Kamis, 21 November 2013

Pembahasan Ius Contstittutuem

Pendahuluan
 Istilah hukum memang selalu terdengar  di telinga kita, hampir seluruh kegiatan dan rutinitas manusia mengandung nilai hukum yang mengatur dan dan mengawasi hingga terciptanya suatu tujuan yang di inginkan. Namun, hingga saat ini belum ada kesepakatan yang terikat mengenai definisi hukum, mengenai siapa yang menjadi subjek, dan apa yang menjadi  objeknya, kadang hukum itu sendiri atau si pelaku hukum. ketika kita bertanya hukum kepada seorang satpam, pastinya jawaban yang akan di lontarkan berbeda dengan jawaban dari seorang guru walaupun pada hakikatnya, ada sebuah sistem norma yang sama, sedang mengatur kegiatan mereka. Dalam pemberian definisi dan pengklasifikasian tentang hukum, para pakar dan sarjana hukum meninjau hukum dari berbagai segi yang berbeda-beda seperti; segi sejarah, sosial, ekonomi, filsafat, dan sebagainya,  bahkan akan tetap berbeda dengan melihat  latar belakang pendidikan mereka dan pengalaman dalam bersosialisasi .
Hukum adalah gejala sosial yang selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan yang ada di dalam masyarakat yang di pengaruhi oleh zamannya, sehingga memberikan definisi/batasan hukum itu, sebenarnya hanya bersifat menyama-ratakan saja, dan itu pun tergantung siapa yang memberikan. Mengingat perlunya mempelajari pembagian dan pendefinisian hukum yang berbeda-beda, maka di dalam makalah ini penulis akan membahas aneka cara pembedaan hukum beserta penjelasannya. Hukum berdasarkan waktu berlakunya; Ius constitutum  (Hukum positif), Ius constituendum  dan Hukum asasi  (hukum alam). Hukum berdasarkan sifatnya; Hukum Imperatif dan Hukum Fakultatif. Hukum berdasarkan bentuknya; Hukum tertulis dan Hukum tidak tertulis. Hukum berdasarkan cara mempertahankannya; Hukum Substantif ( hukum materil ) dan Hukum Ajektif ( hukum formil ).






PEMBAHASAN

A. Ius Constitutum dan Ius Constituendum
Ius constitutum
Ius constitutum (hukum positif) yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.Singkatnya, Hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu.contohnya seperti undang undang dasar 1945.
"ada sarjana yang menamakan hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat tertentu pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu hukum positif ini "Tata Hukum". (kansil 1982:71)

Ius Constituendum
Ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan Negara, tetapi belum merupakan kaidah dalam bentuk undang-undang atau berbagai ketentuan lain. Pendapat yang demikian juga diketengahkan oleh Sudiman Kartohadiprojo (Purnadi Purbacaraka-Soerjono Soekanto, 1980). Ius Constituendum juga bisa diartikan hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.
Proses Perubahan Ius Constitutum menjadi Ius Constituendum
Ius constitutum dapat menjadi Ius constituendum dengan beberapa proses yang dilakukan, yaitu :
1.      Unsur-unsur Ius Constituendum
Ius constitutum suatu ketentuan hukum, ketentuan hukum itu memilki beberapa unsur di dalamnya. Ius constitutum secara harfiah memang berarti hukum yang telah ditetapkan. Namun dalam proses politik hukum ius constitutum itu diartikan juga ketentuan hukum yang belum ditetapkan atau ketentuan hukum yang belum ada. Contoh peraturan tentang yayasan.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan ius constitutum adalah pasal 1 ayat 1 Indische staatsregeling yang menetapkan bahwa “pelaksanaan pemerintahan hindia belanda dilakukan oleh gubernur jenderal atas nama raja, dilakukan sesuai dengan ketentuan IS ini dan dengan memperhatikan petunjuk raja. Dalam ketentuan tersebut mengandung unsur-unsur:
·         pelaksanaan pemerintahan umum hindia belanda dilakukan oleh gubernur jenderal.
·         gubernur jenderal dalam melaksanakan tugasnya dilakukan atas nama raja.
·         gubernur jenderal dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan pada ketentuan IS dan petunjuk raja.

2.      Unsur-unsur perubahan kehidupan masyarakat
Perubahan kehidupan masyarakat yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 mengandung unsur:
·         proklamasi kemerdekaan adanya pernyataan melepaskan diri dari kekuasaan negara lain.
·         dengan melepaskan diri dari penjajahan bangsa lain, bangsa Indonesia menetapkan mengambil kekuasaan atas dirinya dii tangannya sendiri.
·         bangsa Indonesia berubah dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka.

3.       Membandingkan unsur-unsur Ius Constitutum dengan unsur-unsur     perubahan masyarakat
Ius constitutum pada saat Indonesia merdeka adalah pasal 1 ayat 1 IS, yang diatur oleh raja Belanda, sedangkan perubahan kehidupan masyarakat yang terjadi waktu itu dengan adanya proklamasi kemerdekaan telah menegaskan bahwa Indonesia tidak lagi dijajah dan sudah memegang sendiri kedaulatannya.

Pelaksanaan pemerintahan umum Hindia Belanda, yang telah berubah menjadi Indonesia, oleh gubernur jenderal, yang melakukan pemerintahan atas nama raja Belanda tidaklah sesuai dengan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang telah melepaskan diri dari kekuasaan bangsa asing.

4.       Pelaku proses politik hukum
Pelaku proses politik hukum adalah alat pemerintahan dalam arti luas, yakni alat pemerintahan dalam bidang legislatif, alat pemerintahan dalam bidang yudikatif.

Ius Constituendum
Pengertian
a.       ius constituendum adalah hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.
b.      Secara harfiah ius constituendum adalah hukum yang seharusnya berlaku, yang meliputi dua pengertian, yakni apa dan bagaimana hukum yang harus ditetapkan serta apa dan bagaimana penetapan hukum itu.
Bentuk bentuk Ius Constituendum
Kebanyakan ketentuan hukum itu dirumuskan dalam bentuk kalimat berita, kalimat bersyarat (hipotesis), kalimat mengharuskan, dan kalimat larangan.
1.      Bahasa sehari-hari dan bahasa hukum
Seharusnya bahasa yang digunakan dalam kehidupan hukum seharusnya bahasa sehari-hari, yakni bahasa yang digunakan masyarakat tempat berlakunya hukum tersebut. Namun kenyataannya dalam pembentukan hukum para ahli sering menggunakan bahasa khusus, katakanlah bahasa hukum sesuai kekhususan hukum yang bersangkutan.



2.       Peraturan dan ketetapan
Ketentuan hukum yang berlaku umum lazim disebut peraturan, dan ketentuan hukum yang berlaku khusus lazim disebut ketetapan.
3.      Proses penetapan ketentuan hukum
 Proses pembentukan hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pada prinsipnya ada dua macam, yaitu perundang-undangan dan kebiasaan.
Sahnya Ius Constituendum
Hukum yang seharusnya berlaku ditetapkan dalam proses politik hukum haruslah merupakan hukum yang sah, yang berarti berlaku menurut hukum (rechtsgelding). Agar suatu ketentuan hukum itu merupakan hukum atas ketentuan hukum yang sah, harus memenuhi beberapa syarat:
a.       ditetapkan oleh alat pemerintahan yang berwenang
b.      penetapan hukum atau ketentuan hukum itu tanpa cacat kehendak
c.       bentuk penetapan hukum atau ketentuan hukum itu sesuai dengan bentuk yang ditetapkan peraturan yang menjadi dasar penetapan hukum.
d.      isi dan tujuan penetapan hukum atau ketentuan hukum itu sesuai dengan isi dan tujuan yang ditetapkan peraturan yang menjadi dasar penetapan hukum tersebut.

B. Hukum Alam dan Hukum Positif

Hukum Alam
             Pada saat dewasa ini kebanyakan dari manusia lebih cederung beranggapan bahwa ide keadilan merekalah yang paling benar. Berbagai macam cara tindakan emisionalnya di perjuangkan demi terlaksananya ide-ide pemikiran yang mereka anggap rasional, hingga berani mengambil resiko untuk menipu dirinya sendiri. Maka dasar pemikiran yang di landaskan dari kehendak manusia adalah sebenarnya datang dari sebuah ideologi peraturan tertentu tentang tingkah laku manusia yang berasal dari “alam” yakni dari hakikat suatu benda dan hakikat mahkluk hidup melalui penalaran yang di kehendaki tuhan. Dalam asumsi ini terkandung sebuah esensi doktrin yang di sebut “hukum alam”. Doktrin ini beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan perilaku manusia yang lebih baik dari hukum positif yakni lebih adil dan sepenuhnya shahih Karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak manusia yang semuanya itu berasal dari kehendak tuhan.
Kehendak tuhan- menurut doktrin hukum alam -sama dengan alam apabila kita mempercayai bahwa alam adalah ciptaan tuhan. Dengan demikian peraturan-peraturan yang di lahirkan alam yakni adanya keikutsertaan alam dalam mengatur tingkah laku manusia. Dan hukum alam tersebut merupakan ungkapan dari kehendak tuhan.
Pada abad ke-18 Blackstone (seorang penganut hukum alam dari inggris) menuliskan penjelasan mengenai hukum alam, bahwa: “hukum, dalam pengertiannya yang umum dan komprehensif, menunjuk kepada suatu peraturan tentang perilaku; dan di gunakan dengan tanpa bulu kepada semua jenis perilaku, apakah yang bernyawa atau tidak bernyawa, rasional atau irasional( hukum gerak, gravitasi, optik, atau mekanika, dan juga hukum-hukum alam dan bangsa). Dan hukum tentang perilaku yang di perintahkan oleh yang lebih tinggi, dan yang lebih rendah terikat untuk mematuhinya. Jadi ketika yang maha tinggi menciptakan alam semesta, dan menciptakan zat dari tiada. Dia mencamkan prinsip-prinsip tertentu kepada zat tersebut, dari padanya zat ini tidak pernah dapat menyimpang dan tanpanya zat ini akan berhenti keberadaanya. Dan ketika dia memasukkan zat tersebut kedalam gerak, dia menetapkan hukum-hukm gerak tertentu, terhadap hukum gerak mana semua benda yang dapat bergerak harus dapat menyesuaikan. Dengan demikian ini adalah signifikan umum dari hukum, suatu peraturan tentang perilaku yang diperintahkan oleh Zat yang Maha Tinggi: dan ciptaan-ciptaan yang tidak memiliki kekuasaan untuk berfikir dan berkehendak itu, hukum-hukum seperti itu harus di patuhi tanpa kecuali, selama ciptaan-ciptaan itu hidup. Di dalam pengertiannya yang lebih terbatas, dan menjadi urusan kita sekarang ini untuk mempertimbangkannya, menunjuk kepada peraturan-peraturan, bukan tentang perilaku pada umumnya, melainkan tentang perilaku manusia: yakni, aturan-aturan yang berhadapan dengan aturan-aturan manusia itu sendiri, yang paling mulia di antara segenap mahkluk. Mahkluk yang di berkati dengan akal (penalaran) dan kehendak yang  bebas, diperintahkan untuk menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut di dalam peraturan umum dalam perilakunya. karena manusia mutlak bergantung pada penciptanya atas segala hal, maka dia perlu dalam segala hal mematuhi kehendak penciptanya. Kehendak penciptaanya itu di sebut hukum alam.[1]”     

Sejarah Hukum Alam (Natural Law)

Sama halnya dengan banyak bidang studi lainnya, sejarah hukum dari alam (the law of nature) dimulai pada zaman Yunani. Filsafat Yunani melahirkan standar yang absolut mengenai hak dan keadilan. Hal ini didasarkan pada kepercayaan pada berlakunya kekuasaan supernatural atas hukum, di mana manusia seharusnya mematuhinya. Reaksi dari ajaran ini datang pada abad-abad berikutnya dimana ada perbedaan dan kemungkinan timbulnya konflik antara Hukum Alam (Natural Law) dan hukum yang dibuat manusia.
Pada zaman Yunani, Aritoteles dan Plato membangun kembali Hukum Alam (Natural Law). Sampai hari ini hanya Aristoteles yang mempunyai pengaruh terbesar dalam doktrin Hukum Alam (Natural Law). Aristoteles menganggap manusia adalah bagian dari alam, bagian dari sesuatu, tetapi juga, di ikuti dengan akal yang cemerlang, yang membuat manusia sesuatu yang istimewa dan memberikannya kekhususan yang menonjol. Pengakuan terhadap akal manusia membentuk dasar bagi konsepsi Stoic mengenai Hukum Alam (Natural Law). Stoic mengatakan, akal berlaku terhadap semua bagian dari alam semesta dan manusia adalah bagian dari alam semesta, diperintah akal. Manusia hidup pada dasarnya jika ia hidup menurut akalnya. Doktrin Hukum Alam (Natural Law) kemudian sampai pada tingkat di mana alam universal memimpin, melalui akal dan kritik yang dijalankan oleh manusia, langsung kepada tingkah laku yang seharusnya secara normatif dijalankan. Keharusan yang normatif ini dianggap bagian yang integral dan didukung oleh moral. Stoic menambahkan unsur agama dalam tingkah laku manusia.
 Era cemerlang dari Hukum Alam (Natural Law) lahir dari doktrin hukum agama dari Thomas Aquinas. Pada masa itu Tuhan dari agama Kristen dianggap sebagai sumber kekuatan akal yang berasal dari Tuhan. Misalnya hal ini diketemukan dalam 10 Perintah Tuhan.
Sekuralisasi dari Hukum Alam (Natural Law) kemudian datang belakangan pada masa Thomas Hobbes dan Grotius. Ahli-ahli filsafat abad ke-17 ini pada umumnya menolak konsepsi bahwa Tuhan adalah sumber tertinggi dari hukum, mereka berpendapat Hukum Alam (Natural Law) itu mengindikasikan bahwa tindakan manusia itu datang dari kesepakatan mereka atau ketidak sepakatan mereka, berdasarkan akal atau kebutuhan moral, dan akibatnya perbuatan itu dilarang atau diperintahkan oleh Tuhan.
Menghubungkannya dengan sikap modern terhadap Hukum Alam yang memusatkan perhatian kepada aspek spesifik tertentu tentang isinya, Hard berpendapat isi minimum dari Hukum Alam adalah “core of good sence” (perasaan yang baik). Hard berpendapat Hukum Alam bisa diketemukan melalui akal, dan apa hubungannya dengan hukum manusia dan moralitas. Dalam hubungan ini, pertanyaan mengenai bagaimana manusia hidup bersama, harus kita asumsikan bahwa keinginan mereka, dalam garis besarnya adalah untuk hidup. Pada abad ke-18 terjadi perdebatan antara Blackstone dan Bentham yang mempengaruhi Teori Hukum (Legal Theory). Blackstone adalah penganut Hukum Alam dari Inggris, sebaliknya Bentham adalah pengkritik Hukum Alam. Menurut Blackstone hukum itu adalah rule of action, aturan untuk berbuat yang diterapkan secara tidak diskriminatif kepada semua macam tindakan apakah animate or inanimate, rasional atau tidak rasional. Rule of action dilakukan oleh yang superior di mana yang inferior terikat untuk menaatinya. Hukum dari alam menurut Blackstone adalah kehendak dari Penciptanya (Maker).

Hukum Positif

Hukum positif merupakan dasar bagi konsep keadilan sosial yang mencoba untuk menumbangkan hukum alam dan menciptakan kesetaraan buatan melalui peraturan atau kekuatan. Ini bertentangan dengan esensi dari sifat manusia. Dengan kata lain, hukum yang diciptakan oleh laki-laki selalu sekunder hukum alam yang berasal dari kodrat manusia itu sendiri. Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan.. Tiap-tiap bangsa memiliki hukumnya sendiri, seperti terhadap bahasa dikenal tata bahasa, demikian juga terhadap hukum dikenal juga tata hukum. Tiap-tiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri. Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang.

Sejarah hukum positif di Indonesia

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara
Pada saat baru lahir ditahun 1945, negara ‘bayi’ bernama Indonesia mengunifikasi serta mengkodifikasi hukum positif buatan Belanda yang diberlakukan bagi masyarakat di Hindia Belanda yang terdiri dari berbagai etnik saat itu – bangsa Eropa, bangsa Cina, dan bangsa Timur Jauh bukan Cina yaitu bangsa Arab dan India serta masyarakat pribumi/inlander bangsa Nusantara. Dasar dari peraturan Belanda tersebut sebenarnya adalah hukum buatan VOC (Verenige Oost Indische Companie), yang merupakan multinational company pertama di Nusantara.
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil). Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Hukum perdata Indonesia Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum, dan juga mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil.
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara.
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi Negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya.

C.  Hukum Imperatif dan fakultatif
Hukum Imperatif

Hukum imperatif adalah hukum yang memaksa, yang bisa diartikan juga merupakan hukum yang dalam keadaan konkret harus ditaati atau hukum yang tidak boleh ditinggalkan oleh para  pihak dan harus diikuti.
Ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa itu berlaku bagi para pihak yang bersangkutan maupun hakim sehingga hukum itu sendiri harus diterapkan meskipun para pihak mengatur sendiri hubungan mereka. Sebagai contoh adalah ketentuan pasal 913 Burgerlijk wetboek Indonesia (dikutip dari “Pengantar Ilmu Hukum” Prof.dr. Mahmud Marzuki, SH.MS.LL.M) yang berbunyi:
Legitieme Portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah suatu bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menentukan sesuatu, baik secara hibah antara orang-orang yang masih hidup maupun sebagai wasiat”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pewaris dengan testamen sekalipun tidak di bolehkan untuk mengurangi bagian terkecil dari ahli waris sekecil apapun.hal ini akan terjadi pada kasus kematian seseorang,ketika dia meninggal dan mennggalkan sebuah harta, katakanlah si mayat punya 3 anak, dan dia juga punya wanita simpanan yang ia cintai, sebelum meninggal dia telah mewasiatkan seluruh harta bendanya kepada wanita simpanan tersebut. Kerena testamen atau wasiat tersebut bertentangan dengan ketentuan pasal 913 BW, maka testaman itu tidak dapat di eksekusi. Disini yang di haruskan terjadi ialah ketiga anak tersebut harus mendapatkan warisan sesuai dangan pasal 914 BW tentang besarnya legitieme portie yang berhak di terima oleh ketiga anak tersebut, barulah sisanya kemudian dapat di wariskan kepada wanita simpanan tersebut.

Hukum Fakultatif

Hukum fakultatif adalah hukum yang mengatur, yang bisa di artikan juga sebagai hukum pelangkap yang artinya dalam keadaan kongkret, hukum tersebut dapat di kesampingkan oleh perjanjian yang diadakan oleh para pihak dan dengan kata lain ini merupakan hukum secara apiori tidaklah mengikat atau wajib di taati.
Sebagai contoh dalam pasal 119 KUH Perdata berbunyi:
”Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum, berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak di adakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh di tiadakan atau di ubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri”.
 (di kutip dari ”Dasar-Dasar Ilmu Hukum” Ishaq SH.M Hum).
Jadi, dalam hal ini sebenarnya kedua belah pihak dapat mengesampingkan peraturan ini, jika kedua belah pihak membuat persetujuan-persetujuan lain yang sekiranya dapat membuat kedunya saling menyepakati persetujuan atau perjanjian tersebut. misalnya dengan membuat harta mereka terpisah satu sama lain, atau sebagainya.

D. Hukum Substantif Dan Hukum Ajektif        
            Secara ensiklopedia dapat dijelaskan bahwa hukum substantif  adalah bagian dari hukum yang menciptakan dan mengatur difines, dan hukum ajektif adalah bagian dari hukum yang menyediakan  metode untuk mempertahankan atau ganti rugi atas invasiop mereka. Yang secara singkat dijelaskan oleh Zwarensteyn bahwa “substantive law regulates our rights and duties where ajective law regulaes the methods enforcing right and duties”[2] . Inti dari rumusan-rumusan tersebut di atas adalah pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum.
 Di dalam hukum substantif hal tersebut dirumuskan sedangkan hukum ajektif memberikan pedoman bagaimana penegakannya, atau mempertahankannya di dalam prakteknya, termasuk bagaimana mengatasi pelanggaran terhadap hak-hak dan kewajiban tersebut.
            Dari uraian di atas jelas kiranya bahwa pembedaan antara hukum substantif dan hukum ajektif terletak pada yang satu memberi petunjuk, bahkan penjabarannya dari yang lain, dalam hal ini substantif dijelaskan oleh ajektif, sehingga perumusannya adalah sebagai berikut :
Hukum substantif,
Hukum substantif adalah rangkaian kaidah yang merumuskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari subyek hukum yang terkait dalam hubungan hukum. Hukum substantif juga bisa berarti perundang-undangan atau hukum tertulis yang mengatur hak dan kewajiban orang-orang yang tunduk pada hukum tersebut. Hukum substantif mendefinisikan hubungan hukum seseorang dengan orang lain atau diantara mereka dengan Negara.
 Menurut pendapat lain hukum substantif atau hukum material adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan.
Contoh Hukum Substantif (Material) :
Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang dan lain-lain. Jika orang berbicara tentang Hukum Pidana, Hukum Perdata, maka yang dimaksudkan adalah Hukum Pidana Material dan Hukum Perdata Material.

Hukum ajektif
Hukum ajektif adalah serangkaian kaidah yang memberi petunjuk dengan jelas tentang bagaimana kaidah-kaidah materil dan hukum substantif ditegakan.
Hukum ajektif atau Hukum formal (Hukum Proses atau Hukum Acara), yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana bagaiman cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka Pengadilan dan bagaimana caranya Hakim memberikan putusan.
Contoh Hukum ajektif (Formal) :
Hukum Acara Pidana, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan Hukum Pidana Material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara-pidana ke muka Pengadilan Pidana dan bagaimana caranya hakim pidana memberikan putusan.
Hukum Acara Perdata, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Material atau peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara-perdata ke muka Pengadilan Perdata dan bagaimana caranya hakim perdata memberikan putusan.

E. Hukum Tertulis dan Tidak Tertulis
Hukum Tertulis
            Hukum yang dicantumkan dalam berbagai perundang-undangan. Hukum tertulis juga bisa diartikan dengan peraturan.
Hukum tertulis dibagi lagi dalam bagian yaitu, hukum tertulis yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan
a.       hukum tertulis yang dikodifikasikan artinya hukum tersebut dibukukan dalam lembaran Negara dan diundangkan atau diumumkan.
Contoh hukum tertulis yang dikodifikasikan, yaitu:
·         hukum pidana yang telah dikodifikasikan adalah kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tahun 1918
·         hukum sipil yang telah dikodifikasikan dalam kitab undang-undang hukum sipil (KUHD) pada tahun 1847
·         hukum dagang yang telah dikodifikasikan dalam kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) pada tahun 1847
b.      hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan
contoh hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan, yaitu:
·         peraturan undang-undang hak merek perdagangan
·         peraturan undang-undang hak oktroi/hak menemukan di bidang industry
·         peraturan undang-undang hak cipta
·         peraturan undang-undang hak ikatan perkreditan
kelebihan dan kekurangan hukum tertulis yang dikodifikasikan
v  kelebihan dari hukum tertulis yang dikodifikasikan adalah adanya kepastian hukum dan penyerdahanaan hukum serta kesatuan hukum.
v  kekurangan dari hukum tertulis yang dikodifikasikan adalah hukum tersebut bila dikonotasikan bergeraknya lambat atau tidak dapat mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju.


contoh hukum tertulis
·         KUHP (kitab undang-undang hukum pidana)
·         KUHPer (kitab undang-undang hukum perdata).

Hukum tidak Tertulis
Semua aturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh rakyat, karena mereka yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai hukum. Agar kebiasaan memiliki kekuatan yang berlaku dan sekaligus menjadi sumber hukum.
Maka syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu :
·         Harus ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulangkali dalam hal yang sama dan diikuti oleh orang banyak/ umum.
·         Harus ada keyakinan hukum dari orang-orang/ golongan-golongan yang berkepentingan. dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandung/ memuat hal-hal yang baik dan layak untuk diikuti/ ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat.
Contoh dari hukum tidak tertulis
·         Hukum adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada perundang-undangan tetapi dipatuhi oleh daerah tertentu
·         Hukum kebiasaan.



Kesimpulan
Maka keduanya adalah komplementer yang saling mengisi. Ini berarti pula bahwa hukum substantif adalah hukum materil, sedangkan  hukum ajektif adalah hukum formil.




























DAFTAR PUSAKA

Kelsens, Hans. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara. Bandung: Nusa Media, 2010.
Soeroso,R. SH. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
L.J. Van Apeldoorn Prof. Dr. Mr. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.
Purnadi Purbacaraka – Soerjono Soekanto,  Aneka Cara Pembedaan Hukum. Alumni, 1980.
Kansil, C.S.T. Drs. SH, Pengatar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.





[1] Hans kelsens. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, General Theory Of Law and               State(Bandung: Nusa Media, 2010),h. 68.
[2]DR. Soedjono Dirdjosisworo, S.H. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:Raja Grafindo Persada,h.204

Tidak ada komentar:

Posting Komentar