BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan
pendapat L.A Hart seorang filosuf positivis yang mendoktrinkan bahwa hukum
tidak akan berjalan tanpa perintah karena hakikat hukum itu adalah perintah,
dan hukum tidaklah berarti tanpa adanya suatu otoritas yang karenanya hukum
dipatuhi. Akan tetapi apabila kita melihat doktrin yang bersebrangan yaitu
mazhab sejarah, dimana perintah dan otoritas tidaklah selalu mutlak yang
karenanya hukum itu dipatuhi karena hakikat hukum itu adalah jiwa bangsa yang
mencerminkan kepribadian hukum negara tersebut. Sedangkan apabila kita menoleh
pendapat seorang fiosuf sekaligus sosiolog Amerika Lawrence M. Friedman dalam
bukunya Elment of a Legal System yang mengatakan konsepsi pembaharuan
hukum pidana sebagai suatu kebijakan untuk menanggulangi masalah korupsi harus
dilakukan sebagai suatu pembaharuan yang bersifat terhadap legal system
yang meliputi baik pembaharuan substansi hukum (legal substence),
struktur hukum (legal structure), maupun budaya hukum (legal
culture).[1]
Negara kita tidak perlu kebingungan untuk mengikuti doktrin yang
mana, agar pemberantasan korupsi di negara kita cepat hilang. Karena alangkah
lebih baik, kita sebagai negara berkembang yang sedang terjangkit virus korupsi
untuk menggabungkan ketiga doktrin tersebut, karena teori dan doktrin yang baik
harus diambil dan dielaborasikan dengan sistem yang sedang berjalan di negara
kita. Kita sebenarnya telah memiliki institusi yang khusus bergerak dalam
memberantas korupsi yaitu KPK dalam hal ini sebagai otoritas kewenangan dan legal
structure yang juga telah didukung dengan institusi lainnya, Mahkamah
Agung, Kepolisian, dan Kejaksaan sehingga terlaksana dan terjaminnya integritas
sistem yang baik. Sedangkan kita juga telah memiliki pengadilan khusus tipikor
yang dalam hal sebagai legal substence yang melakukan tugasnya sesuai
undang-undang dengan penunjang keadilannya seorang hakim yang dengan mandat
janjinya akan melakukan tugas dengan sebaik-baiknya.
Legal culture yang menuntut adanya suatu budaya hukum yang hidup di tengah
masyarakat, haruslah juga hidup di tengah-tengah penegak hukum, apalagi seorang
hakim yang ditangannyalah keadilan itu ditentukan. Seorang hakim khususnya
tipikor (yang dalam hal ini hakim karir dan hakim adhoc) haruslah
memiliki nilai integritas dan moral yang tinggi, karena pada hakikatnya jabatan
ini sangatlah sakral yang mereka telah di sumpah untuk melakukan tugasnya
dengan sebaik-baiknya sesuai prosedur hukum yang berlaku. Maka dalam tulisan
ini penulis hendak memaparkan bagaimana sebenarnya seorang hakim bersikap dalam
menjalankan tugasnya dan apa saja kewenangannya khususnya dalam hal menangani
tipikor (dalam hal ini hakim adhoc).
B.
Rumusan Masalah
A.
Terminologi
dan Problematika Korupsi.
B.
Prospektifitas
Pengadilan Tipikor.
C.
Kedudukan
Hakim Dalam Kekuasaan Kehakiman Ditinjau Dari Etika Berprofesi.
D.
Pengakuan
dan Eksistensi Hakim Adhoc Dalam Sistem Pengadilan Tipikor.
C. Metode Penelitian
Metode yang
digunakan dalam penyelesaian makalah ini adalah pendekatan kepustakaan, dengan
mempelajari buku-buku dan karya tulisan lainnya yang berkaitan dengan materi
makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Terminologi dan Problematika Korupsi
1.
Pengertian
Korupsi
Banyak para ahli yang mencoba
merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara
penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio.
Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere,
suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa itulah turun kebanyak bahasa Eropa
seperti corruption dan corrupt dalam bahasa Inggris, dan korruptie
dalam bahasa Belanda. Dengan demikian, dari bahasa Belanda inilah kata itu
turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi.[2] Sedangkan
Kartono memberi batasan korupsi sebagai
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan
gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi,
salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang
dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan
senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Menurut perspektif hukum, definisi
korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal
dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut,
korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal
tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan
sanksi pidana karena korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut
pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Kerugian
keuangan negara
b.
Suap-menyuap
c.
Penggelapan
dalam jabatan
d.
Pemerasan
e.
Perbuatan
curang
f.
Benturan
kepentingan dalam pengadaan
g.
Gratifikasi
Korupsi terjadi disebabkan adanya
penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai
demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak
saudara dan teman. Penelusuran terhadap
makna korupsi dengan mengungkapkan ciri-ciri korupsi itu sendiri seperti yang
ditulis Syed Hussien Alatas dapat membantu kita untuk memahami makna konseptual
dari korupsi. Syed Hussein Alatas mengungkapkan beberapa ciri dari korupsi,
yaitu:[3]
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah
begitu merajalela, dan begitu mendalam berurat berakar, sehingga
individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang berada dalam lingkungannya
tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka.
c.
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan
keuntungan timbal balik.
d.
Mereka
yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi
perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e.
Mereka
yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang
tegas, dan mereka yang mampu mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut.
f.
Setiap
tindakan korupsi mengandung penipuan.
g.
Setiap
bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
h.
Setiap
tindakan korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang
melakukan tindakan itu.
i.
Suatu
tindakan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam
tatanan masyarakat.
2.
Sebab-sebab Terjadinya Korupsi
Para pakar telah banyak dan
merumuskan penyebab-penyebab maraknya tindak pidana korupsi, diantaranya: Erry
R.Hardjapamekas, ia menyebutkan tingginya kasus korupsi di negeri ini
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:
a.
Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite
bangsa,
b.
Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil,
c.
Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan
hukum dan peraturan perundangan,
d.
Rendahnya integritas dan profesionalisme,
e.
Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga
perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan,
f.
Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan
lingkungan masyarakat, dan
g.
Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral
dan etika.
Sedangkan
menurut Goenawan Wanaradja, Salah satu penyebab yang paling utama dan sangat
mendasar terjadinya Korupsi di kalangan para Birokrat, adalah menyangkut
masalah keimanan, kejujuran, moral, dan etika sang Birokrat itu sendiri. Sementara itu Merican menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi
adalah sebagai berikut :
a.
Peninggalan
pemerintahan kolonial.
b.
Kemiskinan
dan ketidaksamaan.
c.
Gaji
yang rendah.
d.
Persepsi
yang populer.
e.
Pengaturan
yang bertele-tele.
f.
Pengetahuan
yang tidak cukup dari bidangnya.
3.
Akibat-akibat Korupsi
Berdasarkan pendapat para ahli, maka
kami dapat menyimpulkan akibat-akibat
korupsi adalah sebagai berikut :
1.
Tata
ekonomi distruktif seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap
perusahaan, gangguan penanaman modal.
2.
Tata
sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3.
Tata
politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri,
hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4.
Tata
administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, Hilangnya
keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan
pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah
merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya
tujuan nasional bersama seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945.
4. Langkah-langkah Pemberantasan Korupsi
Korupsi tidak dapat dibiarkan
berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau
dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan
menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah
dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu,
korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa
upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing
memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Penulis memberi saran penaggulangan
korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan
administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih
disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras,
kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh
mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial
ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi
harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat
lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak
pula. Karni Ilyas pernah mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu
sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi,
atau kerja paksa di area umum, atau di arak dengan dandanan yang memalukan,
karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi.
Persoalan korupsi beraneka ragam
cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula.
Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju
dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical
problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono
menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
a.
Adanya
kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol
sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
b.
Menanamkan
aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
c.
Para
pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
d.
Adanya
sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
e.
Reorganisasi
dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah
departemen, beserta jabatan dibawahnya.
f.
Adanya
sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
g.
Adanya
kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi
pemerintah.
h.
Menciptakan
aparatur pemerintah yang jujur.
i.
Sistem
budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis
tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
j.
Re-registrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok
dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Berdasarkan pendapat para ahli
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah
sebagai berikut :
a.
Membangun
dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun
swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan
atau milik negara.
b.
Mengusahakan
perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan
kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan
wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan
yang diberikan oleh wewenangnya.
c.
Menumbuhkan
kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan.
Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan
tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
d.
Bahwa
teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan
pandangan, penilaian dan kebijakan.
e.
Menumbuhkan
pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan
peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
f.
Hal
yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belonging
ness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan
tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha
berbuat yang terbaik.
B. Prospektifitas Pengadilan Tipikor
Tindak pidana korupsi telah
menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara. Sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa. Selain itu, upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara
terus-menerus dan berkesinambungan serta perlu didukung dengan berbagai sumber
daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya seperti peningkatan
kapasitas kelembagaan serta peningkatan penegakan hukum guna menumbuhkan
kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang antikorupsi. Salah satu sumber daya
lainnya yang sangat esensial keberadaannya demi efektifnya upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah pengadilan tindak pidana korupsi
(Pengadilan Tipikor).
Pada tahun 2002, pemerintah
menerbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (disingkat KPK) yang mana ketentuan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002
tersebut mangamanatkan pembentukan Pengadilan Tipikor guna mendukung kinerja
KPK. Sejak saat itu, setiap perkara tipikor yang ditangani oleh KPK dilimpahkan
proses peradilaannya ke pengadilan tipikor tersebut. Namun belum empat tahun
berkerja, eksistensi pengadilan tipikor tersebut dibekukan oleh Mahkamah
Kostitusi (MK) pada akhir 2006. Berdasarkan Putusan Nomor:
012-016-019/PUU-IV/2006, tanggal 19 Desember 2006, MK menyatakan keberadaan
pengadilan tipikor – yang dasar pembentukannya ditentukan dalam pasal 53 UU No.
30 Tahun 2002 – dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sehinggga perlu diatur kembali Pengadilan Tipikor dengan
Undang-Undang yang baru.
MK membubarkan pengadilan tipikor
dengan membatalkan pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal itu sendiri
mengatur tentang pembentukan pengadilan tipikor yang bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK.
Alasannya, “kekhususan” pengadilan tipikor menyebabkan dualisme pengadilan
dalam satu lingkup peradilan, sehingga memberi legitimasi standar ganda dalam
pemberantasan korupsi. Mahkamah Konstitusi memberikan tenggang waktu 3 tahun
untuk merubah pengadilan tipikor yang berstandar ganda tersebut.[4]
Putusan MK tersebut pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan pasal 24A ayat (5)
UUD 1945 dan pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam
salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan Undang-Undang
tersendiri.
Pascaputusan MK tersebut, keberadaan
undang-undang khusu tentang pengadilan tipikor menjadi sebuah keniscayaan.
Untungnya, putusan MK itu tidak berlaku serta merta. MK memberi tenggang waktu
3 tahun kepada pemerintah RI dan DPR RI untuk membuat sebuah undang-undang yang
mengatur tentang pengadilan tindak pidana korupsi tersebut. Jika sampai 2009
pengadilan tipikor tidak terbentuk, konsekuensinya perkara-perkara tipikor akan
kembali diperiksa dipengadilan negeri. Rupanya batas waktu tiga tahun yang
ditetapkan MK berhasil dipenuhi penyelenggara negara, yang ditandai oleh
pengesahan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada 29 oktober 2009.
Banyak hal krusial yang terdapat didalamnya, yaitu antara lain tentang hakim
pengadilan tipikor, hukum acara pengadilan tipikor, kedudukan pengadilan
tipikor, dan ruang ligkup wewenang pengadilan tipikor.[5]
Akan tetapi penulis hanya akan membahas perihal hakim pengadilan tipikor dan
kedudukan pengadilan tipikor.
Sesuai dengan Pasal 2, 3, dan 4
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi:
Pasal
2
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
Peradilan Umum.
Pasal
3
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pasal
4
Khusus
untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum
pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pengadilan Tindak Pidana korupsi
adalah sah kedudukannya sebagai pengadilan khusus yang berada di bawah
lingkungan peradilan umum, sedangkan dalam bagian penjelasan umum UU No. 46
Tahun 2009 dinyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di setiap
Ibu Kota kabupaten/Kota yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat
ketersediaan sarana dan prasarana. Namun untuk pertama kali, berdasarkan undang-undang
ini pembentukan pengadilan tipikor dilakukan pada setiap Ibu Koota Provinsi.
Legalitas kekhususan pengadilan yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara tindak pidana korupsi telah tertulis dan diperkuat dengan ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 27 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi:
1.
Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
2.
Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.
Pengadilan Tipikor juga memiliki
kekhususan yang terletak pada hukum acaranya yang juga memiliki kekhususan
tersendiri. Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan
pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Pasal 25 UU No.
46 Tahun 2009. Dalam bagain penjelasan
disebutkan yang dimaksud dengan hukum acara pidana yang berlaku adalah UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 14 Tahun 1985
jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Akan tetapi mengenai mekanisme
pengadilan tipikor tetap sesuai dengan apa yang tertera di KUHAP, yaitu
meliputi pemeriksaan pendahuluan, penuntutan, dan pemerikasaan akhir. Sedangkan
mengenai prisip umum pengadilan tipikor relatif sama dengan yang diatur dalam
KUHAP, yakni independen dan tidak memihak, sederhana dan cepat, transparan dan
akuntabel.[6]
C. Kedudukan Hakim Dalam Kekuasaan Kehakiman Ditinjau Dari Etika Berprofesi
Undang-Undang
Dasar Negara Repubilik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari ketentuan yang
tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah segala bentuk yang berkaitan
dengan menjalankan tujuan negara Indonesia harus berlandaskan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan negara sebagai negara
hukum, maka dalam mencapai sasarannya, perlu dibentuk sebuah lembaga peradilan
yang mempunyai tugas menegakkan hukum di bumi Nusantara ini. Dalam perkembangan
ketatanegaraan kita, Undang-Undang yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman
telah mengalami beberapa kali perubahan yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang diubah dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 mengenai
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sejalan
dengan perubahan tersebut, Indonesia telah resmi memiliki Mahkamah Konstitusi
yaitu dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagai pelaksana
terhadap Undang-Undang Dasar Pasal 24 Ayat (2) Yang berbunyi: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Sebenarnya
apabila kita melihat dan membaca dengan seksama Undang-Undang Dasar Pasal 24
mengenai Kekuasaan Kehakiman, jelas terlihat adanya tumpang tindih kewenangan
antara Mahkamah Agung dan Mahkmah Konsitusi yakni terhadap Pasal 24A Ayat (1)
dan Pasal 24C Ayat (1). Dimana sebenarnya awal dari maksud pembentukan Mahkamah
Konsititusi adalah untuk melindungi produk hukum yakni undang-undang dan
peraturan perundang-undangan dibawahnya yang dihasilkan DPR agar tidak
berbenturan dengan konstitusi kita dengan dapat mengujinya. Akan tetapi disisi
lain Mahkamah Agung masih memiliki kewenangan untuk hal itu yakni menguji
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, yang
seharusnya hal ini menjadi kewenangan mutlak dari Mahkamah Konstitusi. Maka
untuk kedepannya, khususnya ketiga hendak diadakan amandemen kelima Pasal yang
mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman harap ditinjau kembali agar jelas
kedudukan kewenangan antara dua lembaga tinggi ini, agar terciptanya check
and balancies yang baik diantar keduanya.
Akan
tetapi terlepas akan hal itu, disisi lain kita dapat melihat bagaimana
seharusnya kriteria seorang hakim agung dan hakim konstitusi, yang menurut
Undang-Undang Dasar Pasal 24A Ayat (2): Hakim Agung harus memiliki
intregitas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional. Dan
berpengalaman di bidang hukum. Dan juga Undang-Undang Dasar Pasal 24C Ayat
(5): Hakim Konstitusi harus memiliki Intregitas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta
tidak merangkap sebagai pejabat negara. Sehingga dengan berpedoman terhadap
kedua pasal tersebut, jelas bahwa seorang hakim agung dan hakim konstitusi
haruslah memenuhi kriteria-kriteria
tersebut bukan hanya ketika diadakan seleksi didepan panitia seleksi dan ketika
diadakannya wawancara tes kemampuan di depan anggota DPR, akan tetapi jauh dari
itu mereka harus menjaga kriteria tersebut dan konsisten selama mereka memangku
jabatan tersebut sehingga jangan sampai terulang lagi kasus yang menimpa hakim
agung yang menerima suap terulang kembali, yang mana hal ini tentu saja
mencoreng nama baik institusi kehakiman, mengikis kepercayaan masyarakat para
pencari keadilan dan telah melanggar janji suci seorang hakim agung dan hakim
konstitusi.
Kita sebagai
pencari keadilan menginginkan akan kemerdekaan dan strelilnya lembaga Mahkmah
Agung ini, karena sesungguhnya ketika kemerdekaan dan strelilnya institusi ini
dipertanyakan maka hal ini juga pastinya akan berdampak sistemik terhadap
jajaran lembaga peradilannya dibawahnya, karena sesungguhnya Mahkamah Agung
adalah benteng terakhir bagi mereka pencari keadilan. Dengan demikian hakim
agung dalam melaksanakn tugasnya harus sesuai prosedur dan rambu-rambu
kewenangan yang telah diatur oleh Undang-Undang, karena bila melanggar maka
seorang hakim agung dapat diberhentikan secara tidak hormat, sesuai dengan apa
yang diatur dalam Pasal 12 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
berbunyi: Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh presiden selaku Kepala
Negara atas usul Mahkamah Agung dengan alasan: (a) dipidana karena melakukan
tindak pidana kejahatan; (b) melakukan perbuatan tercela; (c) terus menerus
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas kerjanya; (d) melanggar sumpah
janji jabatan; (e) melanggar larangan yang dimaksud Pasal (10).
Sedangkan mengenai
lembaga peradilan dibawahnya, jelas dengan demikian para hakim diluar hakim
agung juga tidak jauh beda mengenai kode etik yang harus mereka jalankan, yakni
dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan prosedur dan rambu-rambu
kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang. Dimana mereka harus menepati janji
suci mereka sebagai seorang hakim, bertanggung jawab atas tugasnya terhadap
Negara dan Tuhan yang Maha Esa, dan menjalankan amanat mandat ini dengan
sebaik-baiknya dan seksama, dan harus bebas dari campur tangan pihak kekuasaan
negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktif dan rekomendasi yang
datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh
undang-undang. Dengan demikian, jelas bahwa seorang hakim dalam menjalankan
tugasnya harus bebas dan merdeka namun tetap berada dalam rambu-rambu
kewenangannya. Sedangkan mengenai kewenangnan dalam menjatuhkan putusan
tidaklah mutlak sifatnya harus sesuai undang-undang, karena hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat berdasarkan Pancasila dengan jalan
menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi
landasannya melalui perkara-perkara yang dihadapinya, sehingga putusannya
mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Seorang hakim
sesungguhnya dalam menjalankan tugasnya dalam keseharian sudah diawasi oleh
lambang kedinasaan yang tertera di setiap dada sebelah kiri seorang hakim.
Lambang atau logo tersebut terpampang dalam sebuah lencana yang berbentuk
lonjong yang di dalamnya terdapat simbol-simbol yang memiliki makna
masing-masing. Untuk lebih memaknainya, akan diuraikan secara tuntas sebagai
berikut:[7]
1.
KARTIKA (Bintang yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa) : bahwa
seorang hakim harus Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab.
2.
CAKRA (Senjata ampuh dari dewi keadilan yang mampu memusnahkan segala
kebatilan, kezaliman, dan ketidakadilan) : bahwa seorang hakim harus Adil,
dalam kedinasan seorang hakim harus adil, tidak berprasangka atau berat sebelah
(memihak), bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutus
berdasarkan keyakinan hati nurani, sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Sedangkan diluar kedinasan seorang hakim harus saling menghargai, berprilalu
baik, tertib, dan lugas, dan berpandangan luas dan saling pengertian.
3.
CANDRA (Bulan menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerangan
dalam kegelapan): bahwa seorang hakim harus Bijaksana/Berwibawa,
dalam kedinasan seorang hakim harus berkepribadian baik, bijaksana, berilmu,
sabar, tegas, disiplin, dan penuh pengabdian terhadap pekerjaan. Sedangkan
diluar kedinasan seorang hakim dituntut untuk dapat dipercaya, penuh rasa
tanggung jawab, menumbuhkan rasa hormat, dan anggun dan berwibawa.
4.
SARI (Bunga yang merebak wangi mengharumkan kehidupan masyarakat):
bahwa seorang hakim harus Berbudi Luhur/Berkelakuan Tidak Tercela, dalam
kedinasan seorang hakim harus tawakkal, sopan, ingin meningkatkan pengabdian
dalam tugas, bersemangat ingin maju meningkatkan nilai peradilan, dan tenggang
rasa.
5.
TIRTA (Air yang membersihkan segala kotoran di dunia) : bahwa
seorang hakim harus Jujur, dalam kedinasaan dia harus jujur, merdeka
(tidak berpihak dan dan berdiri netral sesuai kepentingan semua pihak), bebas
dari pengaruh siapa pun juga. Sedangkan diluar kedinasan seorang hakim harus
jujur dalam berprilaku dan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan
kedudukan.
Dengan tetap berpedoman kepada
aturan hukum yang berlaku, paling tidak seorang hakim harus memiliki sikap yang
luhur dan baik terhadap sesama rekan, atasan, bawahan/pegawai, institusi lain,
keluarga, dan masyarakat tentunya. Senada akan hal itu, seorang hakim harus
memiliki peran yang diwarnai oleh tiga syarat, yaitu:[8]
1.
Tangguh,
tangguh menghadapi keadaan dan kuat mental.
2.
Terampil,
artinya mengetahui dan menguasai segala peraturan perundang-undangan yang sudah
ada dan masih berlaku yang terkait.
3.
Tanggap,
artinya penyelesaian pemeriksaan perkara harus dilakukan dengan cepat, benar,
serta menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat.
D. Pengakuan dan Eksistensi Hakim Adhoc
Dalam Sistem Peradilan Tipikor
Berbicara mengenai tindak pidana korupsi (selanjutnya disebut
Tipikor) untuk sekarang ini adalah perihal yang sedang hangat dibicarakan,
apalagi ketika jilid ketiga KPK bergulir dengan segala sepak terjangnya telah
memasukkan sedikit demi sedikit para penjahat white collar crime ke dalam jeruji
besi, sebut saja seperti Nazaruddin eks Bendahara Umum DPP Demokrat, Gayus
Tambunan eks pegawai pajak, Angelina Sondakh eks Anggota DPR dan lain
sebagainya. Giatnya KPK dalam memberantas korupsi tidaklah segampang membalikan
telapak tangan, tinjauan dan respon publik yang beraneka ragam dari yang itu
bersifat masukan, kritikan, hingga hinaan tidaklah mengurangi semangat lembaga
ini dalam memberantas korupsi, akan tetapi hal-hal tersebut seakan menjadi
cambukan keras bagi mereka untuk selalu memberikan yang terbaik untuk Negeri
yang dicintainya.
Demikian halnya ketika mereka
menjadi pihak JPU KPK (Jaksa Penuntut Umum KPK) yang mana selalu dipandang oleh
publik selalu terkesan setingan Pengadilan Tipikor dengan Mejelis Hakim
sehingga publik memandang tidak merdeka dan bebasnya seorang Hakim Pengadilan
Tipikor. Sehingga terkesan para tersangka selalu sudah dianggap sebagai
terpidana, karena kemenangan selalu berpihak pada JPU KPK. Untuk mendapatkan
Kondisi yang lebih objektif tersebut, maka
memerlukan penanganan secara khusus yaitu bantuan tenaga hakim adhoc
(non-karir) disamping hakim karir. Diharapkan dengan keberadaan hakim adhoc,
pengadilan tipikor dapat menyelesaikan perkara tipikor yang melibatkan
penyelenggara Negara dan diharapkan dapat mengikis dan menghilangkan kecurigaan
bahwa dalam perkara tipikor Majelis Hakim kurang objektif dan selalu memenangkan pihak
JPU KPK dan merugikan kepentingan terdakwa. Disamping keberadaan hakim adhoc
untuk menciptakan sistem peradilan tipikor yang merdeka dan bebas serta untuk
menghilangkan kondisi penilaian objektif berlebihan, keberadaannya sangatlah
diperlukan mengingat maraknya tipikor yang memiskinkan negara, sehingga diperlukan
jabatan hakim yang lebih banyak dan memiliki kredibilitas baik dimasyarakat
untuk menyeimbangkan perluasan kewenganan pengadian tipikor di daerah-daerah
luar Jabodetabek.
Sebelum
melangkah lebih jauh, hendaknya kita dapat memahami apa perbedaan antara hakim
karir dan hakim adhoc. Dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Ayat 1-3 dijelaskan mengenai definisi
Hakim yang berbunyi:
1. Hakim adalah Hakim Karir dan Hakim Adhoc.
2. Hakim Karier adalah hakim pada
pengadilan negeri, pengadilan
tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai
hakim tindak pidana korupsi.
3. Hakim ad hoc adalah seseorang yang
diangkat berdasarkan
persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana
korupsi.
Sedangkan mengenai pengangkatan,
masa jabatan dan syarat-syarat menjadi Hakim Pengadilan Tipikor, telah
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Pasal 10-11 yang berbunyi:
1. Dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana
korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan
tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim
Karier dan Hakim ad hoc.
2.
Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan keputusan Ketua
Mahkamah Agung.
3.
Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
selama menangani perkara tindak pidana korupsi dibebaskan dari tugasnya untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain.
4.
Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan
tinggi, dan pada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
5.
Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat
untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Dan bunyi
Pasal 11 adalah sebagai berikut:
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Karier, calon harus memenuhi
persyaratan sebagai
berikut:
a. Berpengalaman
menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama
10 (sepuluh) tahun;
b. Berpengalaman
menangani perkara pidana;
c. Jujur, adil,
cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi
serta reputasi yang baik selama menjalankan tugas;
d. Tidak pernah
dijatuhi hukuman disiplin dan/atau terlibat dalam
perkara pidana;
e. Memiliki
sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi
yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung; dan
f.
Telah
melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sedangkan
bunyi Pasal 12 adalah sebagai berikut:
Untuk
dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, calon harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
Warga
negara Republik Indonesia;
b.
Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
Sehat
jasmani dan rohani;
d.
Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di
bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 (lima belas) tahun untuk Hakim ad hoc
pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 20 (dua puluh)
tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung;
e.
Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses
pemilihan untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan
pengadilan tinggi, dan 50 (lima puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah
Agung;
f.
Tidak
pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
g.
Jujur,
adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi
serta reputasi yang baik;
h.
Tidak
menjadi pengurus dan anggota partai politik;
i.
Melaporkan
harta kekayaannya;
j.
Bersedia
mengikuti pelatihan sebagai Hakim tindak pidana korupsi;
dan
k.
Bersedia
melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain
selama menjadi Hakim ad hoc tindak pidana korupsi.
Dengan memperhatikan bunyi-bunyi pasal
diatas, jelas kita dapat memahami bahwa tidak terdapat perbedaan yang principal
antara syarat-syarat hakim karir dan hakim adhoc. Karena pada
hakekatnya, keberadaan hakim adhoc sangatlah diperlukan mengingat
kompleksitas perkara tipikor, baik yang menyangkut modus operandi,
pembuktian, maupun luasnya cakupan tipikor antara lain di bidang keuangan dan
perbankan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah.[9]
Sehingga demikian, Panitia Seleksi Mahkamah Agung dalam penyeleksian hakim
adhoc lebih menitik beratkan pada mereka yang tidak hanya berpendidikan
hukum pidana, namun lebih dari itu kepada mereka yang berpengalaman dalam
bidang hukum perekonomian, pembuktian, hukum adminsitrasi Negara, dan hukum
pajak. Hakim adhoc sangatlah dibutuhkan karena kurangnya pengalaman
hakim-hakim karir apabila menghadapi kasus yang terlalu kompleks, sehingga
membutuhkan pengetahuan yang ekstra diluar ilmu hukum.
Dengan
demikian Ketua Pengadilan akan memilih hakim adhoc berdasarkan daftar
nama hakim adhoc yang disesuaikan dengan keahlian hakim adhoc
tersebut. Jadi ada daftar registrasi hakim adhoc spesialisasi yang
ditentukan berdasarkan keahliannya, misalnya perkara tindak pidana korupsi yang
berkaitan dengan perpajakan, maka Ketua Pengadilan akan menetapkan hakim adhoc
spesialisasi dari daftar hakim adhoc yang ahli perpajakan, dan seterusnya.[10]
Yang juga menjadi isu pokok pembahasan, adalah mengenai komposisi Majelis Hakim
dalam persidangan, yang seharusnya menurut penulis akan lebih baik apabila
Ketua Pengadilan dalam menentukannya harus sesuai prosedur yang proporsional
dan komposisinya sesuai dengan kepentingan pemeriksaan perkara untuk
menghindari dikotomi proses dan integritas antara hakim karir dan hakim adhoc.
Sedangakan mengenai kewenangan hakim adhoc tidaklah beda dengan hakim karir,
karena pada dasarnya dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan hakim adalah hakim karir dan hakim adhoc
sehingga keduanya tidak memiliki kewenangan yang berbeda, hal ini dipertegas
dalam kewenangannya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana
korupsi dalam pasal 6 yang berbunyi: Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:
a.
Tindak
pidana korupsi;
b.
Tindak
pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah
tindak pidana korupsi; dan/atau
c.
Tindak
pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain
ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Dan pasal 7 yang berbunyi:
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat juga berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang dilakukan oleh warga negara Indonesia
di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Selain memiliki
kewenangan memerikasa, mengadili, dan memutus perkara tidak pidana korupsi,
hakim adhoc juga memiliki kewenangan memeriksa perkara tidak pidana pencucian
uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Jadi disini korupsi sebagai tindak pidana
asal yang sering disebut sebagai predicate crimes. Tak kalah pentingnya
bahwa peran dan kewenangan hakim adhoc spesialisasi dalam kaitan pasal 6 huruf
c kewenanan pengadilan tipikor untuk menangani tindak yang secara tegas dalam
undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. Mengingat peran
hakim karir yang cukup besar dan hakim adhoc merupakan penunjang peran
pengadilan tipikor, karenanya hakim adhoc diwajibkan mengikuti pendidikan
khusus tipikor sebagai hakim adhoc yang bersertifikasi. Mahkamah Agung sudang
memberikan jawaban antisipasinya berupa keberadaan hakim karir bersertifikasi
dengan mengadakan pendidikan tindak pidana korupsi.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
keberadaan hakim adhoc adalah
untuk menciptakan sistem peradilan tipikor yang merdeka dan bebas serta untuk
menghilangkan kondisi penilaian objektif berlebihan, keberadaannya sangatlah
diperlukan mengingat maraknya tipikor yang memiskinkan negara, sehingga
diperlukan jabatan hakim yang lebih banyak dan memiliki kredibilitas baik
dimasyarakat untuk menyeimbangkan perluasan kewenganan pengadian tipikor di
daerah-daerah luar Jabodetabek. Dengan demikan keberadaan hakim adhoc
sangatlah diperlukan mengingat kompleksitas perkara tipikor, baik yang
menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tipikor
antara lain di bidang keuangan dan perbankan, pasar modal, pengadaan barang dan
jasa pemerintah.
Dan berkaitan dengan kompleksitas
tipikor, dapat kita simpulkan bahwa penyebab-penyebab terjadinya wabah penyakit
mental (korupsi) tersebut adalah:
1.
Gaji
yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,
2.
administrasi
yang lamban dan sebagainya.
3.
Warisan
pemerintahan kolonial yang buruk
4.
Sikap
mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak
5.
Tidak
ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang
6.
dilakukan
oleh pejabat pemerintah.
7.
Kemiskinan
dan tidak meratanya kesejahteraan.
8.
Melemahnya
keimanan, moralitas dan rasa malu.
9.
Tidak
berani berkata jujur, dan lebih memilih diam.
Yang kesemuanya
itu dapat terjadi dengan kita, maka ini bukan hanya tugas seorang penegak hukum
atau institusi penegak hukum, namun ini adalah tugas kita bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Alatas, Syed Husein, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan
Dengan Data Kontemporer, Jakarta:
LP3ES, 1983
Adji, Idriyanto Seni, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Diadit
Media, 2009
Danil, elwi, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan
Pemberantasannya, Jakarta: Rajawali
Press, 2011
Friedman, Lawrence M., Element Of a Legal System, New York
London: W.W Norton & Company, 1984
Syamsudiin, Aziz, Tindak PIdana Khusus, Jakarta:
Sinar Grafika, 2009
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar