Pembahasan
Materi
A.
Perihal Warisan Di Indonesia Pada Umumnya
Hukum waris merupakan salah
satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil
dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum
yang dinamakan kematian. Untuk pengertian hukum “waris” sampai saat ini baik
para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia,
belum terdapat keseragaman pengertian, sehingga istilah untuk hukum waris masih
beraneka ragam. Misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro, menggunakan istilah “hukum
warisan”. Hazairin, menggunakan istilah “hukum kewarisan”. Dan Soepomo
menyebutnya dengan istilah “hukum waris”.[1]
Dari istilah-istilah di atas, penulis lebih cenderung menggunakan istilah
“hukum waris”, yaitu kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan
karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan
oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam
hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
` Dalam rangka memahami
kaidah-kaidah serta seluk beluk hukum waris, hampir tidak dapat dihandarkan
untuk terlebih dahulu memahami beberapa istilah yang lazim dijumpai dan
dikenal, di antaranya:
1.
Waris; Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka
(peninggalan) orang yang telah
meninggal.
2.
Warisan; berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
3.
Pewaris; adalah orang yang memberikan pusaka, yakni orang yang
meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat
wasiat.
4.
Ahli waris; yaitu orang yang menjadi waris, berarti orang-orang
yang berhak menerima harta peninggalan.
5.
Mewarisi; yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris
adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.
6.
Proses pewarisan; yaitu penerusan atau penunjukan para waris ketika
pewaris masih hidup; dan juga berarti pembagian harta warisan setelah pewaris
meninggal.
Usaha ke arah unifikasi hukum waris di
Indonesia merupakan suatu upaya yang dapat dipastikan sulit untuk diwujudkan.
Dengan demikian bidang hukum waris ini menurut kriteria Mochtar Kusumaatmaja,
termasuk “bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan, adanya
komplikasi-komplikasi kultural, keagamaan, dan sosiologi. Hal itu disebabkan
beranekaragamnya corak budaya, agama, sosial, dan adat istiadat serta sistem
kekeluargaan yang hidup dab berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Sebagai
akibat dari keadaan masyarakat yang telah dikemukakan di atas, hukum waris yang
berlaku di Indonesia dewasa ini masih tergantung pada hukumnya si pewaris. Oleh
karena itu, apabila yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan yang
masih berpegang teguh kepada perihal adat, maka akan menyelesaikan hukum waris
sesuai dengat aturan adatnya. Sedangkan apabila pewaris termasuk golongan
penduduk Eropa atau Timur Asing Cina, atau penduduk yang berpengang teguh
dengan hukum barat, maka bagi mereka berlaku hukum waris barat. Di lain pihak,
bagi penduduk Indonesia yang berpegang teguh kepada kaidah-kaidah agama Islam
sesuai dengan yang tertera dalam Al-quran, maka bagi mereka berlaku sistem
hukum waris yang tertera dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Wujud warisan atau harta peninggalan menurut
Hukum Islam sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris Barat
sebagaimana diatur dalam BW maupun menurut hukum adat. Warisan atau harta
peninggalan menurut Hukum Islam yaitu “sejumlah
harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih”.
Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah
harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi dengan pembayaran
hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh
wafatnya si peninggal waris. Dalam hukum waris BW, wujud harta peninggalan
meliputi “seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang
dapat dinilai dengan uang”. Jadi harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para
ahli waris tidak hanya meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa aktiva atau
keuntungan, melainkan juga termasuk hutang-hutang si pewaris yang merupakan
pasiva dari harta kekayaan yang ditinggalkan, sehingga “kewajiban membayar
hutang pada hakikatnya beralih juga kepada ahli waris”. Demikian pula pada
hukum adat, pembagian harta warisan tidak selalu ditangguhkan sampai semua
hutang si peninggal warisan dibayar. Artinya, harta warisan yang dapat beralih
kepada para ahli waris tidak selalu dalam keadaan bersih setelah dikurangi
hutang-hutang pewaris, melainkan dapat saja ahli waris menerima harta warisan
yang di dalamnya tercakup kewajiban membayar hutang-hutang pewaris.
B.
Hak Mewarisi Menurut Hukum Waris BW dan Hukum Waris Islam
Menurut undang-undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan,
yaitu:
1.
Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang
2.
Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi “menurut
undang-undang” atau “ab intestate”. Cara yang kedua dinamakan mewarisi
secara “testamentair”.[2]
Undang-undang telah menentukan dan menetapkan tertib keluarga yang menjadi
ahli waris atau mereka yang memiliki hak mewarisi, yaitu:
1.
Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi
anak-anak beserta keturunan merekan beserta suami atau isteri yang di
tinggalkan/atau yang hidup paling lama. Suami atau istri yang ditinggalkan/atau
hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan
sebelumnya suami/istri tidak saling mewarisi.
2.
Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang
tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi
orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa mereka tidak akan kurang
dari (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walupun mereka mewarisi
bersama-sama saudara pewaris.
3.
Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke
atas dari pewaris.
4.
Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping
dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Demikian juga dalam Islam, telah ditentukan
bahwa ahli waris atau mereka yang memiliki hak mewarisi adalah seseorang atau
beberapa orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan. Secara garis
besar terdapat 3 golongan yang telah di tentukan dalam Hukum Islam, yaitu:
1.
Ahli waris menurut Al-Quran atau yang sudah ditentukan di dalam
Al-Quran disebut dzul faraaidh.
2.
Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut ashabah.
3.
Ahli waris yang ditarik dari garis ibu, disebut arhaam.[3]
C. Menerima atau Menolak Warisan
Terbukanya
warisan jika pewaris telah meninggal,
seorang ahli waris dapat memilih apakah ia akan menerima atau menolak warisan
itu, atau ada pula kemungkinan untuk menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak
akan diwajibkan membayar hutang-hutang si meninggal, yang melebihi bagiannya
dalam warisan itu[4].
Ada 3 kemungkinan yang
dapat timbul karena hubungan-hubungan antara pewaris dan ahli waris.
1.
Penerimaan sepenuhnya
Kalau ahli waris sudah menerima sepenuhnya,
maka ahli waris tersebut bertanggung jawab atas segala piutang warisan; milik
pribadi ahli waris ikut menjadi harta pertanggungjawab terhadap utang-utang
warisan.
Tetapi kalau ahli waris ini mendapat
bagian-bagian warisan menurut ketentuan-ketentuan pembagian, maka
pertanggungjawaban juga sesuai dengan bagian yang diperolehnya.
2.
Penolakan
Kalau mereka menolak, hal ini berarti bahwa
mereka melepaskan pertanggungjawaban sebagai ahli waris, dan juga menyatakan
tidak menerima pembagian harta peninggalan.
Tetapi kalau sama sekali menolak sehingga
tidak ada seorang ahli warispun yang di tunjuk oleh undang-undang, maka
akibatnya kekayaan itu jatuh ke tangan Negara (Pasal 1058 KUHPer).
3.
Penerimaan dengan syarat
Kalau penerimaan disertai syarat pendaftaran
dulu harta kekayaan, maka akibatnya adalah:
a. Pembayaran
utang-utang.
b. Harta sendiri
tidak ikut menjadi harta pertanggungan.
c. Hanya diterima
sisa dari harta warisan yang telah di peruntukkan pembayaran hutang.
d.
Legat hanya sebesar aktiva warisan tersebut.
Kemungkinan demikian
berlaku bagi seorang wali atau curator, sebaliknya hal ini tidak berlaku bagi
mereka yang telah menolak dengan terang-terangan dan tidak berlaku bagi
ahliwaris yang telah menerima sepenuhnya (pasal 1032 KUHPer)[5].
Seorang waris harus menentukan sikapnya. Bahwa suatu keadaan yang
tidak tentu terutama bagi penagih hutang, dapat merugikan. Oleh karena itu,
tiap pihak yang berkepentingan berhak untuk
menggugat para ahli waris agar menyatakan sikapnya. Seorang ahli waris
mempunyai hak untuk meminta suatu waktu untuk berfikir hingga selama empat
bulan. Akibatnya, selama waktu itu si waris tidak dapat dipaksa untuk melakukan
kewajiban seorang ahli waris. Jika sudah ada keputusan dari hakim, pelaksanaannya
harus ditangguhkan dulu dahulu. Jika ia di gugat sebagai ahli waris, ia dapat mengajukan perlawanan yang
bertujuan untuk mempertangguhkan perkara sampai habisnya waktu untuk berfikir. Selama itu, ahli waris
diwajibkan mengurus harta peninggalan itu sebaik-baiknya. Ia tidak boleh
menjuan apa-apa, sebab perbuatan semacam itu dapat di artikan sebagai
penerimaan penuh secara diam-diam.
Kemungkinan yang ketiga bagi seorang ahli
waris, yang merupakan suatu jalan tengah antara menerima dan menolak dinamakan
menerima dengan “beneficiaire aanvaarding”.
Jika ia hendak memilih jalan ini si waris haru menyatakan kehendaknya kepada
Panitera di Pengadila Negri setempat dimana warisan itu telah terbuka. Akibat
yang terpenting dari “beneficiaire
aanvaarding”, bahwa kewajiban si waris untuk melunasi hutang dan beban
lainnya di batasi sedemikian rupa, sehingga pelunasan itu hanyalah dilakukan
menurut kekuatan warisan, sehingga si waris tidak usah menanggung pembayaran
hutang dengan kekayaannya sendiri[6].
Dengan begitu, tidak
terjadi percampuran antara harta
peninggalan dengan harta kekayaan si pewaris. Apabila hutang-hutang si meninggal telah dilunasi semuanya dan
masih ada sisa dari harta peninggalan, barulah sisa ini boleh di ambil oleh
para waris.
Kewajiban-kewajiban seorang
ahli waris
beneficiair adalah:
1.
Melakukan
pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu empat bulan setelahnya ia
menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri, bahwa ia menerima
warisannya secara beneficiair.
2.
Mengurus
serta peninggalan sebaik-baiknya.
3. Selekas-lekasnya
membereskan urusan warisan.
4.
Apabila
diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan untuk harga
benda-benda yang bergerak beserta benda-benda yang tak bergerak yang tidak
diserahkan kepada orang-orang berpiutang yang memegang hypotheek.
5.
Memberikanpertanggung
jawaban kepada sekalian penagih hutang dan orang-orang yang menerima pemberian
secara legaat.
6.
Memanggil
orang-orang berpiutang yang tidak terkenal, dalam surat kabar resmi.
Peraturan-peraturan yang
berlaku dalam hal penerimaan atau penolakan warisan dapat kita ringkas sebagai
berikut:
1. Orang yang meninggalkan warisan, tidak
diperbolehkan membatasi hak seorang ahliwaris untuk memilih abtara tiga
kemungkinan tersebut diatas, yaitu apakah ia akan menerima penuh, menolak atau
menerima warisannya dengan bersyarat.
2.
Pemilihan
antara ketiga kemungkinan tersebut oleh seorang waris tak dapat dilakukan
selama warisan belum berbuka.
3.
Pemilihan
tidak boleh digantungkan pada suatu ketetapan waktu atau suatu syarat.
Kepentingan umum, terutama kepentingan orang-orang yang menghutangkan si
meninggal mengkehendaki dengan pemilihan itu sudah tercapai sesuatu keadaan
yang pasti yang tidak berubah lagi.
4.
Pemilihan
tidak dapat dilakukan hanya mengenai sebagian saja dari warisan yang jatuh
kepada seseorang artinya jika seorang ahliwaris menerima atau menolak,
perbuatan itu selaku mengenai seluruh bagiannya dalam warisan. Hanya, mungkin
bagi seorang yang selain ia menjadi ahliwaris, baik menurut undang0undang atau
menurut surat wasiat, juga ia mendapat legaat untuk menerima legaatnya, tetapi
menolak warisannya.
5.
Menyatakan
menerima atau menolak suatu warisan, adalah suatu perbuatan hokum yang
terletak dalam lapangan hokum kekayaan.
6.
Jika
seorang ahliwaris sebelum menentukan sikapnya, ia meninggal, maka haknya untuk
memilih beralih pada ahliwarisnya[7].
D. Perihal Wasiat atau Testament
Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang
tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal. Pada asasnya suatu
pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja (eenzijdig) dan
setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Dengan sendirinya,
dapat dimengerti bahwa tidak segala yang dikehendaki oleh seseorang,
sebagaimana diletakkan dalam wasiatnya itu, juga diperbolehkan atau dapat
dilaksanakan. Pasal 874 B.W. yang menerangkan tentang arti wasiat atau
testament, memang sudah mengandung suatu syarat, bahwa isi pernyataan itu tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang.
Testament berisi apa yang dinamakan suatu “erfstelling,” yaitu
penunjukan seorang atau beberapa orang menjadi “ahliwaris” yang akan mendapat
seluruh atau sebagian dari warisan. “Testamentaire erfgenaam,” yaitu ahliwaris
menurut wasiat, dan sama halnya dengan seorang ahliwaris menurut undang-undang,
ia memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal “onder algemene titel.”
Suatu testament, juga dapat berisikan suatu “legaat,” yaitu suatu
pemberian kepada seorang. Legaat dapat berupa:
1.
Satu atau beberapa benda tertentu;
2.
Seluruh benda dari satu macam atau jenis, misalnya seluruh benda
yang bergerak:
3.
Hak “vruchtgebruik” (hak pakai hasil) atas
sebagian atau seluruh warisan;
4.
Sesuatu hak lain terhadap boedel (harta keseluruhan) , misalnya hak
untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari boedel.[8]
Menurut bentuknya ada tiga macam testament, yaitu:
1.
“Openbaar testament,” suatu “openbaar testament” dibuat oleh
seorang notaris. Orang yang akan meninggalkan warisan menghadap pada notaris
dan menyatakan kehendaknya. Notaris itu membuat suatu akte dengan dihadiri oleh
dua orang saksi.
2.
“Olographis testament,” suatu “olographis testament” harus ditulis
dengan tangan orang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri (eigenhandig).
Harus diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan (gedeponeerd).
Penyerahan tersebut harus pula dihadiri oleh dua orang saksi. Sebagai tanggal
testament itu berlaku diambil tanggal akte penyerahan (akte van depot).
3.
“Testament tertutup atau rahasia.” Suatu testament rahasia, juga
dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak
diharuskan ia menulis dengan tangannya sendiri. Suatu testament rahasia harus
selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus dihadiri empat
orang saksi.
Untuk dapat membuat suatu testament diantaranya:
1.
Seorang harus sudah mencapai umur 18 tahun atau sudah dewasa, atau
sudah kawin meskipun belum berumur 18 tahun.
2.
Harus sungguh-sungguh mempunyai pikiran yang sehat.[9]
Pencabutan wasiat dapat dilakukan dengan:
1.
Surat wasiat dicabut dengan tegas,
menurut pasal 992
KUHPerdata pencabutan itu harus dengan surat wasiat baru atau dengan akta
notaris khusus, dengan mana pewaris menyatakan keinginanya akan mencabut wasiat
itu seluruhnya atau sebagian.
2.
Surat wasiat dicabut dengan diam-diam.
pasal 994 KUHPerdata wasiat
yang baru yang tidak dengan tegas mencabut wasiat terdahulu, membatalkan wasiat
terdahulu sepanjang tidak dapat disesuaikan dengan ketetapan wasiat yang baru,
atau sepanjang wasiat terdahulu bertentangan dengan wasiat yang baru.
Jadi pembuatan suatu testament terikat oleh bentuk dan cara-cara
tertentu, yang tidak diindahkan dapat menyebabkan batalnya testament itu.
E. Pengangkatan Waris atau
Pemberian Hibah Wasiat Dengan Lompat Tangan (Fidei Commis/ erfselling over
de hand)
Pengertian secara harafiah Fidei
Commis, Fidei berarti
Kepercayaan dan Commis berarti
Kewajiban. Dalam Kitab Undang-Udang Hukum Perdata Fidei commis diatur dalam Pasal 879 ayat 1 dan 2, yang mengatur,
bahwa :
Pasal 879
1. Pengangkatan waris atau
pemberian hibah wasiat dengan lompat tangan, atau sebagai fideicommis adalah terlarang.
2. Oleh karena itu, pun bagi
si yang diangkat atau yang menerima hibah, batal dan tak berhargalah setiap
ketetapan, dengan mana masing-masing mereka diwajibkan menyimpan barang-barang
warisan atau hibahnya, untuk kemudian menyerahkannya baik seluruhnya mauoun
untuk sebagian, kepada orang ke tiga.
Pasal 879 KUHPerdata dengan tegas melarang pengangkatan waris atau hibah wasiat
lompat tangan , dengan sanksi, bahwa pemberian yang demikian adalah
batal bagi yang diangkat atau si penerima hibah (lihat Pasal 879
ayat [2] KUHPer).
Dari rumusan Pasal 879 ayat (2) KUHPer, definisi fidei commis atau
pewarisan secara lompat tangan sebagai: suatu ketetapan dalam surat wasiat,
dimana ditentukan bahwa orang yang menerima harta si pewaris, atau sebagian
daripadanya – termasuk para penerima hak daripada mereka, berkewajiban untuk
menyimpan yang mereka terima, dan sesudah suatu jangka waktu tertentu atau pada
waktu matinya si penerima, menyampaikan/menyerahkannya kepada seorang ketiga.
Pada fidei commis terdapat tiga pihak, dijelaskan bahwa ketiga
pihak tersebut adalah:
1. Pewaris.
Pewaris adalah orang yang memiliki atau memegang atau menguasai
atau yang meninggalkan harta untuk diteruskan kepada ahli waris atau pihak
ketiga, termasuk didalamnya adalah beban-beban,hibah dan wasiat kepada pihak
ketiga.
2. Pemikul Beban (bezwaarde).
Yang dimaksud dengan Pemikul Beban atau bezwaarde adalah
orang yang pertama-tama ditunjuk sebagai ahli waris/legetaris, dengan
tugas/kewajiban menyimpan barang dari pewaris dan menyampaikannya kepada pihak
ketiga
3. Penunggu
(verwachter).
Yang dimaksud dengan Penunggu atau verwachter adalah orang
yang akan menerima harta dari pewaris melalui bezwaarde/pemikul beban.
Pada dasarnya Fidel commis
dilarang, namun dalam beberapa hal diperbolehkan, seperti:
1.
Fidel commis de residuo; seorang ketiga yang meninggal dunia sebelumnya, diberikan untuk anaknya
yang sah sudah atau belum dilahirkan telah dikaruniai dengan seluruh atau
sebagaian berupa harta waris yang tidak terjual atau tidak dihabiskan dari
seorang ahli waris atau seseorang penerima hibah atau wasiat tersebut. Pasal
881 KUH Perdata.
Pada Pasal 990 KUH Perdata mengatur bahwa setiap Fidei commis de residuo ini, ahli waris
atau penerima hibah diwajibkan untuk membuat pertelaan dan perincian atas
barang-barang warisan, tetapi tidak perlu ada jaminan oleh pihak yang dibebani,
agar barang-barang itu diurus dengan sebaik-baiknya.
2. Fidel commis kepada cucu dan keturunan saudara-saudara
Kedua orang tua diperbolehkan dengan surat wasiat menghibah
wasiatkan seluruh atau sebagian harta kekayaan mereka, yang mana berhaklah
mereka menggunakannya dengan bebas, kepada salah seorang anak mereka atau lebih
dengan perintah akan menyerahkan barang-barang itu kepada sekalian nak
masing-masing, baik yang sudah ada maupun yang akan dilahirkan. (Pasal 973 ayat
[1] KUH Perdata). Fidel commis kepada
cucu dan keturunan saudara-saudara diatur dalam Pasal 973 sampai dengan Pasal
988 KUH Perdata.
F.
Legitime Portie (Bagian Mutlak)
1.
Pengertian legitime portie.
Pengertian tentang Legitime Portie ini dapat kita temukan
dalam Pasal 913 KUHPerdata :
“Bagian Mutlak atau legitime Portie, adalah sesuatu
bagiam dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris, dalam garis
lurus menurut undang-undang, terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan
menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun
selaku wasiat”.[10]
Legitime Portie (atau wettelijk erfdeel), yang
secara harafiah diterjemahkan “sebagai warisan menurut Undang-Undang”,
dikalangan praktisi hukum sejak puluhan tahun dikenal sebagai “bagian mutlak”
(legitime Portie). Bagian mutlak adalah bagian dari warisan yang diberikan
Undang-Undang kepada ahli waris dalam garis lurus ke bawah dan ke atas. Bagian
mutlak tidak boleh ditetapkan atau dicabut dengan cara apapun oleh pewaris,
baik secara hibah-hibah yang diberikan semasa pewaris hidup maupun dengan surat
wasiat melalui hibah wasiat (legaat) dan erfstelling).[11]
Menurut Pitlo, bagian yang dijamin oleh Undang-Undang
legitime portie/wettlijk erfdel :
“Merupakan hak dia/mereka yang mempunyai kedudukan
utama/istimewa dalam warisan. Hanya sanak saudara dalam garis lurus (bloedverwanten
in de rechte lijn) dan merupakan ahli waris ab intestato saja yang berhak
atas bagian yang dimaksud”.[12]
Sedangkan legitimaris menurut Pitlo, adalah: “Ahli waris ab
intestato yang dijamin oleh undang-undang bahwa ia akan menerima suatu
bagian minimum dalam harta peninggalan yang bersangkutan. Baik dengan jalan
hibah ataupun secara pemberian sesudah meninggal (making bij dode)
pewaris tidak boleh mencabut hak legitimaris ini”
2.
Tujuan Adanya Legitime Portie.
Pada asasnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur
mengenai apa yang akan terjadi dengan harta kekayaannya setelah ia meninggal
dunia. Seseorang pewaris mempunyai kebebasan untuk mencabut hak waris dari para
ahli warinya, karena meskipun ada ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang
yang menentukan siapa-siapa akan mewaris harta peninggalannya dan berapa bagian
masing-masing, akan tetapi ketentuan-ketentuan tentang pembagian itu bersifat
hukum mengatur dan bukan hukum memaksa. Akan tetapi untuk ahli waris ab
intestato (tanpa wasiat) oleh Undang-Undang diadakan bagian tertentu yang
harus diterima oleh mereka, bagian yang
dilindungi oleh hukum, karena mereka demikian dekatnya hubungan kekeluargaan
dengan si pewaris sehingga pembuat Undang-Undang menganggap tidak pantas
apabila mereka tidak menerima apa-apa sama sekali. Agar orang secara tidak
mudah mengesampingkan mereka, maka Undang-Undang melarang seseorang semasa
hidupnya menghibahkan atau mewasiatkan harta kekayaannya kepada orang lain
dengan melanggar hak dari para ahli waris ab intestato itu.
Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang
dilindungi undang-undang itu dinamakan “Legitimaris” sedang bagiannya
yang dilindungi oleh Undang-Undang itu dinamakan “legfitime portie”.
Jadi harta peninggalan dalam mana ada legitimaris terbagi dua, yaitu “legitime
portie” (bagian mutlak) dan “beschikbaar” (bagian yang tersedia).
Bagian yang tersedia ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia boleh
menghibahkannya sewaktu ia masih hidup atau mewasiatkannya. Hampir dalam
perundang-undangan semua negara dikenal lembaga legitime portie. Peraturan di
negara satu tidak sama dengan peraturan di negara lain, terutama mengenai
siapa-siapa sajalah yang berhak atasnya dan legitimaris berhak atas apa.[13]
Bagian yang kedua itu (bagian mutlak), diperuntukkan
bagian para legitimaris bersama-sama, bilamana seorang legitimaris menolak (vierwerp)
atau tidak patut mewaris (onwaardig) untuk memperoleh sesuatu dari
warisan itu, sehingga bagiannya menjadi tidak dapat dikuasai (werd niet
beschikbaar), maka bagian itu akan diterima oleh legitimaris lainnya. Jadi
bila masih terdapat legitimaris lainnya maka bagian mutlak itu tetap
diperuntukkan bagi mereka ini, hanya jika para legitimaris menuntutnya, ini
berarti bahwa apabila legitimaris itu sepanjang tidak menuntutnya, maka pewaris
masih mempunyai “beschikking-srecht” atas seluruh hartanya.
3.
Ketentuan-Ketentuan Pembatasan Legitime Portie.
Di dalam KUHPerdata asas legitime dilakukan secara hampir
konsekwen, di berbagai tempat dapat diketemukan ungkapan, ungkapan seperti
mengingat (behoudens) peraturan-peraturan yang ditulis untuk legitime.
Pewaris hanya dapat merampas hak ahli waris dengan mengadakan
perbuatan-perbuatan pemilikan harta kekayaan sedemikian rupa sehingga tidak
meninggalkan apa-apa.
Bila orang sewaktu hidupnya menggunakan harta kekayaannya
sebagai uang pembeli lijfrente (bunga cagak hidup) dapat mengakibatkan bahwa
orang yang tidak meninggalkan apa-apa, terutama apabila perkawinannya
dilangsungkan tanpa perjanjian kawin.
Di dalam pendapat bahwa legitime adalah tabu dan tidak
dapat disinggung sama sekali maka juga perbuatan hukum yang menguntungkan
legitimaris adalah tidak sah, misalnya si pewaris meninggalkan pada anak
perempuannya yang kawin dalam kebersamaan harta kawin seluruh harta kekayaan
dengan ketentuan bahwa harta warisannya itu tidak boleh jatuh dalam harta
kebersamaan harta kawin anaknya.
Meskipun ketentuan mengenai legitime bersifat hukum
pemaksa akan tetapi bukan demi kepentingan umum. Ketentuan itu ada demi
kepentingan legitimaris dan bukan kepentingan umum. Karena itu legitimaris
dapat membiarkan haknya dilanggar, hal mana sangat erat berhubungan dengan
pendapat bahwa pelanggaran legitime tidak mengakibatkan “nietigheid”
(kebatalan demi hukum) malainkan hanya “eenvoudige vernietigbaareid”
(dapat diminta pembatalannya secara sedehana).
4.
Sifat Hukum Dari Legitime Portie.
Biasanya orang menyimpulkan sifat hukum legitime portie
(bagian mutlak) dari sejarah. Pada permulaan abad kesembilan belas masih
terdapat dua sistem, yaitu sistem Romawi dan sistem Prancis-Jerman. Pembuat
undang-undang tahun 1938 menurut pendapat Hamaker, Ter Braak telah memilih
sistem Romawi, tetapi menurut pendapat Land Meijers yang telah dipilih adalah
sistem Prancis-Jerman. Ciri dari sistem Prancis-Jerman Bahwa menurut sistem ini
legitimaris adalah ahli waris bagian mutlak dan karena itu untuk bagian yang
seimbang itu ia adalah berhak atas aktivanya dan menanggung hutang-hutangnya,
ciri dari legitime Romawi ialah bahwa legitimaris tidak dianggap sebagai ahli
waris dari bagiannya melainkan hanya mempunyai hak tagih atas barang-barang
seharga bagian mutlaknya. Sebenarnya mengenai sifat hukum dari legitime itu
tidak dapat dicari di dalam sejarah melainkan dari Undang-Undang itu sendiri
dan jurisprudensi.
Seluruh sifat dari legitime terkandung didalam dua
peraturan, yaitu :
1)
Legitimaris dapat menuntut pembatalan dari
perbuatan-perbuatan si pewaris yang merugikan legitime portie (bagian mutlak).
2)
Si pewaris bagaimanapun tidak boleh beschikken
(membuat ketetapan) mengenai bagian mutlak itu.
Apa akibanya bila ketentuan di dalam testament melanggar
peraturan mengenai legitime portie itu :
Ada tiga kemungkinan untuk menjawab pertanyaan diatas
yaitu :
1)
Ketetapan itu adalah batal.
2)
Ketetapan itu adalah “eenvoudige
Vernietigbaarheid” (dapat dibatalkan secara sederhana)
3) Ketetapan itu adalah sah akan tetapi si
legitimaris mempunyai hak tuntut pribadi untuk mendapatkan ganti rugi.
5.
Ahli Waris Yang Berhak Atas Legitime Portie
Syarat untuk dapat menuntut suatu bagian mutlak (legitime
portie) adalah :
1)
Orang harus merupakan keluarga sedarah dalam
garis lurus, dalam hal ini kedudukan garwa (suami / isteri) adalah berbeda
dengan anak-anak. Meskipun sesudah tahun 1923 Pasal 852a KUHPerdata menyamakan
garwa (suami/isteri) dengan anak, akan tetapi suami/isteri tidak berada dalam
garis lurus kebawah, mereka termasuk garis kesamping. Oleh karna itu
isteri/suami tidak memiliki legitime portie atau disebut non legitimaris.
2)
Orang harus ahli waris ab intestato. Melihat syarat tersebut tidak semua keluarga
sedarah dalam garis lurus memiliki hak atas bagian mutlak. Yang memiliki
hanyalah mereka yang juga waris ab instestato.
3)
Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat
pewaris, merupakan ahli waris secara ab intestato.
Untuk ahli waris dalam garis kebawah, jika pewaris hanya
meninggalkan satu orang anak sah menurut Pasal 914 KUHPerdata adalah ½ dari
bagiannya menurut undang-undang, jika meninggalkan dua orang anak sah, maka
besarnya bagian mutlak adalah 2/3 dari bagian menurut undang-undang dari kedua
anak sah tersebut, sedangkan jika meninggalkan tiga orang anak sah atau lebih,
maka besarnya bagian mutlak adalah ¾ dari bagian para ahli waris tersebut
menurut ketentuan undang-undang. Bagian menurut Undang-Undang adalah bagian
ahli waris atas harta warisan sandainya tidak ada hibah atau testament yang
bisa dilaksanakan.
Untuk ahli waris dalam garis keatas, besarnya bagian
mutlak menurut ketentuan Pasal 915 KUHPerdata, selamanya ½ dari bagian menurut
undang-undang. Sedangkan bagian mutlak dari anak luar kawin yang telah diakui
(Pasal 916 KUHPerdata) selamanya ½ dari bagian anak luar kawin menurut
ketentuan Undang-Undang.
Ahli waris yang tidak mempunyai bagian mutlak atau
legitime portie, yaitu pertama suami/isteri yang hidup terlama. Kedua para
saudara-saudara dari pewaris. Mereka tidak berhak (non legitimaris)
karena berada dalam garis kesamping. Digunakan tidaknya perhitungan berdasarkan
legitime portie sangat tergantung pada ada atau tidaknya hibah atau testament
tang bisa dilaksanakan.
6.
Legitimaris Sebagai Ahli Waris
Undang – Undang memang menggunakan kata-kata “wettlijk
erfdeel” (bagian warisan menurut undang-undang) dan juga digunakannya
sering kata-kata “erfgenamen” (ahli Waris) bila yang dimaksud
adalah legitimaris. Karena itu dapat saja disimpulkan bahwa legitimaris
adalah ahli waris, dan dari sini lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa
apabila legitimaris menerima pelanggaran atas hak legitimenya maka ia
tetap tidak kehilangan kedudukanya sebagai ahli waris. Kedudukannya
sebagi ahli waris hanyalah dapat hilang dengan cara seperti yang
disebutkan dalam Pasal 1057 KUHPerdata. Ialah “verwerping”
(penolakan) terhadap harta warisan yang harus dilakukan secara tegas dengan
surat pernyataan yang harus dilakukan secara tegas dilakukan dihadapan
panitera Pengadilan Negeri.
Jika kita memperhatikan berbagai Pasal dalam KUHPerdata,
Pasal 874,913 dan 929, maka jelas bahwa legitimaris merupakan ahli waris
atau mempunyai kedudukan sebagai ahli waris. Legitimaris hanya merupakan
ahli waris apabila ia mengemukakan haknya atas bagian mutlaknya. Apa yang
dinikmatinya karena “inkorting” (pengurangan) diperolehnya karena hak ahli
waris, tujuan dari tuntutan pengurangan atau pemotongan adalah agar
pemberian-pemberian yang dilakukan dengan hibah atau wasiat itu dikurangi, jadi
batal sepanjang hal itu diperlukan untuk memberikan kepada legitimaris apa
yang menjadi haknya sebagai ahli waris. Jalan pemikiran demikian dapat
ditemukan dalam Pasal 928 KUHPerdata :
“Segala barang tak bergerak yang karena
pengurangan harus
kembali lagi dalam harta peninggalan, karena
pengembalian
itu bebaslah dari segala beban, dengan mana si
penerima
pengaruniaan telah membebaninya”.[14]
Apabila legitimaris mengurangi suatu hibah barang
tak bergerak, maka barang ini bukannya berpindah dari si penerima hibah ke legitimaris,
melainkan hibah itu batal dan dianggap tidak pernah terjadi, orang yang
meninggal itu tidak pernah kehilangan barang dan dianggap masih selalu berada
di dalam budelnya, ternyata setelah pengurangan itu berpindah karena pewarisan
dari si pewaris kepada si legitimaris, maka ia tidak memperoleh
kedudukan sebagai ahli waris karena hukum, akan tetapi ia menjadi ahli waris
oleh karena ia mengemukakan pembatalan dari ketetapan-ketetapan yang melanggar legitime nya.
G. Perihal Pembagian Warisan
Jika beberapa orang waris bersama sama
memperoleh suatu warisan, maka warisan ini tentunya pada suatu waktu akan
dibagi. peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku II B.W. perihal
boedelscheiding (pasal 1066 dsl.) oleh undang-undang ditetapkan berlaku untuk
segala macam pembagian dari setiap kekayaan bersama yang belum terbagi. jadi
tidak saja untuk pembagian warisan, tetapi juga misalnya untuk pembagian
kekayaan bersama yang terjadi karena perkawinan atau karena beberapa orang
bersama yang terjadi karena perkawinan atau karena beberapa orang bersama-sama
telah mendirikan suatu persekutuan dagang. Karena itu , perkataan
"Boedel-scheiding" dapat diartikan sebagai suatu perbuatan hukum yang
bermaksud untuk mengakhiri suatu keadaan, dimana terdapat suatu kekayaan bersama
yang belum terbagi. Hak untuk menuntut supaya diadakan pembagian
suatu kekayaan bersama, adalah suatu hak yang tidak boleh dikurangi apalagi
dihapuskan.
Dalam
undang-undang tata cara mengadakan boedelscheiding yaitu tergantung pada
keadaan. Dalam hal ini
semua ahli waris cakap untuk bertindak sendiri dan semuanya dapat hadir maka
cara melakukan pembagian diserahkan kepada ahli waris itu sendiri. Jadi tidak
ditetapkan cara tertentu. Akan tetapi jika diantara para ahli waris ada anak
yang masih dibawah umur atau yang telah ditaruh dibawah curatele, maka
pembagian warisan itu harus dilakukan dengan suatu akte notaris dan dihadapkan
weeskamer. sebagai dasar pembagian, harus dipakai harga taksiran dari semua
benda warisan.
Dalam hal waris terdapat istilah "inbreng" yaitu
pengembalian benda-benda kedalam boedel. Persoalan ini ada apabila si meninggal
pada waktu masih hidup memberikan benda-benda secara "schenking" atau
donasi kepada sementara waris. Pemberian semacam itu, dapat dianggap sebagai
suatu "voorschot" atau lebih atas bagian warisan yang akan
diperhitungkan kemudian. perhitungan ini dapat dilakukan dnegan mengembalikan
benda yang telah diterimanya itu atau dengan memperhitungkan harganya menurut
taksiran.
Orang-orang yang mempunyai piutang terhadap si meninggal, oleh
undang-undang diberikan hak untuk mengadakan perlawanan terhadap pembagian
warisan selama piutang-piutang itu belum dilunasi. Hak untuk menantang
pembagian ini, diberikan kepada mereka, karena mereka hanya dapat menyita harta
peninggalan selama kekayaan si meninggal belum terbagi antara para ahli waris.
apabila kekayaan itu sudah terbagi maka mereka dapat menagih piutang kepada
ahli waris seorang demi seorang , masing-masing untuk jumlah piutang dibagi
sesuai bagian dalam warisan. Jika salah seorang ahli waris berhutang pada si
meninggal, maka ada yang mengatakan hutang itu harus juga dimasukkkan atau
dikembalikan.
H. Executeur
Testamentair dan Bewindvoerder/Pengelola,
Executeur testamentair adalah pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh si pewaris, yang bertugas
mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh sesuai dengan
kehendak pewaris. Seorang manusia dalam hidupnya mengalami tiga peristiwa penting,
yaitu waktu dilahirkan, perkawinan dan pada waktu ia meninggal dunia.
Ketika manusia meninggal dunia, maka beralihlah segala yang
ditinggalkan si almarhum kepada anggota keluarga yang ditinggalkan. Dalam
KUHPerdata dikenal dua Cara untuk menjadi ahli waris, yaitu menurut
Undang-undang dan penunjukan dalam surat wasiat atau testament. Dalam hal
mewaris dengan ketentuan testamen, pewaris dapat menentukan siapa-siapa yang
dapat menggantikan atas harta kekayaan yang ditinggalkannya. Pewasiat juga
dapat mengangkat seseorang sebagai pelaksana wasiat yang bertugas mengawasi
bahwa wasiat itu dilaksanakan sesuai dalam surat wasiat.
Seorang pelaksana wasiat berkewajiban untuk menyelenggarakan
sebaik-baiknya kepentingan ahli waris yang dipercayakan kepadanya oleh si
pewaris. Pelaksanaan atas suatu wasiat bagi ahli warisnya dalam suatu kasus,
mungkin terdapat masalah, misalkan apakah tindakan pelaksana wasiat dalam suatu
kasus telah sesuai dengan isi wasiat. Mengapa Pengadilan dapat menetapkan
pelaksana wasiat berhak untuk menjual obyek wasiat si penerima wasiat.
Apapun alasannya, siapapun yang menjadi pelaksana wasiat adalah
salah jika pelaksana wasiat melanggar isi dari wasiat dan bertindak atas
kemauannya sendiri sehingga merugikan kepentingan si penerima wasiat dan
menerima hasil penjualan warisan tersebut untuk kepentingan pribadinya.
Dalam hal memberikan penetapan, Hakim tidak berdasarkan pada
kepentingan si pewaris dalam wasiatnya, hak ahli waris atas wasiat si pewaris
dan aturan-aturan yang membatasi hak dan kewajiban seorang pelaksanan wasiat. Oleh
karenanya, ajakan bagi kita semua [terutama sarjana hukum dan praktisi hukum]
untuk kembali mendalami hukum waris sehingga dapat memberikan penerangan serta
penjelasan yang baik mengenai hukum waris kepada masyarakat.
Bewindvoerder/Pengelola adalah
seorang yang ditentukan dalam wasiat untuk mengurus kekayaan (harta
peninggalan) sehingga para ahli waris/legataris hany menerima penghasilan dari
harta peninggalan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kekayaan
(harta peninggalan) tersebut dihabiskan dalam waktu singkat oleh para ahli
waris/legataris.
I. Harta Warisan Tak Terurus
Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorang pun ahli
waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tak seorang pun yang menolak
warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak
terurus. Dalam keadaaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta
Peninggalan wajib (Weeskamer)
mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan
kepada kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah
suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus
oleh hakim.
Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai saat
terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai Harta
Peninggalan akan memberikan pertanggung jawaban atas pengurusan itu kepada
negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik
negara.
Kesimpulan
Perkembangan Hukum perdata di Indonesia sangat
bertolak ukur dan berkaitan kepada
perubahan dan keanekaragaman sosial dan budaya. Dalam hal penyelesaian sengketa
soal perdata, negara kita berpedoman kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang telah terkodifikasi. Namun hingga saat ini, masih banyak golongan
masyarakat yang masih menjadikan hukum adat sebagai solusi penyelasaian
sengketa. Dan kita juga tidak bisa menutup mata bahwa sebagian besar
penduduk Indonesia adalah penganut
ajaran agama Islam, sehingga banyak metode penyelesaian sengketa yang telah
berpedoman kepada syariat Islam, seperti perkawinan, waris, perihal wakaf,
perbangkan, dan lainnya.
Hal di atas menjadi bukti bahwa KUHPerdata
yang sekarang kita pegang sudah tidak relevan dan membutuhkan revisi. Ini
menjadi tugas pemerintah untuk segera membentuk kodifikasi hukum nasional yang
bisa diterima oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan ini kami dapat menyimpulkan,
bahwa Indonesia saat ini belum memilliki rujukan nasional dalam menyelesaikan sengketa.
Dalam perihal waris saja, berlaku istilah “Tergantung kepada hukumnya si
pewaris/yang meninggalkan waris. Apabila si pewaris adalah orang asli Indonesia
yang berpegang teguh kepada hukum adatnya, maka berlaku baginya hukum adat
tersebut. Jika si pewaris adalah seorang muslim, maka berlaku baginya kompilasi
hukum Islam. sedangkan yang lainnya berpedoman kepada KUHPerdata.
Akan tetapi menurut penulis, dalam penyelesaian
hukum waris, al-Quran lah pedoman yang tepat dan sangat relevan. Islam membawa
perubahan sekaligus sebagai pembaharu dalam setiap sudut kehidupan manusia.
Hingga saat ini, Indonesia yang beranheka tunggal ika mulai dapat menerima
hukum islam, khususnya dalam perihal perdata walaupun belum seluruhnya.
Daftar Pusaka
Andhasasmitha, Komar. Hukum Harta Perkawinan dan Waris Menurut KUHPerdata Jawa Bara: Ikatan Notaris
Indonesia. 1987
Kansil, C.S.T. Modul Hukum Perdata (termasuk asas-asas hokum perdata). Jakarta: Pradnya Paramita. 2004
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia. Bandung: Refika
Aditama, 2007
Soerjopratiknjo, Hartono. Hukum Waris Testamenter. Yogyakarta:
Seksi Notariat Fakultas HukumUniversitas
Gajah Mada. 1984
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:
Intermasa. 2003
Suberti dan
Tjitro Sudibyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .
file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR.../HKM_WARIS_2.ppt
[5] C.S.T Kansil, Modul Hukum
Perdata (termasuk asas-asas hokum perdata), (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004) h. 153-154
[8] Subekti, Op.
Cit.,h.106-107.
[9] Subekti,
op.cit. h.109-112
[12]Komar Andhasasmitha, Notaris III, Hukum Harta Perkawinan dan Waris
Menurut KUHPerdata. (Ikatan Notaris Indonesia: Jawa Barat 1987). h. 143
[13] Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter. (Seksi Notariat Fakultas HukumUniversitas Gajah
Mada: Yogyakarta,1984), h. 109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar