Rabu, 11 September 2013

Kisah Cinta yang Singkat di Ngatabaru



Pos Penjaga di Bawah Beringin

Ngatabaru, Palu, Pondok Modern Al-Istiqomah pukul delapan pagi.
Suasana bising di jalan-jalan kota Bogor, suara klakson kendaraan bermotor, disertai asap yang keluar mencemari udara segar terasa akrab selalu menemaniku mengawali  semangat pagiku. Perbedaan yang sangat mencolok sedang kurasakan di dataran tinggi Ngatabaru, tempat kakiku berpijak saat pagi ini. Suasana hati yang tak ternilai ini terasa abadi dan nyaman mengingatkan masa SMP ku yang masih begitu luguh, kurang mengerti tentang apa itu cinta.
“Go to your classes! Izhabuu wala tataakharuu! Suara melengking para guru menambah kangenku akan saat-saat belajar di kelas.
Tempat ini memang sudah tak asing lagi bagiku. Namun begitu banyak perubahan yang menghiasi setelah kepergianku selama enam tahun. Gapura yang dulunya hanya berdiri kokoh dengan ukiran kayu mahoni, kini kian semakin indah, tegak dengan bongkahan batu berlapiskan marmer putih, dan bertuliskan “Ahlan wa sahlan biqudumikum ila hazda al-ma’had al-syarif”.
Aku pun teringat akan suatu tempat yang pastinya berada tepat setelah kulewati gapura ini. “Iya, ini pasti tempatnya!” ucapku begitu yakin sambil mengarahkan telunjukku ke arah sebuah pohon beringin yang masih kokoh berdiri.
Pos penjaga yang sudah terlihat tua. Warna pudar berlumut sangat terlihat melapisi sebagian dinding pos yang hanya berukuran tiga kali setengah meter. Tempat ini memang sudah menjadi favorit para santri. Antrian rebutan menjadi pos penjaga seakan menjadi hal yang diidamkan kami kala itu. Apalagi menjelang hari jumat, hari di mana para santriwati melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler berupa lari pagi bersama. Hal yang sangat jarang dirasakan para santri untuk melihat wajah-wajah bidadari penerus Siti Khadijah kecuali berdiri di bawah beringin sembari melihat keindahan kecantikan kaum hawa di balik pos penjaga.
Aku pun duduk tersandar, sambil tertawa mengingat kenangan-kenangan lucu yang pernah kualami. Perutku pun tak kuasa menahan gelitikan kenangan tawa di masa lalu.
Beberapa menit kemudian, pandanganku terarah kepada sosok wanita berkerudung abu-abu, dengan buku-buku tergenggam erat pada tangan kanannya, berjalan ke arah kelas di pojok Gedung Madeena. Keraguan yang diselimuti keingintahuan muncul hendak menyapa.
“Emh.....emh....ustadzah!” Ujarku ragu-ragu.
Ia menoleh, sambil menatap ke arahku, dan masya Allah, senyumnya yang manis ternyata masih sama seperti dia pertama kali menyapaku. Lesungan pipi yang menawan seakan menambah keyakinan akan ciri khas senyumnya yang menggoda.
“Ini, De Maisaroh kan?” sapaku dengan penuh keyakinan.
“Iya, saya sendiri. Emh....emh ...anda, Ka Azhar kan?” sapanya dengan ragu-ragu namun tetap manis.
“Tepat sekali! Kamu lupa ya sama aku ?” ujarku lagi.
“Habisnya, kamu tambah tinggi sih. Dulu aja, aku hanya setelinga kamu, eh sekarang malah sepundak kamu.”Jawabnya sambil melesungkan pipinya yang manis.
Kami terdiam sejenak. Saling menetap dan tersenyum.
“Sepertinya, garisan takdir memang lagi berpihak ke aku ya, untuk ketemu kamu lagi. Padahal niat awal hanya ingin berkunjung ke pondok. Eh taunya kamu masih di sini,” ujarku sambil merayu.
Dia pun tersenyum. Aku mulai berani bertanya.
“Sudah enam tahun ya, nggak ketemu. Tapi kamu masih seperti Maisaraohku yang dulu,” ujarku lagi lebih merayu.
“Ih....Ka Azhar, ngerayu melulu nih. Aku kan udah jadi ustazdah sekarang, jaga image dikit dong,”sambutnya tersipu malu.
Kami terbahak bersama. Mengingat masa-masa indah bersama.
Aku mengajaknya duduk di bawah beringin ini, dalam pos penjaga yang merupakan tempat pertama aku menerima surat darinya. Suasana waktu itu pun sangat mendukung, seakan takdir berpihak kepada kami untuk berduaan mengingat masa-masa yang penuh dengan kenangan indah. Para santri/wati yang sedang belajar di dalam kelas, menambah suasana yang sepi namun hangat untuk kami terus bercengkrama.
   Hatiku memang selalu terasa hangat saat disapanya, sama seperti pertama kali melihatnya. Iya, ya. Tatapan pertamanya sama seperti ia menatapku pagi ini, duduk berdua di dalam pos penjaga. Hanya saja ketika itu aku sedang menjaga pos dan ia sedang menyapu halaman rumah Pak Kyai. Usaha untuk mengenal dia pada pertama kalinya, tak susah kudapatkan. Dengan nekat aku menghampirinya, sambil pura-pura bertanya.
   “Ukhti! Kamu kenal ukhti Diana, nggak? Ada Ayahnya yang datang hendak mengunjunginya,” tanyaku berharap jawaban darinya.
   “Iya, aku kenal. Tapi dia sedang sakit sekarang,” jawabnya dengan lembut.
   “Oh, ya!” ujarku terkejut.
   Aku pun segera menghampiri Ayah Diana yang telah menunggu cukup lama.
   “Maaf, Ayah Diana ya?” tanyaku dengan sopan.
   “Iya. Kok nggak datang sama Diana?” jawabnya dengan balik bertanya kepadaku .
   “Begini Pak, anak Bapak sedang sakit sekarang dan terbaring lemah di kamarnya.”
   “Kalo begitu, aku ingin kesana. Tapi sebelumnya, Bapak ingin minta tolong, untuk membawakan seluruh barang Diana yang ada di dalam mobil ini. Bisa, kan?” ujarnya dengan penuh kecemasan.
   “Oh, tentu bisa Pak.” Jawabku dengan tegas.
   Karena barang-barangnya begitu banyak. Aku pun menjadikan ini kesempatan untuk lebih mengenal lebih ukhti yang tadi memberitahukan bahwa Diana sedang sakit.
   Ukhti! Bisa kesini sebentar, nggak? Barang-barang  Diana terlalu banyak nih, aku kan juga nggak bisa nganterin sampai ke dalam kamar. Mau, ya?” ujarku sambil memohon.
   “Ya udah, gimana lagi, demi ukhti Diana aku mau kok. Oh, iya barang-barangnya di mana?”
   Kami menghampiri mobil ayah Diana. Rasa berat mengangkat barang-barang tersebut pun seolah hilang di telan kenyamanan berada di sampingnya dan bau parfum yang harumnya sangat menyengat.
   “Oh, iya ukhti. Kita kan belum saling kenal! Namaku Azhar, kalo kamu?” tanyaku dengan tetap menatap ke arah  depan.
   “Iya, ya. Aku juga belum kenal nama kamu, salam kenal, nama aku Maisaroh,” ujarnya sambil tersipu malu.
   Tak terasa, barang-barang pun telah sampai di depan kamar Diana. Aku pun berpisah dan kembali mengerjakan tugasku di pos penjaga. Perkenalan yang hanya sesaat itu tak pernah terlupakan dan selalu terpikirkan hingga adzan zuhur tiba. Kewajibanku sebagai muslim ini kudahulukan. Kutinggalkan pos penjaga dan bersegera pergi ke masjid demi pahala berlipat ganda dalam jamaah. Kesempatan kedua untuk lebih mengenalnya pun selalu terpikirkan olehku. Selembar kertas dan pena tak lupa kusisipkan ke dalam saku kemejaku.
***
   Suara para santri/wati yang sedang berzikir seusai salat, menambah kekhusyuan dan kesempurnaan ritual ibadah salat zuhur di siang ini. Panasnya sengatan matahari di luar masjid tak begitu menggerahkan para pencari pahala, bahkan berbalik  menjadi adem dan nyaman saat berzikir. Namun entah apa yang ada di pikiranku. Aku terus teringat pada senyumnya dan susah terlupakan. Pikiranku yang tadinya sibuk berzikir teralihkan begitu saja karena teringat akan dirinya.
   Kuambil selembar kertas beserta pena dari sakuku, dan mulai kugoreskan segala isi hatiku. Rayuan gombal pun tak luput dari goresan penaku. Namun keraguan mulai timbul, rasa bingung dan tanda tanya menyertaiku. Apakah dia akan menerima suratku ini? Atau sebaliknya? Kejantananku harus di pertanyakan, aku pun memberanikan diri tanpa memikirkan resiko.
Segera kumencari celah dan waktu yang tepat agar usahaku ini tak terlihat. Aku pun menunggu ucapan salam penutup, tanda berakhirnya omongan Pak Kyai dan berarti para santri/wati akan segera meninggalkan masjid. Aku pun segera bergerak ke pintu sebelah kanan masjid yang jaraknya paling dekat dengan pintu keluar santriwati. Untungnya ukhti Maisaroh tepat berdiri paling belakang rombongan yang hendak keluar dan mengambil al-Quran yang tersusun rapi di atas rak . Dengan cepat kumencari al-Quran yang bertuliskan namanya, alhamdulillah, akhirnya akupun menemukannya. Segera mungkin kuselipkan surat yang telah tertutupi amplop ke dalam al-Qurannya, dengan harapan agar dia segera membalasnya.
***
                Jam tanganku menandakan pukul dua, berarti telah sejam aku menunggu balasan darinya. Rasa haus dan lapar seakan hilang terselimuti kecemasan yang tak berujung. Menit per menit pun telah kulalui, jam per jam terasa bagaikan tahunan yang tak terhitung. Akalku mulai tak sadar, kelopak kedua mataku seakan berat setengah mati menahan rasa ngantuk yang begitu menggoda. Pos ini terasa begitu hangat dan nyaman untuk menjadi pelampiasan ngantukku. Meja yang begitu keras seolah empuk, pengganti bantal tumpuan kepalaku. Aku pun terlelap dalam mimpi sesaat ini, berharap dia datang membalas isi hatiku.
                “Zar..! Zar...! Bangun! Ini aku .....Maisaroh,” ucapnya sangat hati-hati.
                Aku tersadar seketika, kutengok jam tanganku menandakan pukul sebelas malam. Kupukul kedua pipiku, kutarik kulit tanganku. “Auhh...sakit,” ujarku sambil membuka perlahan kelopak mataku. Tiba-tiba seseorang bidadari yang kuharapkan hadir di mimpiku, kini berdiri tepat di hadapanku. Aku pun tambah salah tingkah, ketika melihat senyumnya dan lesungan pipinya yang sangat indah, seindah rembulan yang sedang memperhatikan dua sejoli lagi falling in love.
                “Ini, balasan dariku....maaf menunggu lama ya,”sapanya sambil tersenyum.
                Aku hanya terdiam, tak bisa berkata-kata, terpesona dengan perkataan lembutnya, semerdu  suara burung perkutut. Dia pun segera berbalik badan sambil menoleh tersenyum kepadaku dan pulang dengan tergesah-gesah agar tak ada yang melihat. Dengan segera ku buka amplopnya, dan ku baca isi surat itu perlahan-lahan, kata demi kata. Hatiku semakin berdebar-debar seiring lidahku berpindah ke lain kata. Dengan spontan kurasakan kebahagiaan yang sangat dahsyat dalam hatiku. Perjuanganku akhirnya memberikan hasil yang lebih, bahkan double. Dia menerimaku dan mengajak berlibur bersama di akhir pekan nanti.
                Hubungan ini berjalan tanpa hambatan, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Hingga pada akhirnya kelulusanku yang lebih awal darinya menjadi pemisah yang tak kami inginkan.
***
                Jumat pukul sebelas malam. Sesuai dengan waktu dan suasana di mana dia membalas suratku, aku pun harus memutuskannya. Secara batin, sebenarnya hal ini sangat menyakitkan tapi aku harus mengatakannya agar tidak lebih menyakitkan di akhir nanti.
                “Sar, esok hari, aku akan lanjut studi di Jakarta.”
                “Wah, bagus dong, kak! Masa depan kita akan cerah nantinya, di sana pasti banyak orang-orang pintar dan dermawan,” ujarnya dengan ceria.
                Aku pun bingung ingin mengatakannya, melihat rasa cintanya yang begitu dalam.
“De Sarah.....sepertinya hubungan kita berakhir sampai di sini saja, ya!” Ujarku dihantui rasa sakit dan sedih.
                Dia diam sejenak, menarik nafasnya dalam-dalam, terlihat shock di hadapanku dan begitu lemas mendengarkan keputusan yang aku ucapkan barusan.
                “Kenapa harus berakhir begini,....Kak!” ucapnya dengan sedih berliang air mata.
Dia pun berlari, sambil menangis tertahan-tahan agar tak terdengar yang lain. Jawaban pun tak terucap olehnya, hanya rasa sedih, dan marah yang terlihat darinya dan itu dapat aku rasakan. Perpisahan ini, adalah pertemuan terakhir yang aku rasakan bersamanya, dalam pos penjaga di bawah beringin.
***
Sejak saat itulah, aku berpisah dengannya. Aku rindu senyumya, candanya, lesungan pipinya ketika tertawa, dan bau perfumnya yang seharum Melati. Tapi semua itu seakan kembali kurasakan, karena dia sekarang berada di sampingku.
“ Sar, sekarang lagi ngajar apa?” tanyaku sambil tersenyum.
“ Ngajar Bahasa Indonesia, Aa,” ujarnya dengan melesungkan pipinya.
Aku pun berbincang-bincang dengannya, mengingat kembali masa-masa lalu kami yang begitu indah. Tawaan, candaan seolah merajut kembali perpisahan kami yang tak teringinkan.
“Aa, lagi sibuk apa sekarang?” ujaranya begitu riang.
“Ohh, Aa, lagi sibuk persiapan, buat S2 di Australia,” jawabku sambil menatap kedua matanya.
Hatiku menginginkan agar dia hendak mau ikut bersamaku ke negeri kanguru itu.
“Ehh,,,ehh,,,sebenarnya, maksud Aa ke sini, ingin mengajak De Sarah ikut bersama Aa,” ucapku dengan penuh keberanian, sambil menoleh ke jari-jarinya yang belum terlihat sebuah cincin, pertanda bahwa ia masih menungguku.
“Wah, gimana ya,” jawabnya dengan ragu-ragu.
Aku pun terus merayunya, agar mau pergi dan hidup bersamaku.
“Tapi, janji ya. Jangan tinggalkan aku seperti dulu, Aa meninggalkanku sendirian,” sapanya dengan tersenyum, pertanda akan kemauannya.
“Jadi, kamu mau!” ujarku dengan penuh semangat.
“Ehm,,,,gimana ya? Iya , deh aku mau!” jawabnya dengan penuh keyakinan.
Rasa senang ini hampir sama seperti dia pertama kalinya menerima tembakanku. Namun, lebih berasa,,,,gimana,,,,gitu.
Di pos penjaga ini, kumulai kisah cintaku, dan berakhir pula. Namun, di sinilah awal kehidupanku mulai bersemi bersamanya selamanya, sehidup semati.


               
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar