Pengertian Korupsi
Menurut perspektif hukum, definisi
korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13buah Pasal dalam UU No. 31
Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasaltersebut, korupsi dirumuskan
kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan
secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena
korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian
keuangan negara
2. Suap-menyuap
3. Penggelapan
dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan
curang
6. Benturan
kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi
Korupsi terjadi disebabkan adanya
penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai
demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak
saudara dan teman.Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat
dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang
yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan
kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam
bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya,Wertheim menambahkan bahwa balas
jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk
diteruskan kepada keluarganya atau partainya/kelompoknya atau orang-orang yang
mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.
Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam
korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara
kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan
masyarakat.
Sebab-sebab
Terjadinya Korupsi
Para pakar telah banyak dan
merumuskan penyebab-penyebab maraknya tindak pidana korupsi, diantaranya: Erry
R.Hardjapamekas, ia menyebutkan tingginya kasus korupsi di negeri ini
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:
1.
Kurang
keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa,
2.
Rendahnya gaji
Pegawai Negeri Sipil,
3.
Lemahnya
komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan,
4.
Rendahnya
integritas dan profesionalisme,
5.
Mekanisme
pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum
mapan,
6.
Kondisi
lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat, dan
7.
Lemahnya
keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika.
Sedangkan
menurut Goenawan Wanaradja, SH,MH Salah satu penyebab yang paling utama dan
sangat mendasar terjadinya Korupsi di kalangan para Birokrat, adalah menyangkut
masalah keimanan, kejujuran, moral, dan etika sang Birokrat itu sendiri. Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya
korupsi adalah sebagai berikut :
1.
Peninggalan pemerintahan kolonial.
2.
Kemiskinan dan ketidaksamaan.
3.
Gaji yang rendah.
4.
Persepsi yang populer.
5.
Pengaturan yang bertele-tele.
6.
Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Dari ketiga pendapat diatas dapat
kita simpulkan bahwa penyebab-penyebab terjadinya wabah penyakit mental
tersebut adalah:
1.
Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,
administrasi yang lamban dan sebagainya.
2.
Warisan pemerintahan kolonial yang buruk
3.
Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak
halal, tidak
ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang
pekerjaan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah.
4.
Kemiskinan dan tidak meratanya kesejahteraan.
5.
Melemahnya keimanan, moralitas dan rasa malu.
6.
Tidak berani berkata jujur, dan lebih memilih diam.
Akibat-akibat Korupsi
Berdasarkan pendapat para ahli, maka
kami dapat menyimpulkan akibat-akibat korupsi
adalah sebagai berikut :
1.
Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap
perusahaan, gangguan penanaman modal.
2.
Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3.
Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan
luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4.
Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan
administrasi, Hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan
kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah
merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat
tercapainya tujuan nasional bersama seperti yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945.
Langkah-langkah
Pemberantasan Korupsi
Korupsi tidak dapat dibiarkan
berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau
dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan
menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah
dan menghalalkan segala cara (the end justifiesthe means). Untuk itu, korupsi
perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya
penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang
dari berbagai segi dan pandangan.
Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi
saran penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk
keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan
perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih
keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi
sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial
ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi
harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat
lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak
pula. Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi,
perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para
koruptor di televise,
atau kerja paksa di area umum, atau di arak dengan dandanan yang memalukan,
karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi.
Persoalan korupsi beraneka ragam
cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula.
Korupsi tidak cukup ditinjau dari segideduktif saja, melainkan perlu ditinaju
dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical
problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi.
Kartono (1983)
menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1.
Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna
melakukan partisipasi politik dan
kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2.
Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan
kepentingan nasional.
3.
Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan
menindak korupsi.
4.
Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan
menghukum tindak korupsi.
5.
Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan
jumlah departemen, beserta jabatan dibawahnya.
6.
Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan
bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7.
Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi
pemerintah.
8.
Menciptakan aparatur
pemerintah yang jujur
9.
Sistem budget dikelola oleh
pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem
kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi
(pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan
pajak yang tinggi.
Berdasarkan pendapat para ahli
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah
sebagai berikut :
A. Preventif.
1.
Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi
pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik
pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2.
mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai
negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai
saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan
dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3.
Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri
setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka
kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada
masyarakat dan negara.
4.
Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan
pandangan, penilaian dan kebijakan.
5.
menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol,
koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
6.
hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense
ofbelongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan
tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha
berbuat yang terbaik.
B. Represif.
1.
Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2.
Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar