“Salus Populi Suprema Lex Esto”
(Hendaklah keselamatan rakyat
menjadi hukum yang tertinggi).
Adagium dari seorang Filosuf Romawi
Cicero.
Sejak Soekarno
membacakan Proklamasi sebagai tanda terbebas dari kolonialisme,
negara ini telah lama merasakan kemerdekaan. Akan tetapi,
hakikat kemerdekaan itu selama ini belum bisa dirasakan oleh semua orang. Kemerdekaan
seolah menjadi milik golongan tertentu saja. Pasca Reformasi kondisi
kemerdekaan yang masih timpang dan memihak golongan tertentu terus saja terjadi
dan kondisinya tidak semakin membaik.
Kemerdekaan
suatu bangsa identik dengan seberapa baik pengakuan dan penerapan prinsip-prinsip
hak asasi manusia (HAM). Di Indonesia, penerapan nilai-nilai HAM masa Orde Lama dan Orde Baru seakan hanya
lembaran kertas yang berisi peraturan-peraturan tertulis tanpa terealisasikan
dengan maksimal. Penegakan HAM dihalangi oleh suatu kekuatan yang berkedok
agama, ras, golongan dan politik. Ketika Reformasi bergulir, penegakan
nilai-nilai HAM yang merupakan esensi dari demokrasi pun menjadi salah satu
agenda besar dalam “Kabinet Reformasi” yang diusung oleh BJ Habiebi. Jaminan perlindungan
HAM menjadi tuntutan utama reformasi yang harus dipenuhi. Akhirnya,
Majelis Permusyawaratan Rakyat saat itu sepakat memasukan hak asasi manusia ke
dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada
Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Tak
lama berselang, lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Seolah ingin menunjukan keseriusannya, bangsa ini juga lantas ratifikasi
beberapa perjanjian internasional mengenai HAM. Lembaga penegakan HAM diperkuat
wewenangnya.
Namun apakah
keseluruhan hak-hak yang terdapat dalam produk-produk hukum itu telah
terimplementasikan dengan baik? Jawabannya pastinya tidak. Negara dan pemerintah sebagai aktor yang
bertanggung jawab penuh tidak bisa menutup-nutupi kegagalannya dalam perlindungan
HAM.Contoh yang kasat mata, akhir-akhir ini banyak sekali kekerasan terhadap
kelompok minoritas yang dilakukan oleh kelompok orang yang mengatasnamakan umat
Islam. Pengikut Syiah dan Ahmadiyah dalam waktu belakangan ini menjadi korban
kekerasan HAM serius. Tanpa bermaksud mengkucilkan pelanggaran hak yang
lainnya, kami merasa pelanggaran ini cukup serius dan karena itu harus kita
perhatiakan bersama.
Kebebasan memeluk agama merupakan hak yang sangat pribadi karena
berkaitan dengan keyakinan seseorang dan berhubungan dengan Tuhan. Seseorang
tidak diperkenankan memaksa atau dipaksa untuk memeluk suatu agama tertentu atau
bahkan untuk tidak memeluk agama. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur kebebasan
beragama dalam Pasal 29, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menegaskannya
kembali dalam Pasal 22. Dan dalam pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik telah menentukan “Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga
terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan
pilihannya.” Negara memberikan jaminan tidak hanya dalam kebebasan memeluk
agama tapi juga kemerdekaan dalam menjalankan ibadah menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing yang telah dipilihnya.
Suatu kebohongan
telah terjadi di bumi pertiwi ini, kebohongan yang telah dilakukan oleh suatu
golongan yang beraliran keras dengan dalih mengatasnamakan Tuhan dan Agamanya
untuk menindas Agama lain. Bahkan mereka korbankan nilai toleransi hanya karena
perbedaan pemahaman dalam satu ajaran agama yang sama untuk membenarkan paham
yang mereka yakini. Tidakkah mereka telah mengkhianati nilai-nilai dalam
Pancasila yang selalu mendepankan nilai-nilai toleransi dalam perbedaan? Dengan
semena-mena mereka telah meruntuhkan bangunan persaudaraan yang susah payah
direalisasikan dalam keragaman Bhineka Tunggal Ika. Saat ini Indonesia menjadi
salah satu Negara yang memiliki komitmen penuh dalam toleransi beragama, namun
itu semua terkikis hancur akibat ulah kelompok beraliran keras yang melanggar
hak-hak dalam beragama. Hal ini terlihat dengan data Setara Institute yang
menemukan ada 264 tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas pada 2012,
atau mengalami kenaikan dibandingkan 2010 yang mencapai 216 yang dilakukan
kelompok Islam radikal.
Apakah etis Negara
kita membiarkan sekelompok orang datang dan merusak peribadatan ummat Syiah dan
Ahmadiyah, serta melakukan tindak kekerasaan terhadap raga dan jiwa mereka
hanya karena keyakinan mereka yang ditolak dan tidak disukai? Pembiaran yang dilakukan Negara harus
dipertanggungjawabkan dengan segera. Jangan sampai kekuasaan pemerintah dapat
diatur oleh sekolompok orang yang mendepankan nafsu kriminalnya. Bukankah
pemerintah yang bijak adalah pemerintah yang hanya mengambil suatu keputusan
dari pertimbangan hati nuraninya yang paling dalam, dengan tanpa terpengaruhi
oleh opini publik?
makasih atas artikelnya, sangat bermanfaat sekali
BalasHapusvisit our website href="https://ittelkom-jkt.ac.id/"
href="http://akademitelkom.ac.id/"