Pos Penjaga
di Bawah Beringin
Ngatabaru, Palu,
Pondok Modern Al-Istiqomah pukul delapan pagi.
Suasana bising di
jalan-jalan kota Bogor, suara klakson kendaraan bermotor, disertai asap yang
keluar mencemari udara segar terasa akrab selalu menemaniku mengawali semangat pagiku. Perbedaan yang sangat
mencolok sedang kurasakan di dataran tinggi Ngatabaru, tempat kakiku berpijak
saat pagi ini. Suasana hati yang tak ternilai ini terasa abadi dan nyaman
mengingatkan masa SMP ku yang masih begitu luguh, kurang mengerti tentang apa
itu cinta.
“Go to your
classes! Izhabuu wala tataakharuu! Suara melengking
para guru menambah kangenku akan saat-saat belajar di kelas.
Tempat ini memang
sudah tak asing lagi bagiku. Namun begitu banyak perubahan yang menghiasi
setelah kepergianku selama enam tahun. Gapura yang dulunya hanya berdiri kokoh
dengan ukiran kayu mahoni, kini kian semakin indah, tegak dengan bongkahan batu
berlapiskan marmer putih, dan bertuliskan “Ahlan wa sahlan biqudumikum ila
hazda al-ma’had al-syarif”.
Aku pun teringat
akan suatu tempat yang pastinya berada tepat setelah kulewati gapura ini. “Iya,
ini pasti tempatnya!” ucapku begitu yakin sambil mengarahkan telunjukku ke arah
sebuah pohon beringin yang masih kokoh berdiri.
Pos penjaga yang sudah
terlihat tua. Warna pudar berlumut sangat terlihat melapisi sebagian dinding
pos yang hanya berukuran tiga kali setengah meter. Tempat ini memang sudah
menjadi favorit para santri. Antrian rebutan menjadi pos penjaga seakan menjadi
hal yang diidamkan kami kala itu. Apalagi menjelang hari jumat, hari di mana
para santriwati melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler berupa lari pagi bersama.
Hal yang sangat jarang dirasakan para santri untuk melihat wajah-wajah bidadari
penerus Siti Khadijah kecuali berdiri di bawah beringin sembari melihat
keindahan kecantikan kaum hawa di balik pos penjaga.
Aku pun duduk
tersandar, sambil tertawa mengingat kenangan-kenangan lucu yang pernah kualami.
Perutku pun tak kuasa menahan gelitikan kenangan tawa di masa lalu.
Beberapa menit
kemudian, pandanganku terarah kepada sosok wanita berkerudung abu-abu, dengan
buku-buku tergenggam erat pada tangan kanannya, berjalan ke arah kelas di pojok
Gedung Madeena. Keraguan yang diselimuti keingintahuan muncul hendak menyapa.
“Emh.....emh....ustadzah!”
Ujarku ragu-ragu.
Ia menoleh, sambil
menatap ke arahku, dan masya Allah, senyumnya yang manis ternyata masih
sama seperti dia pertama kali menyapaku. Lesungan pipi yang menawan seakan
menambah keyakinan akan ciri khas senyumnya yang menggoda.
“Ini, De Maisaroh
kan?” sapaku dengan penuh keyakinan.
“Iya, saya sendiri.
Emh....emh ...anda, Ka Azhar kan?” sapanya dengan ragu-ragu namun tetap manis.
“Tepat sekali! Kamu
lupa ya sama aku ?” ujarku lagi.
“Habisnya, kamu
tambah tinggi sih. Dulu aja, aku hanya setelinga kamu, eh sekarang malah
sepundak kamu.”Jawabnya sambil melesungkan pipinya yang manis.
Kami terdiam
sejenak. Saling menetap dan tersenyum.
“Sepertinya,
garisan takdir memang lagi berpihak ke aku ya, untuk ketemu kamu lagi. Padahal
niat awal hanya ingin berkunjung ke pondok. Eh taunya kamu masih di sini,” ujarku
sambil merayu.
Dia pun tersenyum.
Aku mulai berani bertanya.
“Sudah enam tahun
ya, nggak ketemu. Tapi kamu masih seperti Maisaraohku yang dulu,” ujarku lagi
lebih merayu.
“Ih....Ka Azhar, ngerayu
melulu nih. Aku kan udah jadi ustazdah sekarang, jaga image dikit dong,”sambutnya
tersipu malu.
Kami terbahak
bersama. Mengingat masa-masa indah bersama.
Aku mengajaknya
duduk di bawah beringin ini, dalam pos penjaga yang merupakan tempat pertama aku
menerima surat darinya. Suasana waktu itu pun sangat mendukung, seakan takdir
berpihak kepada kami untuk berduaan mengingat masa-masa yang penuh dengan
kenangan indah. Para santri/wati yang sedang belajar di dalam kelas, menambah
suasana yang sepi namun hangat untuk kami terus bercengkrama.
Hatiku memang selalu terasa hangat saat disapanya,
sama seperti pertama kali melihatnya. Iya, ya. Tatapan pertamanya sama seperti
ia menatapku pagi ini, duduk berdua di dalam pos penjaga. Hanya saja ketika itu
aku sedang menjaga pos dan ia sedang menyapu halaman rumah Pak Kyai. Usaha
untuk mengenal dia pada pertama kalinya, tak susah kudapatkan. Dengan nekat aku
menghampirinya, sambil pura-pura bertanya.
“Ukhti! Kamu kenal ukhti Diana,
nggak? Ada Ayahnya yang datang hendak mengunjunginya,” tanyaku berharap
jawaban darinya.
“Iya, aku kenal. Tapi dia sedang sakit
sekarang,” jawabnya dengan lembut.
“Oh, ya!” ujarku terkejut.
Aku pun segera menghampiri Ayah Diana yang
telah menunggu cukup lama.
“Maaf, Ayah Diana ya?” tanyaku dengan sopan.
“Iya. Kok nggak datang sama Diana?”
jawabnya dengan balik bertanya kepadaku .
“Begini Pak, anak Bapak sedang sakit sekarang
dan terbaring lemah di kamarnya.”
“Kalo begitu, aku ingin kesana. Tapi
sebelumnya, Bapak ingin minta tolong, untuk membawakan seluruh barang Diana
yang ada di dalam mobil ini. Bisa, kan?” ujarnya dengan penuh kecemasan.
“Oh, tentu bisa Pak.” Jawabku dengan tegas.
Karena barang-barangnya begitu banyak. Aku
pun menjadikan ini kesempatan untuk lebih mengenal lebih ukhti yang tadi
memberitahukan bahwa Diana sedang sakit.
“Ukhti! Bisa kesini sebentar, nggak?
Barang-barang Diana terlalu banyak nih,
aku kan juga nggak bisa nganterin sampai ke dalam kamar. Mau, ya?” ujarku
sambil memohon.
“Ya udah, gimana lagi, demi ukhti Diana aku
mau kok. Oh, iya barang-barangnya di mana?”
Kami menghampiri mobil ayah Diana. Rasa berat
mengangkat barang-barang tersebut pun seolah hilang di telan kenyamanan berada
di sampingnya dan bau parfum yang harumnya sangat menyengat.
“Oh, iya ukhti. Kita kan belum saling
kenal! Namaku Azhar, kalo kamu?” tanyaku dengan tetap menatap ke
arah depan.
“Iya, ya. Aku juga belum kenal nama kamu,
salam kenal, nama aku Maisaroh,” ujarnya sambil tersipu malu.
Tak terasa, barang-barang pun telah sampai di
depan kamar Diana. Aku pun berpisah dan kembali mengerjakan tugasku di pos
penjaga. Perkenalan yang hanya sesaat itu tak pernah terlupakan dan selalu
terpikirkan hingga adzan zuhur tiba. Kewajibanku sebagai muslim ini
kudahulukan. Kutinggalkan pos penjaga dan bersegera pergi ke masjid demi pahala
berlipat ganda dalam jamaah. Kesempatan kedua untuk lebih mengenalnya pun
selalu terpikirkan olehku. Selembar kertas dan pena tak lupa kusisipkan ke
dalam saku kemejaku.
***
Suara para santri/wati yang sedang berzikir
seusai salat, menambah kekhusyuan dan kesempurnaan ritual ibadah salat zuhur di
siang ini. Panasnya sengatan matahari di luar masjid tak begitu menggerahkan
para pencari pahala, bahkan berbalik
menjadi adem dan nyaman saat berzikir. Namun entah apa yang ada
di pikiranku. Aku terus teringat pada senyumnya dan susah terlupakan. Pikiranku
yang tadinya sibuk berzikir teralihkan begitu saja karena teringat akan
dirinya.
Kuambil selembar kertas beserta pena dari
sakuku, dan mulai kugoreskan segala isi hatiku. Rayuan gombal pun tak luput
dari goresan penaku. Namun keraguan mulai timbul, rasa bingung dan tanda tanya
menyertaiku. Apakah dia akan menerima suratku ini? Atau sebaliknya?
Kejantananku harus di pertanyakan, aku pun memberanikan diri tanpa memikirkan
resiko.
Segera kumencari
celah dan waktu yang tepat agar usahaku ini tak terlihat. Aku pun menunggu
ucapan salam penutup, tanda berakhirnya omongan Pak Kyai dan berarti
para santri/wati akan segera meninggalkan masjid. Aku pun segera bergerak ke
pintu sebelah kanan masjid yang jaraknya paling dekat dengan pintu keluar
santriwati. Untungnya ukhti Maisaroh tepat berdiri paling belakang rombongan
yang hendak keluar dan mengambil al-Quran yang tersusun rapi di atas rak .
Dengan cepat kumencari al-Quran yang bertuliskan namanya, alhamdulillah,
akhirnya akupun menemukannya. Segera mungkin kuselipkan surat yang telah
tertutupi amplop ke dalam al-Qurannya, dengan harapan agar dia segera
membalasnya.
***
Jam
tanganku menandakan pukul dua, berarti telah sejam aku menunggu balasan
darinya. Rasa haus dan lapar seakan hilang terselimuti kecemasan yang tak
berujung. Menit per menit pun telah kulalui, jam per jam terasa bagaikan
tahunan yang tak terhitung. Akalku mulai tak sadar, kelopak kedua mataku seakan
berat setengah mati menahan rasa ngantuk yang begitu menggoda. Pos ini terasa
begitu hangat dan nyaman untuk menjadi pelampiasan ngantukku. Meja yang begitu
keras seolah empuk, pengganti bantal tumpuan kepalaku. Aku pun terlelap dalam mimpi sesaat
ini, berharap dia datang membalas isi hatiku.
“Zar..!
Zar...! Bangun! Ini aku .....Maisaroh,” ucapnya sangat hati-hati.
Aku
tersadar seketika, kutengok jam tanganku menandakan pukul sebelas malam. Kupukul
kedua pipiku, kutarik kulit tanganku. “Auhh...sakit,” ujarku sambil membuka
perlahan kelopak mataku. Tiba-tiba seseorang bidadari yang kuharapkan hadir di
mimpiku, kini berdiri tepat di hadapanku. Aku pun tambah salah tingkah, ketika
melihat senyumnya dan lesungan pipinya yang sangat indah, seindah rembulan yang
sedang memperhatikan dua sejoli lagi falling in love.
“Ini,
balasan dariku....maaf menunggu lama ya,”sapanya sambil tersenyum.
Aku
hanya terdiam, tak bisa berkata-kata, terpesona dengan perkataan lembutnya,
semerdu suara burung perkutut. Dia pun
segera berbalik badan sambil menoleh tersenyum kepadaku dan pulang dengan
tergesah-gesah agar tak ada yang melihat. Dengan segera ku buka amplopnya, dan ku baca isi surat
itu perlahan-lahan, kata demi kata. Hatiku semakin berdebar-debar seiring lidahku
berpindah ke lain kata. Dengan spontan kurasakan kebahagiaan yang sangat
dahsyat dalam hatiku. Perjuanganku akhirnya memberikan hasil yang lebih, bahkan
double. Dia menerimaku dan mengajak berlibur bersama di akhir pekan
nanti.
Hubungan
ini berjalan tanpa hambatan, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Hingga pada
akhirnya kelulusanku yang lebih awal darinya menjadi pemisah yang tak kami
inginkan.
***
Jumat
pukul sebelas malam. Sesuai dengan waktu dan suasana di mana dia membalas
suratku, aku pun harus memutuskannya. Secara batin, sebenarnya hal ini sangat
menyakitkan tapi aku harus mengatakannya agar tidak lebih menyakitkan di akhir
nanti.
“Sar,
esok hari, aku akan lanjut studi di Jakarta.”
“Wah,
bagus dong, kak! Masa depan kita akan cerah nantinya, di sana pasti banyak
orang-orang pintar dan dermawan,” ujarnya dengan ceria.
Aku
pun bingung ingin mengatakannya, melihat rasa cintanya yang begitu dalam.
“De Sarah.....sepertinya
hubungan kita berakhir sampai di sini saja, ya!” Ujarku dihantui rasa sakit dan
sedih.
Dia
diam sejenak, menarik nafasnya dalam-dalam, terlihat shock di hadapanku
dan begitu lemas mendengarkan keputusan yang aku ucapkan barusan.
“Kenapa
harus berakhir begini,....Kak!” ucapnya dengan sedih berliang air mata.
Dia pun berlari,
sambil menangis tertahan-tahan agar tak terdengar yang lain. Jawaban pun tak
terucap olehnya, hanya rasa sedih, dan marah yang terlihat darinya dan itu
dapat aku rasakan. Perpisahan ini, adalah pertemuan terakhir yang aku rasakan
bersamanya, dalam pos penjaga di bawah beringin.
***
Sejak saat itulah, aku
berpisah dengannya. Aku rindu senyumya, candanya, lesungan pipinya ketika
tertawa, dan bau perfumnya yang seharum Melati. Tapi semua itu seakan kembali
kurasakan, karena dia sekarang berada di sampingku.
“ Sar, sekarang lagi
ngajar apa?” tanyaku sambil tersenyum.
“ Ngajar Bahasa
Indonesia, Aa,” ujarnya dengan melesungkan pipinya.
Aku pun
berbincang-bincang dengannya, mengingat kembali masa-masa lalu kami yang begitu
indah. Tawaan, candaan seolah merajut kembali perpisahan kami yang tak
teringinkan.
“Aa, lagi sibuk apa
sekarang?” ujaranya begitu riang.
“Ohh, Aa, lagi sibuk
persiapan, buat S2 di Australia,” jawabku sambil menatap kedua matanya.
Hatiku menginginkan
agar dia hendak mau ikut bersamaku ke negeri kanguru itu.
“Ehh,,,ehh,,,sebenarnya,
maksud Aa ke sini, ingin mengajak De Sarah ikut bersama Aa,” ucapku dengan
penuh keberanian, sambil menoleh ke jari-jarinya yang belum terlihat sebuah
cincin, pertanda bahwa ia masih menungguku.
Aku pun terus
merayunya, agar mau pergi dan hidup bersamaku.
“Tapi, janji ya.
Jangan tinggalkan aku seperti dulu, Aa meninggalkanku sendirian,” sapanya
dengan tersenyum, pertanda akan kemauannya.
“Jadi, kamu mau!”
ujarku dengan penuh semangat.
“Ehm,,,,gimana ya? Iya
, deh aku mau!” jawabnya dengan penuh keyakinan.
Rasa senang ini hampir
sama seperti dia pertama kalinya menerima tembakanku. Namun, lebih
berasa,,,,gimana,,,,gitu.
Di pos penjaga ini,
kumulai kisah cintaku, dan berakhir pula. Namun, di sinilah awal kehidupanku
mulai bersemi bersamanya selamanya,
sehidup semati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar