Rabu, 11 September 2013

Kebuntuan Century



Sejenak Tentang Century (Sekarang Bank Mutiara)



Tahun 1989 Robert Tantular mendirikan Bank Century Intervest Corporation (Bank CIC). Namun, sesaat setelah Bank CIC melakukan penawaran umum terbatas alias rights issue pertama pada Maret 1999, Robert Tantular dinyatakan tidak lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Bank Indonesia. Pada tahun 2004 Dari merger Bank Danpac, Bank Pikko, dan Bank CIC berdirilah Bank Century. Mantan Deputi Senior Bank Indonesia Anwar Nasution disebut-sebut ikut andil berdirinya bank tersebut. Tanggal 6 Desember 2004 Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengesahkan Bank Century. Kemudian tahun 2008 Beberapa nasabah besar Bank Century menarik dana yang disimpan di bank besutan Robert Tantular itu, sehingga Bank Century mengalami kesulitan likuiditas.
Dintara nasabah besar itu adalah Budi Sampoerna,PT Timah Tbk, dan PT Jamsostek. Dan pada 23 November 2008 Lembaga penjamin langsung mengucurkan dana Rp 2,776 triliun kepada Bank Century. Bank Indonesia menilai CAR sebesar 8 persen dibutuhkan dana sebesar Rp 2,655 triliun. Dalam peraturan lembaga penjamin, dikatakan bahwa lembaga dapat menambah modal sehingga CAR bisa mencapai 10 persen, yaitu Rp 2,776 triliun. 26 November 2008 Robert Tantular ditangkap di kantornya di Gedung Sentral Senayan II lantai 21 dan langsung ditahan di Rumah Tahanan Markas Besar Polri. Robert diduga mempengaruhi kebijakan direksi sehingga mengakibatkan Bank Century gagal kliring. Pada saat yang sama, Maryono mengadakan pertemuan dengan ratusan nasabah Bank Century untuk meyakinkan bahwa simpanan mereka masih aman.
Membengkaknya suntikan modal dari Lembaga Penjamin Simpanan ke Bank Century hingga Rp 6,7 triliun memaksa keingintahuan Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal awalnya pemerintah hanya meminta persetujuan Rp 1,3 triliun untuk Bank Century.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan kepada DPR bahwa jika Bank Century ditutup akan berdampak sistemik pada perbankan Indonesia. Pada hari yang sama pula, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Riyanto menyatakan bahwa kasus Bank Century itu sudah ditingkatkan statusnya menjadi penyelidikan. Berbagai kejanggalan ditemukan dalam kasus tersebut. Bahkan KPK berencana menyergap seorang petiggi kepolisian yang diduga menerima suap dari kasus itu.
Kejanggalan semakin menguat ketika Badan Pemeriksa Keuangan laporan awal terhadap Bank Century sebanyak delapan halaman beredar luas di masyarakat. Laporan tersebut mengungkapkan banyak kelemahan dan kejanggalan serius di balik penyelamatan Bank Century dan ada dugaan pelanggaran kebijakan dalam memberikan bantuan ke Bank Century. Akibat kejanggalan temuan tersebut, Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung membentuk tim kecil untuk menggulirkan hak angket guna mengkaji kasus Bank Century. Lima hari kemudian, wacana pembentukan Panitia Khusus Hak Angket DPR untuk mengusut kasus Bank Century menjadi perdebatan di DPR, sehingga saat ini tim pansus belum menemukan titik terang mengenai kasus ini.

Tinjauan Beberapa Ahli Hukum Tata Negara Tentang Kasus ini
Sudah lebih dari dua tahun, DPR lewat pansusnya memutuskan ada pelanggaran hukum dalam penggolontoran dana talangan Bank Century, dan menyerahkan penanganannya ke KPK. Rekomendasi Pansus Bank Century DPR pada 2010 jelas menyebut sejumlah nama yang mesti bertanggung jawab dalam bailout Century yang sarat aroma tak sedap itu. Ada nama mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono yang kini wakil presiden. Ada pula nama Sri Mulyani, mantan menteri keuangan yang kini menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia. KPK diminta tegas terkait status mantan Gubernur BI Boediono dan Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pada tanggal 22 november 2012 Abraham Samad selaku ketua KPK mengatakan, bahwa boediono yang ketika itu menjabat sebagai gubernur BI pasti mengetahui pemberian dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun dan memiliki peran yang kuat dalam pemberian FPJP.
Pengamat hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra melihat ada norma hukum yang kosong jika benar KPK memeriksa boediono pasalnya, kata yusril, belum ada aturan soal boediono sebagai wapres saat diperiksa. Salah satu solusinya, boediono meminta nonaktif sebagai wapres. Atau presiden SBY mengeluarkan perpu khusus soal ini. Beliau menegaskan, proses hukum kasus bailout Century yang menyatakan Boediono bertanggung jawab sepatutnya diselesaikan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan di DPR. Itu karena proses dugaan kejahatan yang dilakukan Boediono dilakukan saat menjabat Gubernur Bank Indonesia bukan sebagai wakil presiden. “Kalau Pak Boediono saat menjabat sebagai wakil presiden melakukan dugaan korupsi, bisa saja itu dilakukan di DPR. Tetapi ini kan proses kejahatan yang disangkakannya saat menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Jadi kurang tepat (diselesaikan dengan cara Hak Menyatakan Pendapat," kata Yusril. Dan menurutnya SBY bisa dijadikan saksi bila itu diperlukan.
Pendapat berbeda datang dari pakar hukum tata negara Irman Putra sidin. Ia mengatakan, DPR harus segera menyelesaikan kasus bailout Bank Century dengan Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Jika tidak, itu berarti DPR telah melakukan sandera terhadap lembaga kepresidenan. "Karena penyelesaian kasus bailout Century hanya bisa dilakukan melalui ranah hukum konstitusi, yaitu melalui HMP. Jika tidak, DPR menyandera lembaga kepresidenan dan selamanya hubungan DPR dengan Presiden akan terus bergemuruh," kata dia. Irman menyatakan, apabila DPR tidak melakukan HMP dan menyerahkan kasus kepada KPK, itu berarti waktu penyelesaian kasus bailout Century akan memakan waktu lebih lama lagi. Hal ini tentu saja tidak produktif bagi kehidupan bernegara dan nama Wakil Presiden (Wapres) Boediono menjadi tersandera. "Penyelesaian kasus Century dengan cara HMP di DPR itu bukan berarti selesai secara politik. Penyelesaian itu ada di ranah hukum konstitusi. Tentunya akan lebih cepat karena DPR hanya perlu tiga atau empat bulan dari keputusan HMP untuk mendapatkan kepastian penyelesaian apakah benar bailout Century," ujarnya."Dalam konstitusi kita, presiden dan wapres tidak bisa dituntut melalui mekanisme penegakan hukum biasa. Inilah dua warga negara Indonesia yang memang memiliki privilege (keistimewaan) di dalam hukum," ujarnya. Irman menyatakan, selama Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono masih menjabat presiden dan wapres, mereka tak bisa dipidanakan. "Ini berlaku bagi semua WNI akan diperlakukan sama ketika dia menjadi presiden dan wapres," ujar Irman. Warga negara seperti itu, menurut Irman, hanya bisa disidik dan dituntut dengan menggunakan hak menyatakan pendapat langsung oleh rakyat melalui wakilnya di DPR. Oleh karena itu, menurut dia, adalah hal yang salah secara konstitusi jika DPR justru menyerahkan penyelesaian kasus ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Bandul penyelesaian kasus Bank Century itu tidak di mana-mana karena bandul itu hanya ada di DPR," katanya. Irman mengatakan, jika memang benar ada pelanggaran dalam pencairan dana talangan Bank Century, maka harus dilakukan melalui keputusan konstitusi. "Hanya melalui hak menyatakan pendapat masalah ini bisa diselesaikan. DPR inilah satu-satunya jalan menyelesaikan dan menuntaskan kasus ini secara konstitusional. Di luar itu tidak ada mekanisme lain," tegasnya. Pendapat ini sesuai dengan Rafly Harun, dan Jimly Asshiddiqie
Pakar Hukum Tata Negara, Margarito menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi bisa dianggap main-main apabila tidak berani 'menyentuh' Wakil Presiden Boediono dalam mengusut kasus bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Menurut Margarito, Undang-undang Dasar 1945 tidak memuat satu pasal pun yang memberi ketentuan hak istimewa kepada presiden dan wakil di depan hukum. "Semua sama. Wakil Presiden tidak memiliki imunitas,"terangdia.Margarito menilai Abraham Samad salah dalam menafisrkan undang-undang. Menurut Margarito, Pasal 7B UUD 1945 tidak bisa dijadikan landasan bagi KPK lari dari tanggungj awab membongkar kasus Century. "Ini soal perlakuan yang adil. Siapapun yang menurut bukti-bukti dinyatakan diperiksa, harus diperiksa," ungkapnya.Selain itu, kata Margarito, sebelum melemparkan 'bola panas' soal Boediono ke DPR, KPK pernah memeriksa mantan Menteri Keuangan era Presiden Megawati ini terkait kasus Century ketika masih berada di tahap penyelidikan. "KPK sudah pernan memeriksa Boediono beberapa waktu lalu. Jadi pernyataan Ketua KPK bertentangan dengan tindakan KPK sendiri," katanya.  Margarito Kamis menilai, "Kalau anda bicara pasal 7b itu berkaitan dengan sanksi, yang itu konteksnya proses konstitusional. Tapi sebaliknya yang mereka selidiki adalah kasus kriminal dan tindak kejahatan korupsi,"tegas Margarito.
Menurut Mahfud MD, tidak satupun pasal konstitusi mengatur perlakuan khusus kepada presiden dan wapres yang melakukan tindak pidana. Dia tidak sependapat DPR merupakan lembaga yang berhak memeriksa presiden dan wapres. Mahfud menegaskan, penanganan kasus korupsi secara hukum pidana dan hukum tata negara berbeda. Dalam hal kewenangan, MK bisa memeriksa dugaan korupsi kepala negara setelah mendapat rekomendasi dari DPR seperti diatur pasal 7b UUD 1945. Jadi produknya adalah hukum politik yang digunakan DPR untuk memakzulkan presiden atau wapres.
"MK tidak boleh memeriksa kasus pidana presiden atau wapres. Pidananya tetap dilakukan KPK, kejaksaan atau kepolisian,"tegas
Mahfud.
Kesimpulan
            Kisruh konstitusional yang sedang hangat dibicarakan ini, memang belum pernah terjadi di negara kita. Berbeda halnya dengan persolan Gus dur yang ketika itu diimpeach dengan mekanisme yang lama (belum diatur dalam pasal 7 UUD 1945). Saya mencoba melihat dari segi kesalamatan roda perputaran konsittusi kita, coba kita bayangkan apabila mekanisme pemeriksaan diambil alih penuh oleh KPK, dengan artian Boediono yang saat ini sebagai wapres dijadikan tersangka, dengan pemerikasaan biasa seperti kasus korupsi lainnya, berapa lama waktu yang hanya dihabiskan dengan masa penahanan demi terpenuhinya proses penyidikan dan dengan masa berjalannya proses peradilan. Apakah dalam jangka paling minimal 2 tahun, boediono menyandang predikat baru sebagai tersangka tahanan KPK hingga menjelang 2014. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa belum ada undang-undang khusus yang mengatur masalah ini, bahkan rumusan pasal 7b UUD 1945 juga hingga saat ini memiliki multi tafsir (non legi stricta). Maka penyelesaian yang dapat menguntungkan posisi wapres dan demi kelangsungan konstistusi kita dengan melaksanakan HMP. Setelah proses Impeachment berlangsung baru boediono diperiksa dan bila perlu jika sudah ada bukti-bukti yang kuat dia bisa ditersangkakan. Dengan demikian KPK tetap menjalani tugasnya menyelidiki kasus ini selaras berjalannya proses impeachment ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar