A. Pengertian Agraria dan Hukum
Agraria
Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lainnya. Dalam bahasa latin kata agraria berasal dari
kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau
sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan
perladangan, persawahan, pertanian[1].
Dalam terminologi bahasa indonesia agraria berarti urusan tanah pertanian,
perkebunan, sedangkan dalam bahasa inggris kata agraria diartikan agrarian yang
selalu berarti tanah dan selalu dihubungkan dengan pertanian. Pengertian
agrarian ini, sama sebetulnya dengan agrarian laws bahkan sering kali
digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang bertujuan
mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan
penguasaan dan pemilikan tanah[2].
Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminologi bahasa
sebagaimana di atas, pengertian agraria dapat pula ditemukan dalam undang-undang
pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca konsiderans dan
pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri. Oleh karena itu
pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti dan makna yang sangat luas.
Pengertian agraria meliputi bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya (pasal 1 ayat (2)). Sementara itu pengertian bumi
meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang
berada di bawah air (pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat (1)).
Boedi Harsono memasukkan bumi meliputi apa yang dikenal dengan
sebutan Landas Kontinen Indonesia (LKI). Landasan Kontinen Indonesia merupakan
dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di luas perairan wilayah Republik
Indonesia yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Prp 1960 sampai ke dalam
200 meter atau lebih, di mana masih mungkin diselenggarakan eksploitasi dan
eksplorasi kekayaan alam. Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam
di landasan kontinen Indonesia tersebut ada pada negara RI (Undang-Undang Nomor
1 tahun 1937 (LN 1937-1, TLN 2994).
Lebih jauh Boedi Harsono mengatakan bahwa pengertian air meliputi
baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (pasal 1 ayat (5)). Dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang pengairan (yang diubah dengan dengan
UU Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air) telah diatur pengertian air
yang tidak termasuk dalam arti yang
seluas itu. Hal ini meliputi air yang terdapat di dalam dan atapun yang berasal
dari sumber air, baik yang terdapat di atas muupun di bawah permukaan tanah,
tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut (pasal 1 angka 3)[3].
Berkaitan degan pengertian air tersebut, dalam UUPA diatur pula mengenai pengertian kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, termasuk di dalamnya bahan galian, mineral biji-bijian
dan segala macam batuan, termasuk batu-batuan mulia yang merupakan
endapan-endapan alam (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pertambangan ). Untuk pengertian mengenai kekayaan
alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan semua kekayaan yang berada di
dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia (UU Nomor 8 Tahun 1985
tentang perikanan jo. UU Nomor 31 Tahun 2004). Pada tahun 1983 hak atas
kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi dan air terwujud dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini diatur hak berdaulat untuk
melakukan eksploitasi dan eksplorasi dan lain-lainnya atas sumber daya alam
hayati dan nonhayati yang terdapat di dasar laut serta tubuh bumi di bawahnya
dan air di atasnya.
Sebutan agraria dalam arti yang
demikian luasnya, Maka dalam pengertian UUPA Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu
perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidag
hukum. Yang masing-masing mengatur hak-hak penguasan atas sumber-sumber daya
alam tertentu. Sedangkan di lingkungan administrasi pemerintahan sebutan
agraria dipakai dengan arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian.
Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan Administrasi
Pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-perundangan yang
memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya
dibidang pertanahan. Adanya Badan Pertanahan Nasional semenjak Keputusan
Presiden No 26 tahun 1988 yang sebagai lembaga pemerintah Non Departemen
bertugas membantu administrasi pertanahan, adapun penggunaan adminstrasi
pertanahan tidaklah mengurangi lingkup pengertian agraria karena meliputi baik
tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air, baik daratan maupun air
laut.
Hukum agraria memberi lebih banyak
keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai
hubungan pula dengannya, tetapi tidak selalu mengenai tanah. Karena
luasnya cakupan pembahasan Hukum Agraria maka pendapat beberapa pakar pun
berbeda-beda diantaranya, Subekti dan Tjitro
Subono menjelaskan bahwa “hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan
hukumperdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara
orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan
mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut , misalnya jual
beli tanah, sewa menyewa tanah” [4].
Menurut Lemaire “hukum agraria sebagai suatu kelompok hukum yang bulat
meliputi bagian hukum privat maupun bagian hukum tata negara dan hukum
administrasi negara”. S.J. Fockema Andreae merumuskan Agrarische Recht
sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah
pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum
pemerintahan) yang disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi
tertentu.
B.
Ruang Lingkup
Agraria dan Hukum Agraria
Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber
daya agraria/sumber daya alam menurut ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang
pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Ruang lingkup
agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan
sebagai berikut[5]:
1.
Bumi
Pengertian bumi menurut pasal 1 ayat
(4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang
berada di bawah air. Permukaan menurut pasal 4 ayat (1) UUPA adalah tanah.
2.
Air
Pengertian air meneurut pasal 1 ayat
(5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada
dilaut wilayah Indonesia. Dalam pasal 1 angka3 Undang-uandang No. 11 tahun 1974
tentang pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat
di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat diatas
maupun dibawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat dilaut.
3.
Ruang angkasa
Pengertian ruang angaksa menurut
pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang
diatas air wilayah Indonesia. Pengertia ruang angkasa menurut pasal 48 UUPA,
ruang diatas bumi dan air yang mengadung tenaga dan unsur-unsur yang dapat
digunakan utnuk usaha-usaha memelihara dan mempterkembangkan kesuburuan bumi,
air, serta kekayaan alam yang terkanding di dalamnya da hal-hal yang
bersangkutan dengan itu.
4.
Kekayaan alam yang terkandung
didalamnya
Kekayaan alam yang terkandung
didalam bumi disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral,
biji-biji, dan segala macam batua,
termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapat-endapan alam (undang-undang
No. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan). Kekayaan
alam yang terkandung di air adalah ikan dan m perairan pedalaman dan laut di wilayah
Indonesia (Undang-undang No. 9 tahun 1985 tentang perikanan).
Dalam hubungan
dengan kekayaan alam didalam tubuh bumi dan air tersebut perlu dimaklumi adanya
pengertian dan lembaga Zona Ekonomi Eksklusif, yang meliputi jalur peraiaran
dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah
Indonesia. Dalam Zona Ekonomi Ekslusif ini hak berdaulat unutk melakukan
eksplorasi, eksploitasi, dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam hayati
dan non hayati yang terdapat di dasar laut seta tubuh bumi dibawahnya dan air
diatasnya, ada pada Negara Republik Indonesia Undang-Undang No 5 tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Hukum Agraria bukan
hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Sebagaimana yang tercantum dalam
UUPA, Hukum Agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang
masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu
yang termasuk dalam pengertian agraria diatas. Kelompok tersebut terdiri atas:
1.
Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan tanah
2.
Hukum Air, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas air.\
3.
Hukum Pertambangan yang mengatur
hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galaian yang dimaksudkan oleh UU Pokok
pertambangan.
4.
Hukum Perikanan, yang mengatur
penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
5.
Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan
Unsur-Unsur Dalam Ruang Ankasa (bukan “Space Law”), mengatur
hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang
dimaksudkan oleh pasal 48 UUPA.[6]
C.
Sejarah Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia
1. Sebelum Kemerdekaan
Sebelum kemerdekaan,
hukum Agraria di Indonesia bersumber pada hukum adat yang
berkonsepsi “komunalistik religius”,
ada yang bersumber pada hukum Perdata Barat yang bersifat
individualistik-liberal sebagai akibat dari hukum yang di bawah
oleh bangsa kolonial ke Indonesia sehingga sering dikenal dengan Hukum
Agraria Kolonial. Selain itu ada pula yang
berasal dari berbagai bekas peraturan pemerintahan swapraja yang
umumnya berkonsepsi feodal. Hampir seluruhnya terdiri atas
peraturan-peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan
hukum bagi pemerintah jajahan dalam melaksanakan politik agrarianya yang
dituangkan dalam Agrarische Wet. Agrarische Wet adalah suatu
undang-undang (yang dalam Bahasa Belanda kata “Wet” berarti
undang-undang) yang dibuat di Negeri Belanda pada tahun 1870.[7]
Hukum dan
kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senantiasa diorientasikan
pada kepentingan dan keuntungan mereka sebagai penjajah, yang pada awalnya
melalui politik dagang. Mereka sebagai penguasa sekaligus merangkap sebagai
pengusaha meciptakan kepentingan kepentingan-kepentingan atas segala
sumber-sumber kehidupan di bumi Indonesia yang menguntungkan mereka sendiri
sesuai dengan tujuan mereka dengan mengorbankan banyak kepentingan rakyat
Indonesia.
Hal ini
menyebabkan hukum agraria bersifat Dualisme, karena selain berlakunya hukum perdata barat yang
diberlakukan bagi golongan Eropa dan Timur asing Tionghoa (hanya mengenai hukum
kekayaan dan hukum waris testamentair), juga berlaku hukum adat yang sebagian
besar tidak tertulis yang diberlakukan bagi golongan pribumi (Indonesia
asli).Sehingga adapun hubungan-hubungan hukum antara
orang Indonesia asli dengan orang-orang
bukan Indonesia asli diselesaikan dengan menggunakan hukum Antar
Golongan (HAG). Secara politik hukum agraria kolonial terlihat selalu sepihak
dan selalu merugikan rakyat Indonesia karena dari segi perangkat hukum dan
pendaftaran tanah memiliki tujuan
politik yang sangat merugikan, hal ini terlihat jelas dari tujuan politik yang
dijelmakan dalam Agrarische Wet, yaitu:
Memberikan
kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas dari
Pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang sewa yang murah. DI samping
itu untuk memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atau mendapatkan
hak pakai atas tanah langung dari orang Bumi Putera, menurut
peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan Ordinasi. Maksudnya adalah
kemungkinan berkembangnya perusahaan pertanian swasta asing.[8]
2. Sejak Merdeka Sampai Berlakunya UUPA
Sejak Indonesia merdeka
pada tanggal 17 Agustus 1945, dirasa bahwa hukum Agraria lama tidak
dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia
sementara itu, banyak sekali persoalan
yang dihadapi yang harus segera diselesaikan dan tidak dapat ditangguhkan.
Oleh karena
itu untuk mencegah adanya kekosongan hukum maka diberlakukan pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, yaitu “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru berdasarkan Undang-Undang
Dasar ini”. Berdasarkan Pasal II Aturan peralihan UUD 1945, Badan negara dan
peraturan tentang agraria yang berlaku pada masa pemerintahan kolonial
dinyatakan masih berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. (2)
Dan masih
berlakunya hukum adat di masyarakat, berlaku juga hukum Peradata Barat
yang bersifat diskriminasi terhadap masyarakat Indonesia asli,
yaitu hukum Perdata Barat inilah yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur
asing Tionghoa dan tidak dapat memberikan jawaban bagi semua permasalahan
yang berkaitan dengan pertanahan. Sehingga hal ini yang mendorong lahirnya RUU
tentang hukum agraria yang kemudian pada tanggal 24
September 1960 disahkan oleh Presiden Soekarno atas
persetujuan dari DPR Gotong-royong menjadi UU no.5 tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Sejak
berlakunya UUPA terjadi perubahan yang Fundamental pada
hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanahan. Perubahan ini
bersifat Fundamental karena baik mengenai struktur perangkat hukumnya, mengenai konsepsi yang mendasarinya, maupun isinya, yang dinyatakan dalam bagian berpendapat UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi
pula keperluannya menurut permintaan zaman. Namun hal
yang paling mendasar adalah tujuan dari pembentukan UUPA
tersebut adalah mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33ayat (3) UUD 1945, bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya ,yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara
Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. UUPA menciptakan Hukum Agraria Nasional berstruktur tunggal, seperti
yang dinyatakan dalam bagian Berpendapat serta penjelasan umum, UUPA
berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah, sebagai hukum aslinya
masyarakat Indonesia. Pada hakikatnya adalah dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional untuk mengisi kemerdekaan
yang diproklamasikan agar terwujud masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur berdasarkan pancasila sebagai sumber falsafah hidup
bangsa Indonesia.[9]
3. Sejak Berlakunya UUPA sampai Reformasi
Sejak
berlakunya UUPA, telah membawa dampak yang baik yaitu dengan dicabutnya dan
dihapusnya secara tegas peraturan-peraturan yang tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan masyarakat, dengan tujuan yaitu mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan
hukum tersebut, yaitu dicabutnya pasal
51 Indische Staatsregeling (IS), penghapusan pernyataan-pernyataan Domein, serta penghapusan Peraturan Hak Agrarisch Eigendom,
yang merupakan hasil produk-produk hukum buatan bangsa kolonial. Namun
dalam memasuki pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto,
telah terjadi begitu banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak
berpihak pada masyarakat, dalam hal ini menimbulkan hubungan yang
menguntungkan antara para pemilik modal (investor) dengan
penguasa (pemerintah).
Pada
periode Orde Baru kebijakan pertanahan lebih diarahkan untuk mendukung
kebijakan makro ekonomi. Kebijakan pertanahan lebih merupakan bagian
dari pembangunan, tidak sebagai dasar pembangunan. Kebijakan pertanahan lebih
ditujukan untuk memfasilitasi kebutuhan pembangunan dan eksploitasi sumber daya
alam.Yang tadinya bersumber pada sektor pertanian maka orientasinya kemudian
menjadi industrialisasi dengan menekankan kebutuhan ekonomi berbasis pada
investasi asing dan juga eksploitasi SDA (sektor ekstraktif).Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dianggap oleh
sejumlah pengamat sebagai suatu produk hukum yang paling pro
pada rakyat kecil atau petani. Dengan lahirnya masa Reformasi berarti
menandakan bahwa Pemerintahan orde baru telah berakhir, dan menjadi harapan bahwa
hal ini dapat menjadi awal langkah dalam “mengkikis habis akibat-akibat
kebijakan dan praktik-praktik orde baru yang tidak pro pada
masyarakat, terutama kaum petani.
4. Sejak Masa Reformasi sampai Sekarang
Hingga saat
ini apa yang diharapkan masyarakat yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
belum terealisasi sepenuhnya dengan baik. Namun dengan dikeluarkannya
peraturan-peraturan baru yang berkaitan dengan kehidupan hukum agraria di Indonesia menjadi
bukti bahwa pemerintah berusaha untuk merealisasikan apa yang tertuang
dalam UUPA sehingga mejamin dan melindungi kepentingan masyarakat terutama
masyarakat miskin dan pengadaan lahan bagi para petani, agar terwujud
seperti apa yang telah tertuang dalam Pasal
33 ayat (3) UUD 1945.
[1]Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaanny, Jilid 1 Hukum Tanah, (Jakarta: Djambatan. 1994),
hlm. 4
[2]
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 1
[3] Boedi
Harsono,op.cit, hlm. 5
[4] Ali
Ahmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Di Indonesia )Jilid 1, (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2003), hlm. 1-2
[5] Urip
Santoso,Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group 2008), hlm 3-4
[6] Boedi
Harsono, op.cit. hlm. 8
[7]
http://greatandre.blogspot.com/2010/11/perkembangan-hukum-agraria-konsep.html
[8] Urip
Santoso, op.cit, hlm. 24
[9]
http://id.scribd.com/doc/71379643/Sejarah-an-Hukum-Agraria-Di-Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar