MASYARAKAT
MADANI
A.
Pengertian
Masyarakat Madani
Kekuatan
civil yang telah menjadi bagian komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada
sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni Masyarakat Madani. Wacana Masyarakat Madani merupakan wacana yang
telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses
modernisasi, terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal
menuju masyarakat Barat modern, yang saat itu lebih dikenal dengan istilah civil society. Akan tetapi, civil society yang diangap sama dengan
pengertian state, pada paruh abad
XVII terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society
dipahami sebagai dua entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan
sosial (social formation) dan
perubahan-perubahan struktur politik Eropa sebagai pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam
menghadapi persoalan duniawi (AS Hikam, 1999).
Dalam
mendefinisikan terma masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi
sosio-kultural suatu bangsa, maka sebagai titik tolak, disini akan dikemukakan
beberapa defenisi masyarakat madani dari berbagai pakar di belahan negara yang
menganalisa dan mengkaji fenomena masyarakat madani ini. Pertama, definisi yang
dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar belakang kajiannya pada kawasan
Eropa Timur dan Uni Soviet. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarkat
madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang
mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung,
bersaing satu sama lain, guna mencapai
nilai-nilai yang mereka yakini. Oleh karenanya, yang dimaksud dengan masyarakat
madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan
negara, dalam gambaran ciri-cirinya, yakni individualisme, pasar (market), dan pluralisme.
Kedua, yang
digambarkan oleh Han Sung Joo dengan latar belakang kasus Korea Selatan. Ia
mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang
melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang
terbebas dari negara, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan
independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang
menjadi identitas dan solidaritas yang akhirnya akan terdapat kelompok inti
dalam civil society ini. Ketiga, definisi yang dikemukakan
oleh Kim Sunhyuk juga dalam konteks Korea Selatan, Ia mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari
kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan
dalam masyarakat yang secara ralatif otonom negara, dan masyarakat politik yang
mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik menurut
prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolahan mandiri.
Akan
tetapi secara global dari ketiga batasan diatas dapat ditarik benang emas, bahwa
yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan
masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan negara, memilki
ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri
yang dapat menyalurkan aspirasi dan dan kepentingan publik. Konsep ini
merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil
society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar ibrahim dalam
ceramahnya pada Simposiom Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara
festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Dan pada prinsipnya konsep
masyarakat madani adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat yang mengedepankan
toleransi, demokrasi, dan berkeadaban serta menghargai akan adanya pluralisme
(kemajemuakan).
B. Sejarah dan Perkembangan Masyarakat Madani
Seperti
yang telah dipaparkan di atas, bahwa wacana masyarakat madani merupakan konsep
yang berasal dari pergolakan polotik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang
mengalami proses transformasi dari pola kehidupan yang feodal menuju masyarakat
industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan
wacana masyarakat madani dapat dirunut mulai dari Cicero sampai pada Antonio
Gramsci dan de’Tocqiville. Bahkan menurut Menfred Ridel, Cohen dan Arato serta
M. Darman Rahardjo, wacana masyrakat madani sudah mengemuka pada masa
Aristoteles. Pada masa ini (Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat madani dipahami
sebagai sisitem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas polotik tempat warga
dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan
pengambilan keputusan.
Konsepsi
Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero dengan istilah societies civilies, yaitu sebuah
komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Konsepsi masyarakat madani yang
aksentuasinya pada sistem kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes
(1588-1679) dan Jhon Locke (1632-1704), mereka mengemukakan masyarakat madani
harus memeliki kekuasaan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi
secara ketat pola-pola interaksi (prilaku politik) setiap warga negara. Pada
tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan
mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan
masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat.
Kemudian
pada tahun 1792, muncul wacana masyrakat madani yang memiliki aksentuasi yang
berbeda dnan sebelumnya. Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1737-1803)
yang menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok msyarakat yang
memiliki posisi secara diamentral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai
antitesis dari negara. Perkembangan civil society selanjutnya dikembangkan oleh
G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci
(1891-1937). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh tiga tokoh ini
menekankan pada masyarakat madani sebaagai elemen idiologi kelas dominan.
Pemahaman lebih merupakan reaksi dari model pemahaman yang dilakukan Paine
(yang menganggap masyarakat madani sebagai bagian terpisah dari negara).
Menurut
Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subordinatif dari negara, lebih
lanjut Hegel mengatakan bahwa struktur sosial terbagi atas tiga etnitas, yakni
keluarga, masyarakat madani, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi
pribadi sebagai anggota masyarakat yagn bercirikan keharmonisan. Masyarkat
madani merupakan lokasi atau tempat berlgnsungnya percaturan berbagai
kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara negara
merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan
politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani.
Periode
berikutnya, wacana masyarakat madani dikembangkan oleh Alexis de’ Tocquiville
(1805-1859) yang berdasarkan pada pengalaman demokrasi Amerika, dengan
mengembangkan teori masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan
negara. Tidak seperti yang dikembangkan oleh Hegelian, paradigma Tocqueville
ini lebih menekankan pada masyarakat madani sebagai sesuatu yang tidak apriori
subordinatif terhadap negara. Dari berbagai model pengembanan masyarakat madani
di atas, model Gramsci dan Tocqueville-lah yang menjadi inspirasi gerakan
prodemokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada sekitar akhir dawarsa 80-an.
Gagasan tentang mayarakat madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis
untuk membebaskan diri dari cengkeraman negara yang secara sistematis
melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat.
C. Karakteristik Masyarakat Madani
Penyebutan
karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam
merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang
menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak
bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja,
melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai
eksistensi masyarakat madani. Karakteristik tersebut antara lain adalah adanya Free Public Sphere, Demokratis,
Toleransi, Pluralisme, Keadilan Sosial (Social justice), dan berkeadaban.
•
FREE PUBLIC SPHERE
Yang
dimaksud dengan free public sphere adalah adanya ruang publik yang bebas
sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah
individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana
dan praktis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran.
•
DEMOKRATIS
Demokratis
merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana
dalam menjalani kehidupan, warga negara memliki kebebasan penuh uantuk
menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinterksi dengan
lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola
hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan
suku, ras, dan agama.
•
TOLERAN
Toleran
merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan
sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas oleh orang lain.
•
PLURALISME
Pluralisme
tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan
masyarakat majemk, tetapi harus disertai dengan sikap tulus uantuk menerima
kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholis Majid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya
masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine ine
engagement of deversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme
adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui
makanisme pengawasan dan pengimbangan (chek and balance).
•
KEADILAN SOSIAL ( SOSIAL JUSTICE)
Keadilan
dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan.
D. Pilar
Penegak Masyarakat Madani
Yang
dimaksud dengan pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari
social control yang berfungsi mangkritisi kabijakan-kebiijakan penguasa yang diskriminatif
serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dan hal ini
telah menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani.
Pilar-pilar tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi Hukum,
Perguruan Tinggi dan Partai Politik.
Lembaga
Swadaya Masyarakat; adalah instuisi sosial yang dibentuk oleh swadaya
masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan masyarakat yang tertindas.
Pers;
merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani,
karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa
serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga
negaranya.
Supremasi
Hukum; setiap warga negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan
maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada aturan hukum.
Perguruan Tinggi; yakni
tempat di mana civitas akademiknya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari
kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi
masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan
catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut. Menurut Rizwanda
Immawan, Perguruan Tinggi memiliki tiga peran yang strategis dalam mewujudkan
masyarakat madani, yakni pertama, pemihakan yang tegas pada
prinsip egalitarisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang demkratis.
Kedua, membangun political safety net, yakni dengan mengembangkan dan
mempublikasikan informasi secara objektif dan tidak manipulatif. Ketiga,
melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang santun, saling
menghormati, demokratis, serta meninggalkan cara-cara yang agitatif dan
anarkhis.
Partai Politik; Merupakan wahana bagi warga negara
untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya, sekalipun memiliki tendensi
politis dan rawan akan hegemoni negara, tetapi bagaimanapun juga sebagai sebuah
tempat ekspresi politik warga negara, maka partai politik ini menjadi prasyarat
bagi tegaknya masyarakat madani.
E. Masyarakat Madani
dan Demokrasi
Dalam
masyarakat madani, warga negara bekerja sama membangun ikatan sosial, jaringan
produktif, dan soladiritas kamanusiaan yang bersifat non-govermental untuk
mencapai kebaikan bersama. Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah
terletak pada independensinya terhadap negara (vis a vis the state). Dari sinilah kemudian masyarakat madani
dipahami sebagai akar dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan
demokratisasi.
Hubungan
antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawam- bagaikan dua sisi
mata uang yang bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam masyarakat madani yang
kuatlah, demokrasi dapat ditegakan dengan baik dan hanya dalam suasana
demokratislah civil society dapat
berkembang dengan wajar. Nurcholis Majid pun memberikan metafor tentang hubungan
dan keterkaitan antara masyarakat madani dengan demokratisasi ini. Menurutnya
masyarakat madani merupakan "rumah" persemaian demokarasi. Perlambang
demokrasinya adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia.
Menyikapi
keterkaitan masyarakat madani dengan demokratisasi, Larry Diamond secara
sistematis menyebutkan ada enam kontirbusi masyarakat madani terhadap proses
demokrasi. Pertama, ia menyediakan wahana sumber daya poltitik, ekonomi,
kebudayaan, dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat negara. Kedua,
pluralisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan menjadi dasar yang
penting bagi persaingan demokratis. Ketiga, memperkaya partisipasi dan
meningkatkan kesaadaraan kewarganegaraan. Keempat, ikut menjaga stabilitas
negara. Kelima, tempat menggembleng pimpinan politik dan keenam,
menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
Dalam
masyarakat madani terrdapat nilai-nilai universal tentang pluralisme yang
kemudian menghilangkan segala bentuk kecenderungan partikularisme dan
sektarianisme. Hal ini dalam proses demokrasi menjadi elemen yang sangat
signifikan, di mana masing-masing individu, etnis dan golongan mampu menghargai
kebhinekaan dan menghormati setiap keputusan yang diambil oleh salah satu
golongan atau individu. Jadi membicarakan hubungan masyarakat dengan demokrasi
merpakan discourse yang memiliki
hubungan korelatif dan berkaitan erat. Dalam hal ini Arief Budiman mengatakan
bahwa berbicara mengenai demokrasi biasanya orang akan berbicara tentang interksi
antara negara dan masyarakat madani.
Berkaitan
dengan demokrasi ini, maka menurut M. Dawam Raharjo ada beberapa asumsi yang
berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat
madani menjadi kuat baik melalui pekembangan dari dalam atau dari diri sendiri.
Kedua,
demokratisasi hanya bisa berlangsung pabila peranan negara dikurangi atau
dibatasi tanpa mengerungi efektivitas dan efesiensi instuisi melalui interaksi,
perimbangan, dan pembagian kerja. Ketiga, demokratisasi bisa berkembang
dengan meningkatkan kemandirian atau independensi masyarakat madani dalam
tekanan dan kooptasi negara.
F.
Masyarakat Madani Indonesia
Masyarakat
madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang
mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjug tinggi nilai-nilai hak asasi
manusia. Hal ini diberlakuakan ketika negara sebagai penguasa dan pemerintah
tidak bisa menegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan roda
kepemerintahan. Berbicara mengenai kemungkinan berkembangnya masyarakat madani
di Indonesia diawali sengan kasus-kasus pelenggaran HAM dan pengekengan
kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di
muka umum kemudian dilanbjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non
pemerintah yang mempunyai kekeuatan dan bagian dari social control. Sejak zaman orde lama dengan rezim demokrasi
terpimpinnya Soekarno, sudah terjadi manipulasi peran serta masyarakat untuk
kepetingan politik dan terhegemoni sebagai alat legimitasi politik.
Sampai pada
masa orde baru pun pengekangan demokrasi dan penindasan hak asasi manusia
tersebut kian terbuka seakan menjadi tontonan gratis yang biasa dinikmati oleh
siapapun bahkan untuk segala usia.
Selain itu banyak pengambilan hak tanah rakyat oleh penguasa dengan alasan pembangunan, juga penyelewengan
dan penindasan hak asasi manusia. Maka secara esensial Indonesia memang
membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar
memiliki wawasan dan kesadaran demkorasi yang baik serta mampu menjunjung
tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan
masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaanya sekaligus agar
proses pembinaan dan perberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Menurut
Dawam, ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi
dalam memberdayakan masyarakat madani di Indonesia, yaitu:
1.
Strategi yang lebih mementingkan
intregasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem
demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki
kesadaran berbangsa dan yang kuat.
2.
Strategi yang lebih mengutamakan
reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk
membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi.
3.
Strategi yang memilih membangun
masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisasi. Strategi ini
muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua.
Sumber: Civic Education, Tim ICCE UIN Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar