Kamis, 21 November 2013

Hak Beragama Orang Syiah dan Ahmadiyah


“Salus Populi Suprema Lex Esto
(Hendaklah keselamatan rakyat menjadi hukum yang tertinggi).
Adagium dari seorang Filosuf Romawi Cicero.

Sejak Soekarno membacakan Proklamasi sebagai tanda terbebas dari kolonialisme, negara ini telah lama merasakan kemerdekaan. Akan tetapi, hakikat kemerdekaan itu selama ini belum bisa dirasakan oleh semua orang. Kemerdekaan seolah menjadi milik golongan tertentu saja. Pasca Reformasi kondisi kemerdekaan yang masih timpang dan memihak golongan tertentu terus saja terjadi dan kondisinya tidak semakin membaik.
Kemerdekaan suatu bangsa identik dengan seberapa baik pengakuan dan penerapan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Di Indonesia, penerapan nilai-nilai HAM masa Orde Lama dan Orde Baru seakan hanya lembaran kertas yang berisi peraturan-peraturan tertulis tanpa terealisasikan dengan maksimal. Penegakan HAM dihalangi oleh suatu kekuatan yang berkedok agama, ras, golongan dan politik. Ketika Reformasi bergulir, penegakan nilai-nilai HAM yang merupakan esensi dari demokrasi pun menjadi salah satu agenda besar dalam “Kabinet Reformasi” yang diusung oleh BJ Habiebi. Jaminan perlindungan HAM menjadi tuntutan utama reformasi yang harus dipenuhi. Akhirnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat saat itu sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Tak lama berselang, lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Seolah ingin menunjukan keseriusannya, bangsa ini juga lantas ratifikasi beberapa perjanjian internasional mengenai HAM. Lembaga penegakan HAM diperkuat wewenangnya.

Namun apakah keseluruhan hak-hak yang terdapat dalam produk-produk hukum itu telah terimplementasikan dengan baik? Jawabannya pastinya tidak.  Negara dan pemerintah sebagai aktor yang bertanggung jawab penuh tidak bisa menutup-nutupi kegagalannya dalam perlindungan HAM.Contoh yang kasat mata, akhir-akhir ini banyak sekali kekerasan terhadap kelompok minoritas yang dilakukan oleh kelompok orang yang mengatasnamakan umat Islam. Pengikut Syiah dan Ahmadiyah dalam waktu belakangan ini menjadi korban kekerasan HAM serius. Tanpa bermaksud mengkucilkan pelanggaran hak yang lainnya, kami merasa pelanggaran ini cukup serius dan karena itu harus kita perhatiakan bersama.  
 Kebebasan memeluk agama merupakan hak yang sangat pribadi karena berkaitan dengan keyakinan seseorang dan berhubungan dengan Tuhan. Seseorang tidak diperkenankan memaksa atau dipaksa untuk memeluk suatu agama tertentu atau bahkan untuk tidak memeluk agama. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur kebebasan beragama dalam Pasal 29, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menegaskannya kembali dalam Pasal 22. Dan dalam pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik telah menentukan “Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan pilihannya.” Negara memberikan jaminan tidak hanya dalam kebebasan memeluk agama tapi juga kemerdekaan dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing yang telah dipilihnya.     
            Suatu kebohongan telah terjadi di bumi pertiwi ini, kebohongan yang telah dilakukan oleh suatu golongan yang beraliran keras dengan dalih mengatasnamakan Tuhan dan Agamanya untuk menindas Agama lain. Bahkan mereka korbankan nilai toleransi hanya karena perbedaan pemahaman dalam satu ajaran agama yang sama untuk membenarkan paham yang mereka yakini. Tidakkah mereka telah mengkhianati nilai-nilai dalam Pancasila yang selalu mendepankan nilai-nilai toleransi dalam perbedaan? Dengan semena-mena mereka telah meruntuhkan bangunan persaudaraan yang susah payah direalisasikan dalam keragaman Bhineka Tunggal Ika. Saat ini Indonesia menjadi salah satu Negara yang memiliki komitmen penuh dalam toleransi beragama, namun itu semua terkikis hancur akibat ulah kelompok beraliran keras yang melanggar hak-hak dalam beragama. Hal ini terlihat dengan data Setara Institute yang menemukan ada 264 tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas pada 2012, atau mengalami kenaikan dibandingkan 2010 yang mencapai 216 yang dilakukan kelompok Islam radikal.

            Apakah etis Negara kita membiarkan sekelompok orang datang dan merusak peribadatan ummat Syiah dan Ahmadiyah, serta melakukan tindak kekerasaan terhadap raga dan jiwa mereka hanya karena keyakinan mereka yang ditolak dan tidak disukai? Pembiaran yang dilakukan Negara harus dipertanggungjawabkan dengan segera. Jangan sampai kekuasaan pemerintah dapat diatur oleh sekolompok orang yang mendepankan nafsu kriminalnya. Bukankah pemerintah yang bijak adalah pemerintah yang hanya mengambil suatu keputusan dari pertimbangan hati nuraninya yang paling dalam, dengan tanpa terpengaruhi oleh opini publik?

1 komentar: