terdapat haknya. Dalam hal ini pelaku akan dikenakan hukuman ta’zir. Berbeda dengan ini Imam malik berpendapat seseorang yang mencuri harta baitul mal diancam dengan hukuman had. Bilamana kita berpegang pada pendapat Imam Malik ini, maka seseorang yang korupsi terhadap harta negara, diancam dengan hukuman had.
Maka dipandang dari sudut pandangan syariat, pendapat yang terhakhir ini itu lebih terarah pada upaya memelihara harta. Sebab, bahaya yang ditimbulkan oleh tindakan kejahatan terhadap harta dalam bentuk menyelewengkan uang negara lebih berbahaya dibandingkan dengan tindakan pencurian yang bisa mencapai satu nisab. Oleh karena itu, dari segi ini, pendapat yang terhakhir ini dipandang lebih cocok untuk diterapkan pada masa kini.
4.      Unsur keempat adalah adanya unsur kesengajaan melakukan kejahatan.
Yang dimaksud dengan adanya kesengajaan melakukan tindakan kejahatan ialah adanya kesengajaan mengambil harta orang lain padahal si pengambil mengatahui bahwa perbuatan itu terlarang. Adanya kesengajaan mengambil harta orang lain dipertegas dengan adanya keinginan memiliki harta yang diambil itu. Oleh sebab itu, tidak dianggap pencurian bilamana seseorang mengambil harta orang lain dan melenyapkannya di tempat itu juga. Ia tidak dikenakan hukuman had, tetapi dikenakan hukuman ta’zir dan mengganti rugi. Bilamana telah lengkap keempat unsur ini dengan segala persyaratannya pada satu perbuatan, maka perbuatan itu dianggap sebagai tindakan kejahatan pencurian, sehingga pelakunya diancam dengan hukuman had.

D.    Pembuktian Pencurian
Tindakan kejahatan pencurian, seperti dikemukakan Wahbah al-Zuahaili, baru dianggap terbukti dengan salah satu dari dua cara pembuktian:
1.      Dua orang saksi
Pencurian dianggap terbukti dengan disaksikan oleh dua orang saksi, yang sama-sama melihat terjadinya tindak kejahatan itu.  Jika yang satunya melihat sendiri perbuatan itu dan yang satu lagi hanya mendengar dari orang lain, kesaksian keduanya tidak dapat diterima. Menurut kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, kesaksian dua orang baru dianggap sah sebagai alat bukti yang mewajibkan potong tangan pelakunya, bilamana ada pengaduan dari pihak yang kecurian. Maka jika tidak ada aduan, kesaksian dua orang itu dianggap tidak sah sebagai alat bukti. Namun menurut Imam Malik, kesaksian dua orang yang adil dianggapnya cukup untuk dijadikan bukti pencurian dan pelakunya dijatuhi hukuman had, meskipun tidak ada aduan dari pemilik harta.
2.      Ikrar (pengakuan) pelaku pencurian bahwa ia telah melakukan tindakan pencurian.
Menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah, ikrar pelaku pencurian sudah dianggap cukup sebagai bukti, meskipun hanya diucapkan satu kali. Sedangkan, Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah, Ahmad bin Hambal dan kalangan Syiah Zaidiyah berpendapat bahwa ikrar si pencuri baru dianggap cukup sebagai bukti bila diucapkan paling kurang dua kali. Menurut pendapat pertama tadi, ikrar yang hanya diucapkan satu kali oleh seorang pencuri tidak dikenakan hukuman had, tetapi ia terkena hukuman ta’zir. Seperti halnya pada pembuktian dengan dua orang saksi tersebut menurut Abu Hanifaha, pembuktian dengan ikrar juga diperlukan ada pengaduan dari korban pencurian.

E.     Ancaman Hukuman Pencurian
Bila tindakan pencurian telah terbukti dan telah memenuhi segala unsur dan syarat-syaratnya, jenis pencurian ini disebut al-sariqoh al-tammah (pencurian yang telah lengkap syarat dan rukunnya). Tindakan pencurian seperti itu diancam dengan dua bentuk hukuman: hukuman had, yaitu potong tangan dan hukuman berupa keharusan mengembalikan harta yang dicurinya.[4]
1.      Hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian ditegaskan dalam al-Quran Surat al-Maidah ayat 38, dan sabda Rasulullah yang dikemukakan oleh ibnu abdulbar tentang eksekusi potong tangan tehadap seorang wanita bernama Fatimah binti al-Aswad. Menurut Awdah hukuman potong tangan seperti yang disebutkan dalam al-quran tidak boleh ditukar dengan bentuk hukuman lain yang lebih ringan. Sedangkan Atha’ berpendapat bahwa hukuman potong tangan atas pelaku pencurian hanya dikenakan pada pencurian kali pertama, dengan memotong tangan kanannya. Bilamana mengulangi pencuriannya, ia tidak dikenakan hukuman potongan tangan, tetapi diancam dengan hukuman ta’zir. Sedangkan kalangan Zahariyah berpendapat bahwa pada pencurian pertama, pencuri dipotong tangannya. Dan jika diulanginya maka dipotong tangannya yang lain. Jika masih mengulanginya lagi, dikenakan hukuman ta’zir.
2.      Pencuri diharuskan mengembalikan harta yang dicurinya itu kepada pemiliknya, walaupun dirinya telah dikenakan had potong tangan. Jika barang yang dicurinya itu sudah tidak ada atau telah berpindah ke tangan orang lain, ia harus membayar ganti rugi senilai harganya. Demiakian ditegaskan oleh Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, karena hak Allah dan hak manusia telah dilanggar di dalamnya. Namun Abu Hanifah berbeda pendapat, menurutnya seorang pencuri apabila telah dihukum dengan potong tangan, ia tidak lagi diharuskan mengembalikan harta yang dicurinya, dengan dalil bahwa dalam al-quran surat al-maidah ayat 38 hanya disebutkan hukum potong tangan. Para ulama lebih menguatkan pendapat yang pertama bahwa pencuri harus mempertanggungjawabkan keduanya (potong tangan dan mengembalikan harta yang dicurinya), karena telah melanggar hak allah dan hak hamba.
F.   Hal-hal yang Menggugurkan Hukuman Potong Tangan
Awdah menyebutkan enam hal yang dapat menggugurkan  hukuman potong tangan atas diri seorang pencuri:
1.      Pemilik harta yang membantah pengakuan (ikrar) seorang atau kesaksian para saksi.
Dengan demikian, menurut Abu Hanifah pencurian jadi tidak terbukti dan hukuman potong tangan menjadi gugur. Namun Imam Malik berpendapat bahwa bantahan pemilik harta yang dicuri tidak bisa membatalkan ikrar atau kesaksian para saksi, walaupun ada indikasi bahwa adanya bantahan itu tidak lain dari upaya membantu pelaku pencurian. Pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bilamana pengingkaran itu terjadi setelah adanya pengaduan dari pemilik harta. Tetapi bantahan pemilik harta dianggap membatalkan ikrar dan kesaksian para saksi bilamana bantahan tersebut tejadi sebelum pemilik harta menyampaikan pengaduannya ke pengadilan.
2.      Ada pemberian maaf dari pihak yang dirugikan.
Hal ini hanya difatwakan oleh kalangan syi’ah Zaidiyah.
3.      Seseorang membatalkan ikrarnya.
Hal ini baru dianggap sebagai hal yang menggurkan hukuman had bilamana pencurian hanya dibuktikan dengan ikrar. Hal ini disepakati oleh para ulama kecuali sebagian kalangan syafi’iyah dan kalangan Zahairyah. Mereka berpendapat bahwa hukuman potong tangan tidak bisa gugur desebabkan tertuduh membatalkan ikrar bahwa dirinya telah melakukan pencurian.
4.      Pihak pelaku pencurian mengembalikan harta yang dicurinya kepada pemilik sebelum pengaduannaya sampai ke pengadilan.
Demikian ditegaskan oleh Abu Hanifah. Sebab menurutnya, hukuman potong tangan menjadi wajib jika permasalahannya telah diangkat ke pengdilan. Berbeda dengan itu Abu Yusuf, murid dari Abu Hanifah, menegaskan bahwa pengembalian harta curian (meskipun dilakukan sebelum diajukan ke pengadilan) tidak menggugurkan potong tangan. Sebab dengan terjadinya pencurian hukuman potong tangan menjadi wajib meskipun belum diangkat ke pengadilan. Di sini kelihatannya fungsi pembuktian hanyalah menyingkap hakikat yang sudah ada sejak terjadinya tindakan pencurian.
5.      Harta yang dicuri itu kemudian menjadi milik pihak pencuri sebelum kasus tersebut diangkat ke pengadilan.
Misalnya, pihak pemilik harta menghibahkan harta yang dicuri itu kepada pelaku pencurian. Hal ini disepakati oleh para ulama. Mereka berbeda pendapat tentang hal pemilikan itu terjadi setelah diajukan ke pengadilan sebelum kasus pencuriannya diputuskan. Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, pemilik seperti yang disebutkan tadi menggugurkan had, berbeda dengan itu, Abu Yusuf, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa pemilikan setelah kasus pencurian dingkat ke pengadilan tidak mengugurkan hukuman had.
6.      Pihak pencuri mengaklaim bahwa harta yang dicurinya itu adalah hak miliknya.
Adanya klaim seperti ini menjadikan pencurian yang terjadi mengandung syubhat yang menggugurkan hukuman had.
G. Pencurian Ditinjau dari Segi KUHP
Pengertian Pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KHUP yaitu: "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah". [5]
Selanjutnya dalam Pasal 363 KUHP, pencurian Diancam dengan Pidana paling lama tujuh tahun dalam hal-hal berikut:
1.      Pencurian Ternak pencurian pada waktu terjadi kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang.                                                          
2.      Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa diketahui atau tanpa dikehendaki oleh yang berhak
3.      Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
4.      Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk dapat mengambil barang yang hendak dicuri itu, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Bila pencurian tersebut dalam nomor 3 disertai dengan salah satu hal dalam nomor 4 dan 5,maka perbuatan itu diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
Sedangkan dalam Pasal 365 KUHP Diancam dengan pidana paling lama sembilan tahun,  pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu, atau bila tertangkap tangan, untuk memungkinkan diri sendiri atau peserta lainnya untuk melarikan diri, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1.      Bila perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau tremyangsedangberjalan
2.      Bila perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu
3.      Bila yang bersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu
4.      Bila perbuatan mengakibatkan luka berat.
Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun, bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1' dan 3'.

Kesimpulan

Allah SWT.yang maha kuasa memberikan hukuman had potong tangan bagi para pencuri, merupakan kebijakan yang maha bijaksana. Jika ditelusuri secara mendalam, pidana tersebut memiliki manfaat yang bisa dipertanggungjawabkan, baik untuk pelaku, korban, dan masyarakat pada umumnya.
1.      Pelaku, pidana potong tangan lebih ringan dibandingkan dengan perlakuan main hakim sendiri, dipukul, hingga dibunuh.
2.      Korban, terjaga hak milik harta korban dan terjaga hak ketenangan hidup baginya.
3.      Masyarakat, khalayak umum akan semakin terjaga dan merasa aman, tidak akan mencotohi perbuatan keji tersebut, dan menjadikan potong tangan sebagai peringatan dan pelajaran bagi mereka.
Berbagai pendapat dilontarkan oleh para ulama mengenai tata cara potong tangan, tidak mengurangi rasa iman kita, bahwa tindakan pencurian adalah tetap tindakan yang harus diberantas dan diberikan hukuman had.







Daftar Pustaka

Ajdis, Chairil dan Dudi Akasyah. Kriminologi Syariah. Jakarta: Ambooks. Cet. I. 2007
Al-Marogi, Ahmad Musthafa. Tafsir Al-marogi. Lebanon: Darul Ihya At-turos Al-‘azli.1999
Al-asqolani, Ibnu Hajar. Bulugul-Marom. Terjemahan A. Hassan. Bandung: Diponegoro. Cet. XXVI.   2002
Assyuthi, Jalaluddin. Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat al-Quran . Terjemahan Abdul Hayyie. Jakarta: Gema Insani. 2008
Hamzah, Andi. KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. Ke 16. 2010
Suma, Muhammad Amin dkk. Pidana Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus. Cet. I.  2001




[1]Jalaluddin Assyuyuti. Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat al-Quran . Terjemahan Abdul Hayyie. (Jakarta: Gema Insani. 2008).hlm. 223-224
[2] Ahmad Musthafa Al-Marogi. Tafsir Al-marogi. (Lebanon: Darul Ihya At-turos Al-‘azli.1999) hlm.113-115
[3] Chairil Ajdis, dan Dudi Akasyah. Kriminologi Syariah. (Jakarta: Ambooks. Cet. I. 2007) hlm. 49

[4], Muhammad Amin Suma dkk. Pidana Islam Di Indonesia. (Jakarta: Pustaka Firdaus. Cet. I. 2001) hlm.124

[5] Andi Hamzah. KUHP & KUHAP. (Jakarta: Rineka Cipta. Cet. Ke 16. 2010) hlm 140

Tidak ada komentar:

Posting Komentar