Rabu, 11 September 2013

Suatu Refleksi Eklektisitas Kultur Ketimuran




Bercermin ke Negeri Sakura 

Suatu budaya dari setiap kelompok masyarakat yang berbeda pastilah memiliki karakteristik seni prilaku yang saling menawarkan dan memberikan kontribusi berupa nilai-nilai yang mencirikan kepribadian masing-masing kelompok. Sudahlah pasti suatu kebudayaan itu adalah hal-hal yang merupakan milik bersama yang patut dilindungi dan dilestarikan.
Maka dalam usaha melindungi dan mempertahankan suatu kebudayaan dari suatu daerah bahkan negara akan mengalami proses transplantasi kultur yang disebabkan oleh berbagai hal. Budaya hukum yang merupakan Nilai-nilai bersama dan tanggapan umum yang sama dari  masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum yang seharusnya mempertahankan kesucian dan kebiasaan baik luhur para leluhurnya, mulai terkotori bahkan demi dalih-dalih modernitas mereka tega meninggalkannya. Maka tidak salah apabila ada opini yang menyatakan bahwa kesadaran hukum itu tidak sama dengan ketaatan hukum.
. Kita sebagai rakyat yang memiiliki kebudayaan yang tinggi seharusnya meninggalkan sejauh mungkin paradigma legalistik yang telah mendoktrin bahwa semua orang yang menaati hukum, hanya karena takut sanksi (compliance). Di indonesia memang benar, seseorang tidak akan melanggar lampu merah di trafficlight karena takut ditilang oleh polantas. Tetapi coba kita perhatikan sejenak di Jepang, warga Jepang sedikit sekali yang melanggar lampu merah bahkan tidak sama sekali, dan mengapa mereka tidak melanggar lampu merah, sama sekali bukan karena takut ditilang alias terkena sanksi, melainkan melanggar lampu merah bagi warga Jepang adalah bertentangan dengan nilai intrinsik atau internal yang mereka anut dan dibentuk sejak masa kanak-kanak mereka, bahwa menaati peraturan adalah menjadikan mereka manusia yang luhur, sedangkan melanggar perturan adalah tindakan tidak manusiawi. Di Jepang, jika kereta api di sana mengalami keterlambatan apapun alasannya, apakah karena faktor teknis, mesin atau manusianya, maka menteri perhubungannya sudah tampil di telivisi memohon maaf berulang-ulang kali sambil menunduk dengan ala Jepang.
Di luar dari pada kebiasaan malu yang masih mereka pertahankan, sopan santun dan prilaku mereka dalam menghormati sesama mereka perlu kita contohi, bukan berarti kita meninggalkan kebiasaan kita tetapi lebih untuk memadukan, dalam artian mengambil hal-hal yang baik saja. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dengan kemajuan teknologi mereka yang begitu pesat bahkan bisa bersaing dengan negara adidaya seperti Amerika Serikat, mereka ikut terkulturasi dengan kebudayaan ala modern dan liberal. Akan tetapi, seperti yang dikemukakan Satjipto Raharjo bahwa orang Jepang meletakkan budaya barat hanya sampai di teras rumah saja dan belum boleh memasuki bagian dalam rumah mereka. Dengan kata lain, orang Jepang modern sekalipun tetap mempertahankan nilai-nilai asli budaya mereka, sekalipun mereka harus hidup di alam modern ala barat. Dengan demikian ketaatan hukum merupakan buah yang matang apabila dihasilkan dari kesadaran hukum yang murni, dalam artian seseorang tidak perlu menunggu berlakunya suatu undang-undang baru menaatinya, sehingga terciptanya tatanan masyarakat yang patuh penuh terhadap nilai-nilai ketaatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar