Pendahuluan
Istilah hukum
memang selalu terdengar di telinga kita,
hampir seluruh kegiatan dan rutinitas manusia mengandung nilai hukum yang
mengatur dan dan mengawasi hingga terciptanya suatu tujuan yang di inginkan.
Namun, hingga saat ini belum ada kesepakatan yang terikat mengenai definisi
hukum, mengenai siapa yang menjadi subjek, dan apa yang menjadi objeknya, kadang hukum itu sendiri atau si
pelaku hukum. ketika kita bertanya hukum kepada seorang satpam, pastinya
jawaban yang akan di lontarkan berbeda dengan jawaban dari seorang guru
walaupun pada hakikatnya, ada sebuah sistem norma yang sama, sedang mengatur
kegiatan mereka. Dalam pemberian definisi dan pengklasifikasian tentang hukum,
para pakar dan sarjana hukum meninjau hukum dari berbagai segi yang berbeda-beda
seperti; segi sejarah, sosial, ekonomi, filsafat, dan sebagainya, bahkan akan tetap berbeda dengan melihat latar belakang pendidikan mereka dan
pengalaman dalam bersosialisasi .
Hukum adalah gejala sosial yang selalu berubah-ubah
mengikuti perkembangan yang ada di dalam masyarakat yang di pengaruhi oleh
zamannya, sehingga memberikan definisi/batasan hukum itu, sebenarnya hanya
bersifat menyama-ratakan saja, dan itu pun tergantung siapa yang memberikan.
Mengingat perlunya mempelajari pembagian dan pendefinisian hukum yang
berbeda-beda, maka di dalam makalah ini penulis akan membahas aneka cara pembedaan hukum beserta
penjelasannya. Hukum berdasarkan waktu berlakunya; Ius constitutum (Hukum
positif), Ius constituendum dan Hukum
asasi (hukum alam). Hukum berdasarkan sifatnya; Hukum Imperatif dan Hukum
Fakultatif. Hukum berdasarkan bentuknya; Hukum tertulis dan Hukum
tidak tertulis. Hukum berdasarkan cara mempertahankannya; Hukum Substantif ( hukum materil ) dan
Hukum Ajektif ( hukum formil ).
PEMBAHASAN
A. Ius
Constitutum dan Ius Constituendum
Ius constitutum
Ius
constitutum (hukum positif) yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu
masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.Singkatnya, Hukum yang berlaku
bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu.contohnya
seperti undang undang dasar 1945.
"ada
sarjana yang menamakan hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat tertentu pada
suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu hukum positif ini "Tata
Hukum". (kansil 1982:71)
Ius
Constituendum
Ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan
oleh pergaulan hidup dan Negara, tetapi belum merupakan kaidah dalam bentuk
undang-undang atau berbagai ketentuan lain. Pendapat yang demikian juga
diketengahkan oleh Sudiman Kartohadiprojo (Purnadi Purbacaraka-Soerjono
Soekanto, 1980). Ius Constituendum juga bisa diartikan hukum yang diharapkan
berlaku pada waktu yang akan datang.
Proses Perubahan Ius Constitutum menjadi Ius
Constituendum
Ius
constitutum dapat menjadi Ius constituendum dengan beberapa proses yang
dilakukan, yaitu :
1. Unsur-unsur Ius Constituendum
Ius
constitutum suatu ketentuan hukum, ketentuan hukum itu memilki beberapa unsur
di dalamnya. Ius constitutum secara harfiah memang berarti hukum yang telah
ditetapkan. Namun dalam proses politik hukum ius constitutum itu diartikan juga
ketentuan hukum yang belum ditetapkan atau ketentuan hukum yang belum ada.
Contoh peraturan tentang yayasan.
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan ius constitutum adalah pasal 1 ayat 1
Indische staatsregeling yang menetapkan bahwa “pelaksanaan pemerintahan hindia
belanda dilakukan oleh gubernur jenderal atas nama raja, dilakukan sesuai
dengan ketentuan IS ini dan dengan memperhatikan petunjuk raja. Dalam ketentuan
tersebut mengandung unsur-unsur:
·
pelaksanaan
pemerintahan umum hindia belanda dilakukan oleh gubernur jenderal.
·
gubernur
jenderal dalam melaksanakan tugasnya dilakukan atas nama raja.
·
gubernur
jenderal dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan pada ketentuan IS dan
petunjuk raja.
2. Unsur-unsur perubahan kehidupan
masyarakat
Perubahan
kehidupan masyarakat yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 mengandung
unsur:
·
proklamasi
kemerdekaan adanya pernyataan melepaskan diri dari kekuasaan negara lain.
·
dengan
melepaskan diri dari penjajahan bangsa lain, bangsa Indonesia menetapkan
mengambil kekuasaan atas dirinya dii tangannya sendiri.
·
bangsa
Indonesia berubah dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka.
3. Membandingkan unsur-unsur Ius Constitutum
dengan unsur-unsur perubahan
masyarakat
Ius
constitutum pada saat Indonesia merdeka adalah pasal 1 ayat 1 IS, yang diatur
oleh raja Belanda, sedangkan perubahan kehidupan masyarakat yang terjadi waktu
itu dengan adanya proklamasi kemerdekaan telah menegaskan bahwa Indonesia tidak
lagi dijajah dan sudah memegang sendiri kedaulatannya.
Pelaksanaan
pemerintahan umum Hindia Belanda, yang telah berubah menjadi Indonesia, oleh
gubernur jenderal, yang melakukan pemerintahan atas nama raja Belanda tidaklah
sesuai dengan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang telah melepaskan diri dari
kekuasaan bangsa asing.
4. Pelaku proses politik hukum
Pelaku
proses politik hukum adalah alat pemerintahan dalam arti luas, yakni alat
pemerintahan dalam bidang legislatif, alat pemerintahan dalam bidang yudikatif.
Ius
Constituendum
Pengertian
a. ius constituendum adalah hukum yang
diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.
b. Secara harfiah ius constituendum adalah
hukum yang seharusnya berlaku, yang meliputi dua pengertian, yakni apa dan
bagaimana hukum yang harus ditetapkan serta apa dan bagaimana penetapan hukum
itu.
Bentuk bentuk
Ius Constituendum
Kebanyakan
ketentuan hukum itu dirumuskan dalam bentuk kalimat berita, kalimat bersyarat
(hipotesis), kalimat mengharuskan, dan kalimat larangan.
1. Bahasa sehari-hari dan bahasa hukum
Seharusnya
bahasa yang digunakan dalam kehidupan hukum seharusnya bahasa sehari-hari,
yakni bahasa yang digunakan masyarakat tempat berlakunya hukum tersebut. Namun
kenyataannya dalam pembentukan hukum para ahli sering menggunakan bahasa
khusus, katakanlah bahasa hukum sesuai kekhususan hukum yang bersangkutan.
2. Peraturan dan ketetapan
Ketentuan hukum
yang berlaku umum lazim disebut peraturan, dan ketentuan hukum yang berlaku
khusus lazim disebut ketetapan.
3. Proses penetapan ketentuan hukum
Proses pembentukan hukum yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat pada prinsipnya ada dua macam, yaitu perundang-undangan
dan kebiasaan.
Sahnya Ius
Constituendum
Hukum
yang seharusnya berlaku ditetapkan dalam proses politik hukum haruslah
merupakan hukum yang sah, yang berarti berlaku menurut hukum (rechtsgelding).
Agar suatu ketentuan hukum itu merupakan hukum atas ketentuan hukum yang sah,
harus memenuhi beberapa syarat:
a. ditetapkan oleh alat pemerintahan yang
berwenang
b. penetapan hukum atau ketentuan hukum itu
tanpa cacat kehendak
c. bentuk penetapan hukum atau ketentuan
hukum itu sesuai dengan bentuk yang ditetapkan peraturan yang menjadi dasar
penetapan hukum.
d. isi dan tujuan penetapan hukum atau
ketentuan hukum itu sesuai dengan isi dan tujuan yang ditetapkan peraturan yang
menjadi dasar penetapan hukum tersebut.
B. Hukum Alam dan
Hukum Positif
Hukum Alam
Pada saat dewasa ini kebanyakan dari manusia
lebih cederung beranggapan bahwa ide keadilan merekalah yang paling benar.
Berbagai macam cara tindakan emisionalnya di perjuangkan demi terlaksananya
ide-ide pemikiran yang mereka anggap rasional, hingga berani mengambil resiko
untuk menipu dirinya sendiri. Maka dasar pemikiran yang di landaskan dari
kehendak manusia adalah sebenarnya datang dari sebuah ideologi peraturan tertentu
tentang tingkah laku manusia yang berasal dari “alam” yakni dari hakikat suatu
benda dan hakikat mahkluk hidup melalui penalaran yang di kehendaki tuhan.
Dalam asumsi ini terkandung sebuah esensi doktrin yang di sebut “hukum alam”. Doktrin
ini beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan perilaku manusia
yang lebih baik dari hukum positif yakni lebih adil dan sepenuhnya shahih Karena
berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak manusia yang semuanya
itu berasal dari kehendak tuhan.
Kehendak tuhan- menurut
doktrin hukum alam -sama dengan alam apabila kita mempercayai bahwa alam adalah
ciptaan tuhan. Dengan demikian peraturan-peraturan yang di lahirkan alam yakni
adanya keikutsertaan alam dalam mengatur tingkah laku manusia. Dan hukum alam
tersebut merupakan ungkapan dari kehendak tuhan.
Pada abad ke-18
Blackstone (seorang penganut hukum alam dari inggris) menuliskan penjelasan
mengenai hukum alam, bahwa: “hukum, dalam pengertiannya yang umum dan komprehensif,
menunjuk kepada suatu peraturan tentang perilaku; dan di gunakan dengan tanpa
bulu kepada semua jenis perilaku, apakah yang bernyawa atau tidak bernyawa, rasional
atau irasional( hukum gerak, gravitasi, optik, atau mekanika, dan juga
hukum-hukum alam dan bangsa). Dan hukum tentang perilaku yang di perintahkan
oleh yang lebih tinggi, dan yang lebih rendah terikat untuk mematuhinya. Jadi
ketika yang maha tinggi menciptakan alam semesta, dan menciptakan zat dari
tiada. Dia mencamkan prinsip-prinsip tertentu kepada zat tersebut, dari padanya
zat ini tidak pernah dapat menyimpang dan tanpanya zat ini akan berhenti
keberadaanya. Dan ketika dia memasukkan zat tersebut kedalam gerak, dia menetapkan
hukum-hukm gerak tertentu, terhadap hukum gerak mana semua benda yang dapat bergerak
harus dapat menyesuaikan. Dengan demikian ini adalah signifikan umum dari
hukum, suatu peraturan tentang perilaku yang diperintahkan oleh Zat yang Maha
Tinggi: dan ciptaan-ciptaan yang tidak memiliki kekuasaan untuk berfikir dan
berkehendak itu, hukum-hukum seperti itu harus di patuhi tanpa kecuali, selama
ciptaan-ciptaan itu hidup. Di dalam pengertiannya yang lebih terbatas, dan
menjadi urusan kita sekarang ini untuk mempertimbangkannya, menunjuk kepada
peraturan-peraturan, bukan tentang perilaku pada umumnya, melainkan tentang
perilaku manusia: yakni, aturan-aturan yang berhadapan dengan aturan-aturan
manusia itu sendiri, yang paling mulia di antara segenap mahkluk. Mahkluk yang
di berkati dengan akal (penalaran) dan kehendak yang bebas, diperintahkan untuk menggunakan
kemampuan-kemampuan tersebut di dalam peraturan umum dalam perilakunya. karena
manusia mutlak bergantung pada penciptanya atas segala hal, maka dia perlu
dalam segala hal mematuhi kehendak penciptanya. Kehendak penciptaanya itu di
sebut hukum alam.[1]”
Sejarah
Hukum Alam (Natural Law)
Sama halnya dengan banyak bidang studi
lainnya, sejarah hukum dari alam (the law of nature) dimulai pada zaman Yunani.
Filsafat Yunani melahirkan standar yang absolut mengenai hak dan keadilan. Hal
ini didasarkan pada kepercayaan pada berlakunya kekuasaan supernatural atas
hukum, di mana manusia seharusnya mematuhinya. Reaksi dari ajaran ini datang
pada abad-abad berikutnya dimana ada perbedaan dan kemungkinan timbulnya
konflik antara Hukum Alam (Natural Law) dan hukum yang dibuat
manusia.
Pada zaman Yunani, Aritoteles dan Plato
membangun kembali Hukum Alam (Natural Law). Sampai hari ini hanya
Aristoteles yang mempunyai pengaruh terbesar dalam doktrin Hukum Alam (Natural
Law). Aristoteles menganggap manusia adalah bagian dari alam, bagian
dari sesuatu, tetapi juga, di ikuti dengan akal yang cemerlang, yang membuat
manusia sesuatu yang istimewa dan memberikannya kekhususan yang menonjol.
Pengakuan terhadap akal manusia membentuk dasar bagi konsepsi Stoic mengenai
Hukum Alam (Natural Law). Stoic mengatakan, akal berlaku terhadap semua
bagian dari alam semesta dan manusia adalah bagian dari alam semesta,
diperintah akal. Manusia hidup pada dasarnya jika ia hidup menurut akalnya.
Doktrin Hukum Alam (Natural Law) kemudian sampai pada tingkat di mana
alam universal memimpin, melalui akal dan kritik yang dijalankan oleh
manusia, langsung kepada tingkah laku yang seharusnya secara normatif
dijalankan. Keharusan yang normatif ini dianggap bagian yang integral
dan didukung oleh moral. Stoic menambahkan unsur agama dalam tingkah
laku manusia.
Era cemerlang dari Hukum Alam (Natural Law)
lahir dari doktrin hukum agama dari Thomas Aquinas. Pada masa itu Tuhan dari
agama Kristen dianggap sebagai sumber kekuatan akal yang berasal dari
Tuhan. Misalnya hal ini diketemukan dalam 10 Perintah Tuhan.
Sekuralisasi dari Hukum Alam (Natural
Law) kemudian datang belakangan pada masa Thomas Hobbes dan Grotius.
Ahli-ahli filsafat abad ke-17 ini pada umumnya menolak konsepsi bahwa Tuhan
adalah sumber tertinggi dari hukum, mereka berpendapat Hukum Alam (Natural
Law) itu mengindikasikan bahwa tindakan manusia itu datang dari
kesepakatan mereka atau ketidak sepakatan mereka, berdasarkan akal atau
kebutuhan moral, dan akibatnya perbuatan itu dilarang atau diperintahkan oleh
Tuhan.
Menghubungkannya dengan sikap modern
terhadap Hukum Alam yang memusatkan perhatian kepada aspek spesifik tertentu
tentang isinya, Hard berpendapat isi minimum dari Hukum Alam adalah “core of
good sence” (perasaan yang baik). Hard berpendapat Hukum Alam bisa
diketemukan melalui akal, dan apa hubungannya dengan hukum manusia dan
moralitas. Dalam hubungan ini, pertanyaan mengenai bagaimana manusia hidup
bersama, harus kita asumsikan bahwa keinginan mereka, dalam garis besarnya adalah
untuk hidup. Pada abad ke-18 terjadi perdebatan antara Blackstone dan Bentham
yang mempengaruhi Teori Hukum (Legal Theory). Blackstone adalah penganut
Hukum Alam dari Inggris, sebaliknya Bentham adalah pengkritik Hukum Alam.
Menurut Blackstone hukum itu adalah rule of action, aturan untuk berbuat
yang diterapkan secara tidak diskriminatif kepada semua macam tindakan apakah animate
or inanimate, rasional atau tidak rasional. Rule of action dilakukan
oleh yang superior di mana yang inferior terikat untuk menaatinya. Hukum dari
alam menurut Blackstone adalah kehendak dari Penciptanya (Maker).
Hukum
Positif
Hukum positif
merupakan dasar bagi konsep keadilan sosial yang mencoba untuk menumbangkan
hukum alam dan menciptakan kesetaraan buatan melalui peraturan atau kekuatan.
Ini bertentangan dengan esensi dari sifat manusia. Dengan kata lain, hukum yang diciptakan oleh laki-laki selalu sekunder
hukum alam yang berasal dari kodrat manusia itu sendiri. Hukum Positif adalah kumpulan asas
dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara
umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan..
Tiap-tiap bangsa memiliki hukumnya sendiri, seperti terhadap bahasa dikenal
tata bahasa, demikian juga terhadap hukum dikenal juga tata hukum. Tiap-tiap
bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri. Hukum merupakan positivasi nilai moral
yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan,
tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral
adalah legitimasi karena adil bagi semua orang.
Sejarah hukum positif di Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum
hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut,
baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya
dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah
jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena
sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau
Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan
warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap
dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari
aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah
Nusantara
Pada saat baru lahir ditahun 1945, negara ‘bayi’ bernama
Indonesia mengunifikasi serta mengkodifikasi hukum positif buatan Belanda yang
diberlakukan bagi masyarakat di Hindia Belanda yang terdiri dari berbagai etnik
saat itu – bangsa Eropa, bangsa Cina, dan bangsa Timur Jauh bukan Cina yaitu
bangsa Arab dan India serta masyarakat pribumi/inlander bangsa Nusantara. Dasar
dari peraturan Belanda tersebut sebenarnya adalah hukum buatan VOC (Verenige
Oost Indische Companie), yang merupakan multinational company pertama di
Nusantara.
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu
hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil). Hukum privat adalah hukum yg
mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg
mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum perdata disebut
pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Hukum
perdata Indonesia Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang
dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum, dan juga mengatur
hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya
kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda,
kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Hukum
perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum
perdata Belanda pada masa penjajahan. Hukum perdata Belanda sendiri disadur
dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum
pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana
formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku
tindak pidana, dan pidana (sanksi). Hukum pidana formil mengatur tentang
pelaksanaan hukum pidana materiil.
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara,
yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan
lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga
negara, wilayah dan warga negara.
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang
mengatur kegiatan administrasi Negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan
pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
C.
Hukum Imperatif dan fakultatif
Hukum Imperatif
Hukum
imperatif adalah hukum yang memaksa, yang bisa diartikan juga merupakan hukum
yang dalam keadaan konkret harus ditaati atau hukum yang tidak boleh
ditinggalkan oleh para pihak dan harus
diikuti.
Ketentuan-ketentuan
yang bersifat memaksa itu berlaku bagi para pihak yang bersangkutan maupun
hakim sehingga hukum itu sendiri harus diterapkan meskipun para pihak mengatur
sendiri hubungan mereka. Sebagai contoh adalah ketentuan pasal 913 Burgerlijk
wetboek Indonesia (dikutip dari “Pengantar Ilmu Hukum” Prof.dr. Mahmud Marzuki,
SH.MS.LL.M) yang berbunyi:
“Legitieme Portie
atau bagian warisan menurut undang-undang ialah suatu bagian dari harta benda
yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang,
yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menentukan sesuatu,
baik secara hibah antara orang-orang yang masih hidup maupun sebagai wasiat”.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, pewaris
dengan testamen sekalipun tidak di bolehkan untuk
mengurangi bagian terkecil dari ahli waris sekecil apapun.hal ini akan terjadi
pada kasus kematian seseorang,ketika dia meninggal dan mennggalkan sebuah
harta, katakanlah si mayat punya 3 anak, dan dia juga punya wanita simpanan yang ia
cintai, sebelum meninggal dia telah mewasiatkan seluruh harta bendanya kepada
wanita simpanan tersebut. Kerena testamen atau wasiat tersebut bertentangan
dengan ketentuan pasal 913 BW, maka testaman itu tidak dapat di eksekusi.
Disini yang di haruskan terjadi ialah ketiga anak tersebut harus mendapatkan
warisan sesuai dangan pasal 914 BW tentang besarnya legitieme portie yang
berhak di terima oleh ketiga anak tersebut, barulah sisanya kemudian dapat di
wariskan kepada wanita simpanan tersebut.
Hukum
Fakultatif
Hukum
fakultatif adalah hukum yang mengatur, yang bisa di artikan juga sebagai hukum
pelangkap yang artinya dalam keadaan kongkret, hukum tersebut dapat di
kesampingkan oleh perjanjian yang diadakan oleh para pihak dan dengan kata lain
ini merupakan hukum secara apiori tidaklah mengikat atau wajib di taati.
Sebagai contoh dalam pasal 119 KUH Perdata berbunyi:
Sebagai contoh dalam pasal 119 KUH Perdata berbunyi:
”Mulai
saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum, berlakulah persatuan bulat antara
harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri, sekadar mengenai itu dengan
perjanjian kawin tidak di adakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang
perkawinan tak boleh di tiadakan atau di ubah dengan sesuatu persetujuan antara
suami dan istri”.
(di
kutip dari ”Dasar-Dasar Ilmu Hukum” Ishaq SH.M Hum).
Jadi,
dalam hal ini sebenarnya kedua belah pihak dapat mengesampingkan peraturan ini,
jika kedua belah pihak membuat persetujuan-persetujuan lain yang sekiranya
dapat membuat kedunya saling menyepakati persetujuan atau perjanjian tersebut.
misalnya dengan membuat harta mereka terpisah satu sama lain, atau sebagainya.
D. Hukum Substantif Dan Hukum Ajektif
Secara ensiklopedia dapat dijelaskan
bahwa hukum substantif adalah bagian
dari hukum yang menciptakan dan mengatur difines, dan hukum ajektif adalah
bagian dari hukum yang menyediakan
metode untuk mempertahankan atau ganti rugi atas invasiop mereka. Yang
secara singkat dijelaskan oleh Zwarensteyn bahwa “substantive law regulates our rights and duties where ajective law
regulaes the methods enforcing right and duties”[2]
. Inti dari rumusan-rumusan tersebut di atas adalah pada hak-hak dan
kewajiban-kewajiban subyek hukum.
Di dalam
hukum substantif hal tersebut dirumuskan sedangkan hukum ajektif memberikan
pedoman bagaimana penegakannya, atau mempertahankannya di dalam prakteknya,
termasuk bagaimana mengatasi pelanggaran terhadap hak-hak dan kewajiban
tersebut.
Dari uraian di atas jelas kiranya
bahwa pembedaan antara hukum substantif dan hukum ajektif terletak pada yang
satu memberi petunjuk, bahkan penjabarannya dari yang lain, dalam hal ini
substantif dijelaskan oleh ajektif, sehingga perumusannya adalah sebagai
berikut :
Hukum substantif,
Hukum substantif adalah rangkaian kaidah yang
merumuskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari subyek hukum yang terkait dalam
hubungan hukum. Hukum substantif juga bisa berarti perundang-undangan atau
hukum tertulis yang mengatur hak dan kewajiban orang-orang yang tunduk pada
hukum tersebut. Hukum substantif mendefinisikan hubungan hukum seseorang dengan
orang lain atau diantara mereka dengan Negara.
Menurut
pendapat lain hukum substantif atau hukum material adalah hukum yang memuat
peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan
yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan.
Contoh
Hukum Substantif (Material) :
Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang dan
lain-lain. Jika orang berbicara tentang Hukum Pidana, Hukum Perdata, maka yang
dimaksudkan adalah Hukum Pidana Material dan Hukum Perdata Material.
Hukum ajektif
Hukum ajektif adalah serangkaian kaidah yang memberi
petunjuk dengan jelas tentang bagaimana kaidah-kaidah materil dan hukum
substantif ditegakan.
Hukum ajektif atau Hukum formal (Hukum Proses atau
Hukum Acara), yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur
bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau
peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana bagaiman cara-caranya mengajukan
sesuatu perkara ke muka Pengadilan dan bagaimana caranya Hakim memberikan
putusan.
Contoh
Hukum ajektif (Formal) :
Hukum Acara Pidana,
yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan
mempertahankan Hukum Pidana Material atau peraturan-peraturan yang mengatur
bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara-pidana ke muka Pengadilan
Pidana dan bagaimana caranya hakim pidana memberikan putusan.
Hukum Acara Perdata, yaitu
peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara-cara memelihara dan
mempertahankan Hukum Perdata Material atau peraturan yang mengatur bagaimana
cara-caranya mengajukan sesuatu perkara-perdata ke muka Pengadilan Perdata dan
bagaimana caranya hakim perdata memberikan putusan.
E. Hukum Tertulis dan Tidak Tertulis
Hukum Tertulis
Hukum yang dicantumkan dalam
berbagai perundang-undangan. Hukum tertulis juga bisa diartikan dengan
peraturan.
Hukum
tertulis dibagi lagi dalam bagian yaitu, hukum tertulis yang dikodifikasikan
dan yang tidak dikodifikasikan
a. hukum tertulis yang dikodifikasikan
artinya hukum tersebut dibukukan dalam lembaran Negara dan diundangkan atau
diumumkan.
Contoh
hukum tertulis yang dikodifikasikan, yaitu:
·
hukum
pidana yang telah dikodifikasikan adalah kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP) tahun 1918
·
hukum
sipil yang telah dikodifikasikan dalam kitab undang-undang hukum sipil (KUHD)
pada tahun 1847
·
hukum
dagang yang telah dikodifikasikan dalam kitab undang-undang hukum dagang (KUHD)
pada tahun 1847
b. hukum tertulis yang tidak
dikodifikasikan
contoh
hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan, yaitu:
·
peraturan
undang-undang hak merek perdagangan
·
peraturan
undang-undang hak oktroi/hak menemukan di bidang industry
·
peraturan
undang-undang hak cipta
·
peraturan
undang-undang hak ikatan perkreditan
kelebihan dan
kekurangan hukum tertulis yang dikodifikasikan
v kelebihan dari hukum tertulis yang
dikodifikasikan adalah adanya kepastian hukum dan penyerdahanaan hukum serta
kesatuan hukum.
v kekurangan dari hukum tertulis yang
dikodifikasikan adalah hukum tersebut bila dikonotasikan bergeraknya lambat
atau tidak dapat mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju.
contoh hukum
tertulis
·
KUHP
(kitab undang-undang hukum pidana)
·
KUHPer
(kitab undang-undang hukum perdata).
Hukum tidak Tertulis
Semua
aturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh
rakyat, karena mereka yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai hukum. Agar
kebiasaan memiliki kekuatan yang berlaku dan sekaligus menjadi sumber hukum.
Maka
syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu :
·
Harus
ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulangkali dalam hal yang
sama dan diikuti oleh orang banyak/ umum.
·
Harus
ada keyakinan hukum dari orang-orang/ golongan-golongan yang berkepentingan.
dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh
kebiasaan itu mengandung/ memuat hal-hal yang baik dan layak untuk diikuti/
ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat.
Contoh dari
hukum tidak tertulis
·
Hukum
adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada perundang-undangan tetapi
dipatuhi oleh daerah tertentu
·
Hukum
kebiasaan.
Kesimpulan
Maka keduanya adalah komplementer yang saling
mengisi. Ini berarti pula bahwa hukum substantif adalah hukum materil,
sedangkan hukum ajektif adalah hukum
formil.
DAFTAR
PUSAKA
Kelsens, Hans. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara. Bandung: Nusa Media, 2010.
Soeroso,R. SH. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
L.J. Van Apeldoorn Prof. Dr. Mr. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya
Paramita, 2001.
Purnadi Purbacaraka – Soerjono Soekanto, Aneka
Cara Pembedaan Hukum. Alumni, 1980.
Kansil, C.S.T. Drs. SH, Pengatar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar