Kamis, 21 November 2013

Masyarakat Madani

MASYARAKAT MADANI

A.      Pengertian Masyarakat Madani
      Kekuatan civil yang telah menjadi bagian komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni Masyarakat Madani. Wacana Masyarakat Madani merupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat Barat modern, yang saat itu lebih dikenal dengan istilah civil society. Akan tetapi, civil society yang diangap sama dengan pengertian state, pada paruh abad XVII terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami sebagai dua entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social formation) dan perubahan-perubahan struktur politik Eropa sebagai pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi (AS Hikam, 1999).
      Dalam mendefinisikan terma masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, maka sebagai titik tolak, disini akan dikemukakan beberapa defenisi masyarakat madani dari berbagai pakar di belahan negara yang menganalisa dan mengkaji fenomena masyarakat madani ini. Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarkat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain,  guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Oleh karenanya, yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara, dalam gambaran ciri-cirinya, yakni individualisme, pasar (market), dan pluralisme.
      Kedua, yang digambarkan oleh Han Sung Joo dengan latar belakang kasus Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini. Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk juga dalam konteks Korea Selatan, Ia mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara ralatif otonom negara, dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolahan mandiri.
      Akan tetapi secara global dari ketiga batasan diatas dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan negara, memilki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan dan kepentingan publik. Konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar ibrahim dalam ceramahnya pada Simposiom Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Dan pada prinsipnya konsep masyarakat madani adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat yang mengedepankan toleransi, demokrasi, dan berkeadaban serta menghargai akan adanya pluralisme (kemajemuakan).
 
B.   Sejarah dan Perkembangan Masyarakat Madani
      Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa wacana masyarakat madani merupakan konsep yang berasal dari pergolakan polotik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan yang feodal menuju masyarakat industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana masyarakat madani dapat dirunut mulai dari Cicero sampai pada Antonio Gramsci dan de’Tocqiville. Bahkan menurut Menfred Ridel, Cohen dan Arato serta M. Darman Rahardjo, wacana masyrakat madani sudah mengemuka pada masa Aristoteles. Pada masa ini (Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat madani dipahami sebagai sisitem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas polotik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
      Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero dengan istilah societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Konsepsi masyarakat madani yang aksentuasinya pada sistem kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679) dan Jhon Locke (1632-1704), mereka mengemukakan masyarakat madani harus memeliki kekuasaan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (prilaku politik) setiap warga negara. Pada tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat.
      Kemudian pada tahun 1792, muncul wacana masyrakat madani yang memiliki aksentuasi yang berbeda dnan sebelumnya. Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok msyarakat yang memiliki posisi secara diamentral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai antitesis dari negara. Perkembangan civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1937). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh tiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani sebaagai elemen idiologi kelas dominan. Pemahaman lebih merupakan reaksi dari model pemahaman yang dilakukan Paine (yang menganggap masyarakat madani sebagai bagian terpisah dari negara).
      Menurut Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subordinatif dari negara, lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa struktur sosial terbagi atas tiga etnitas, yakni keluarga, masyarakat madani, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yagn bercirikan keharmonisan. Masyarkat madani merupakan lokasi atau tempat berlgnsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani.
      Periode berikutnya, wacana masyarakat madani dikembangkan oleh Alexis de’ Tocquiville (1805-1859) yang berdasarkan pada pengalaman demokrasi Amerika, dengan mengembangkan teori masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Tidak seperti yang dikembangkan oleh Hegelian, paradigma Tocqueville ini lebih menekankan pada masyarakat madani sebagai sesuatu yang tidak apriori subordinatif terhadap negara. Dari berbagai model pengembanan masyarakat madani di atas, model Gramsci dan Tocqueville-lah yang menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada sekitar akhir dawarsa 80-an. Gagasan tentang mayarakat madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkeraman negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat.

C. Karakteristik Masyarakat Madani
            Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai eksistensi masyarakat madani. Karakteristik tersebut antara lain adalah adanya Free Public Sphere, Demokratis, Toleransi, Pluralisme, Keadilan Sosial (Social justice), dan berkeadaban.
         FREE PUBLIC SPHERE
            Yang dimaksud dengan free public sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praktis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran.
         DEMOKRATIS
            Demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memliki kebebasan penuh uantuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinterksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, dan agama.
         TOLERAN
            Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas oleh orang lain.
         PLURALISME
Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat majemk, tetapi harus disertai dengan sikap tulus uantuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan. Menurut Nurcholis Majid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine ine engagement of deversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui makanisme pengawasan dan pengimbangan (chek and balance).
         KEADILAN SOSIAL ( SOSIAL JUSTICE)
            Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.

D. Pilar Penegak Masyarakat Madani 
            Yang dimaksud dengan pilar penegak masyarakat madani adalah  institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mangkritisi kabijakan-kebiijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dan hal ini telah menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya  Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.
            Lembaga Swadaya Masyarakat; adalah instuisi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas.
            Pers; merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya.
            Supremasi Hukum; setiap warga negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada aturan hukum.
            Perguruan Tinggi; yakni tempat di mana civitas akademiknya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut. Menurut Rizwanda Immawan, Perguruan Tinggi memiliki tiga peran yang strategis dalam mewujudkan masyarakat madani, yakni pertama, pemihakan yang tegas pada prinsip egalitarisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang demkratis. Kedua, membangun political safety net, yakni dengan mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif dan tidak manipulatif. Ketiga, melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang santun, saling menghormati, demokratis, serta meninggalkan cara-cara yang agitatif dan anarkhis.
           
Partai Politik; Merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya, sekalipun memiliki tendensi politis dan rawan akan hegemoni negara, tetapi bagaimanapun juga sebagai sebuah tempat ekspresi politik warga negara, maka partai politik ini menjadi prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani.

E. Masyarakat Madani dan Demokrasi
            Dalam masyarakat madani, warga negara bekerja sama membangun ikatan sosial, jaringan produktif, dan soladiritas kamanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada independensinya terhadap negara (vis a vis the state). Dari sinilah kemudian masyarakat madani dipahami sebagai akar dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi.
            Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawam- bagaikan dua sisi mata uang yang bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah, demokrasi dapat ditegakan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah civil society dapat berkembang dengan wajar. Nurcholis Majid pun memberikan metafor tentang hubungan dan keterkaitan antara masyarakat madani dengan demokratisasi ini. Menurutnya masyarakat madani merupakan "rumah" persemaian demokarasi. Perlambang demokrasinya adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia.
            Menyikapi keterkaitan masyarakat madani dengan demokratisasi, Larry Diamond secara sistematis menyebutkan ada enam kontirbusi masyarakat madani terhadap proses demokrasi. Pertama, ia menyediakan wahana sumber daya poltitik, ekonomi, kebudayaan, dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat negara. Kedua, pluralisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokratis. Ketiga, memperkaya partisipasi dan meningkatkan kesaadaraan kewarganegaraan. Keempat, ikut menjaga stabilitas negara. Kelima, tempat menggembleng pimpinan politik dan keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
            Dalam masyarakat madani terrdapat nilai-nilai universal tentang pluralisme yang kemudian menghilangkan segala bentuk kecenderungan partikularisme dan sektarianisme. Hal ini dalam proses demokrasi menjadi elemen yang sangat signifikan, di mana masing-masing individu, etnis dan golongan mampu menghargai kebhinekaan dan menghormati setiap keputusan yang diambil oleh salah satu golongan atau individu. Jadi membicarakan hubungan masyarakat dengan demokrasi merpakan discourse yang memiliki hubungan korelatif dan berkaitan erat. Dalam hal ini Arief Budiman mengatakan bahwa berbicara mengenai demokrasi biasanya orang akan berbicara tentang interksi antara negara dan masyarakat madani.
            Berkaitan dengan demokrasi ini, maka menurut M. Dawam Raharjo ada beberapa asumsi yang berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani menjadi kuat baik melalui pekembangan dari dalam atau dari diri sendiri. Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung pabila peranan negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengerungi efektivitas dan efesiensi instuisi melalui interaksi, perimbangan, dan pembagian kerja. Ketiga, demokratisasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian atau independensi masyarakat madani dalam tekanan dan kooptasi negara.
F. Masyarakat Madani Indonesia
            Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjug tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini diberlakuakan ketika negara sebagai penguasa dan pemerintah tidak bisa menegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan roda kepemerintahan. Berbicara mengenai kemungkinan berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali sengan kasus-kasus pelenggaran HAM dan pengekengan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum kemudian dilanbjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai kekeuatan dan bagian dari social control. Sejak zaman orde lama dengan rezim demokrasi terpimpinnya Soekarno, sudah terjadi manipulasi peran serta masyarakat untuk kepetingan politik dan terhegemoni sebagai alat legimitasi politik.
            Sampai pada masa orde baru pun pengekangan demokrasi dan penindasan hak asasi manusia tersebut kian terbuka seakan menjadi tontonan gratis yang biasa dinikmati oleh siapapun  bahkan untuk segala usia. Selain itu banyak pengambilan hak tanah rakyat oleh penguasa  dengan alasan pembangunan, juga penyelewengan dan penindasan hak asasi manusia. Maka secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demkorasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaanya sekaligus agar proses pembinaan dan perberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
            Menurut Dawam, ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani di Indonesia, yaitu:
1.      Strategi yang lebih mementingkan intregasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan yang kuat.
2.      Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi.
3.      Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua.


 Sumber: Civic Education, Tim ICCE UIN Jakarta


            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar