PENDAHULUAN
Islam merupakan
agama yang sangat memperhatikan keadaan hambanya. Ini terbukti dengan ayat-ayat
yang tertera dalam kitab suci ummatnya yang selalu menyeru kepada nahi mungkar
dan amal ma’ruf. Namun karena tabiat manusia adalah makan al-khatha’ wa
an-nisyan, maka akan selalu berbuat kesalahan apabila tidak ada aturan yang
mengatur dan hamba yang saling menegur. Di sini Islam sangat berperan penting
dalam mengatur tatanan hidup manusia dan memberikan batasan-batasan pergaulan
antara lawan jenis agar tidak terlalu jauh keluar dari jalur yang telah
digariskan. Salah satu aturan yang akan selalu menjaga hubungan antara lawan
jenis adalah an-nikah.
Menikah adalah
proses yang harus dilalui oleh hamba Allah yang telah mukallaf, baligh, dan telah
memenuhi syarat yang telah ditentukan, apalagi secara financial telah mampu
untuk itu. Perintah ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada ummatnya. Dengan
menikah manusia akan dapat menempatkan hasrat biologisnya pada tempatnya dengan
halal. Perbuatan zina yang haram hukumnya, dapat tercegah bahkan terhapus
melalui pernikahan yang sah. Bahkan persetubuhan antara dua insan ini, dapat
menjadi ibadah yang bernilai pahala apabila sungguh-sungguh diniatkan untuk
Allah Taa’la. Sebaliknya, akan memberikan ancaman dan dosa bila dilakukan di
luar nikah.
Banyak
permasalahan yang akan bermunculan, apabila seorang hamba Allah yang telah
terpenuhi syarat untuk nikah, namun menundanya. Tidak hanya godaan untuk
melakukan perbuatan zina yang membayangi diri manusia tersebut, melainkan
tuduhan berzina pun akan mungkin terjadi terhadapnya. Islam tidak hanya
melarang dan mela’nat bagi hambanya yang melakukan perzinahan, akan tetapi
menuduh wanita baik-baik melakukan perzinahan merupakan perbuatan yang amat
keji dan terla’nat. Dalam Surat An-Nuur ayat 23, Allah berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي
الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang tengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, (QS. An-Nuur : 23)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang tengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, (QS. An-Nuur : 23)
Sejalan dengan
beratnya hukuman bagi pelaku jarimah zina, hukum Islam melalui ayat di
atas mengancamkan hukuman yang tak kalah
beratnya bagi seseorang yang melakukan tuduhan berzina kepada orang lain.
Hukuman tersebut akan dijatuhkan ketika tuduhannya mengandung kebohongan.
Namun, apabila tuduhannya dapat dibuktikan kebenarannya, maka jarimah qadzaf
itu tidak ada lagi dan di jatuhkan kepada orang yang menuduh. Artinya, bila si
penuduh tak dapat membuktikan tuduhannya karena lemahnya pembuktian atau
kesaksiannya, hukuman qadzaf dijatuhkan bagi si penuduh. Suatu prinsip dalam
fiqih Jinayah bahwa barang siapa menuduh orang lain dengan sesuatu yang haram,
maka wajib atasnya membuktikan tuduhan itu. Apabila ia tak dapat membuktikan
tuduhan itu, maka ia wajib dikenai hukuman.
PEMBAHASAN
A.
Pegertian Qadzaf
Qadzaf dalam arti bahasa adalah الرمى
بالحجارة و نحوها
artinya melempar dengan batu dan lainya[1].
Dalam istilah
syara’, qadzaf ada dua macam, yaitu :
1.
Qadzaf
yang diancam dengan hukuman had, dan
2.
Qadzat
yang diancam dengan hukuman ta’zir.
Pengertian
qadzaf yang diancam dengan hukuman had adalah :
رمى المحصن بالزنا أو نفي نسبه
Menuduh orang yang muhshan
dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang menghilangkan nasabnya.
Sedangkan arti
qadzaf yang diancam dengan hukuman ta’zir adalah :
الرمى
بغىر الزنا أو نفي النسب سواء كان من رمى محصنا أو غير محصن
Menuduh
dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik
orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan.
Kelompok qadzaf macam yang kedua ini mencakup perbuatan mencaci
maki orang dan dapat dikenakan hukuman ta’zir. Dalam uraian berikut ini, yang
akan kita bicarakan hanyalah qadzaf macam pertama, yaitu qadzaf yang diancam
dengan hukuman had. Dalam
memberikan definisi qadzaf ini, Abu Rahman Al-Jairi mengatakan sebagai berikut
:
القذف عبارة عن يتهم شخص آخر بالزنا صريخا أو دلالة
Qadzaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada
orang lain dengan tuduhan zina, baik dengan menggunakan lafaz yang sharih
(tegas) atau secara dilalah (tidak jelas).
Contoh tuduhan
yang sharih (jelas/tegas), seperti أنت زان artinya
engkau orang yang berzina. Adapun contoh tuduhan yang tidak jelas (dilalah)
seperti menasabkan seseorang kepada orang yang bukan ayahnya.
B. Hadist Mengenai Had Qadzaf
عن عائشة رضي الله عنه, قالت: لما نزل عذ ري
قام رسول الله صلي الله عليه وسلم على المنبر, فذكر ذلك وتلا القراَن, فلما نزل أمر برجلين وامرأة فضربوا الحد .( أخرجه
أحمد والأربعة وأشارإليه البخاري)
Dari Aisyah. Ia berkata: Tak kala turun
(ayat) pembebasanku. Rasulullah saw berdiri di atas mimbar, lalu ia sebut yang
demikian dan membaca Quran. Maka tak kala turun dari mimbar ia perintah supaya
(didera) dua orang laki-laki dan seseorang perempuan, lalu dipukul mereka
dengan dera. (Riwayat oleh Ahmad dan Imam
Empat, dan Bukhari telah menyebutnya dengan isyarat).[2]
Syarah matan hadis:
Kata
‘uzri di atas merupakan (ayat) pembebasan yang diturunkan Allah untuk
memperkuat kebenaran atas apa yang telah dituduhkan ahlu al-ifki
(orang-orang pembawa berita bohong) terhadap Aisyah ra. Ayat itu kemudian dibaca Rasulullah saw di atas mimbar, yaitu“ sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong …..bagi mereka ampunan dan rezeki mulia
(surga)”[3]. Berjumlah
18 ayat seperti yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Al-hakim di
dalam kitab iklil dari kitab mursal Sa’id bin Jabar. Sedangkan di dalam
riwayat Bukhari firman tersebut
berjumlah 10 ayat, yaitu sampai ayat “ …..dan Allah mengatahui, sesungguhnya
kamu tidak mengetahui”[4]. Akan
tetapi di dalam riwayat Atho’ bin Khurasani dari Zurhi, Ayat pembebasan
tersebut sampai kepada ayat “ ….apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampuni ? Dan Allah adalah
maha pengampun lagi maha penyayang”[5].
Dan pada riwayat ini ayat tersebut berjumlah 13 ayat. Kemudian di dalam riwayat
Hakam bin A’tibah dari Thabrani, ayat tersebut Berjumlah 16 ayat sampai kepada ayat “ …..perempuan-perempuan
yang keji untuk laki-laki yang keji….”.
Dalam
riwayat Abi Dawud dari kitab Thariqu Hamidi Al-a’roj dari Zuhri dari Aisyah
menyebutkan “Rasulullah saw duduk dan membuka sehelai kain yang menutupi
wajahnya kemudian berkata “ Aku berlindung kepada Allah Maha Pendengar lagi
Maha Mengetahui dari syetan yang terkutuk, sesungguhnya orang-orang yang membawa
berita kedustaan itu adalah dari golongan kamu juga”. Dan di dalam riwayat Abi
Ishaq menjelaskan “kemudian beliau (Rasulullah saw) keluar kepada ummatnya dan
memberi nasehat kepada mereka dan membacakan ayat tersebut kepada mereka”. Kemudian Abi Ishaq mengumpulkan kedua riwayat
tersebut bahwa sesungguhnya Rasulullah saw membacakan ayat tersebut kepada
Aisyah, setelah itu membacakannya kepada ummatnya.
Perkataan
Rasulullah saw (menyuruh dua orang laki-laki), mereka itu adalah Hasan dan
Masthah sedangkan perempuannya adalah Hamnah binti Hajasy. Akan tetapi pada kenyataannya otak dari penyebaran berita bohong
tersebut adalah Abdullah bin Ubay. Dia adalah ketua kaum munafik yang menyebarkan
kebohongan untuk menjatuhkan Aisyah ra dan Rasulullah saw. Berita tersebut
sangat memukul ummat Islam, khususnya ummul-mukminin Aisyah. Akhirnya Allah
menurunkan wahyu kepada Rasulullah untuk menunjukan hal yang sebenarnya terjadi
dan menjadi ayat hukum perihal qadzaf.[6]
C.
Unsur-unsur Jarimah Qadzaf
Dari definisi yang
dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarimah qadzaf itu ada
tiga, yaitu sebagai berikut :
1.
Adanya
tuduhan zina atau menghilangkan nasab.
2.
Orang
yang dituduh adalah orang yang muhshan.
3.
Adanya
maksud jahat atau niat yang melawan hukum.
1.
Adanya
tuduhan zina atau menghilangkan nasab.
Unsur ini dapat terpenuhi apabila pelaku menuduh korban dengan
tuduhan melakukan zina atau tuduhan atau tuduhan yang menghilangkan nasabnya,
dan ia (pelaku/penuduh) tidak mampu membuktikan apa yang dituduhkannya. Tuduhan
zina kadang-kadang menghilangkan nasab korban dan kadang-kadang tidak.
Kata-kata seperti يا ابن الزنا “hai
anak zina”, menghilangkan nasab anaknya dan sekaligus menuduh ibunya berbuat
zina. Sedangkan kata-kata seperiيا زاني “hai
pezina” hanya menuduh zina saja dan tidak menghilangkan nasab atau keturunannya.
Para imam mazahib al-arba’ah berbeda
pendapat perihal menuduh dengan menghilangkan nasab. Apakah ibu dari tertuduh itu harus seorang muslimah dan merdeka, atau
tuduhan itu tetap sah walaupun dia seorang kafir dan budak. Imam Malik
mewajibkan had terhadap keduanya, sedangkan Ibrahim an-nakha’I mengatakan bahwa
tidak diwajibkan had apabila ibu dari tertuduh tersebut seorang budak atau ahli
kitab, dan pendapat ini sebuah qiyas dari perkataan Imam Syafi’I dan Abu
Hanifah.[7]
Dengan demikian, apabila kata-kata
atau kalimat itu tidak berisi tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya maka
pelaku (penuduh) tidak dihukum dengan hukuman had, melainkan hanya dikenai
hukuman ta’zir. Misalnya tuduhan mencuri, kafir, minum-minuman keras, korupsi,
dan sebagainya. Demikian pula dikenakan hukuman ta’zir setiap penuduhan zina
atau menghilangkan nasab yang tidak memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman
had. Demikian pula halnya penuduhan yang tidak berisi perbuatan maksiat,
walaupun dalam kenyataannya tuduhan tersebut memang benar, seperti menyebut
orang lain pincang, impoten, mukanya hitam, dan sebagainya. Dari
uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa tuduhan merupakan kata-kata yang
menyakiti orang lain dan perasaannya. Ukuran untuk menyakiti ini didasarkan
kepada adat kebiasaan.
Diatas
telah dikemukakan bahwa tuduhan selain zina atau menghilangkan nasab tidak
dikenai hukuman had, melainkan hukuman ta’zir. Lalu bagaimana dengan tuduhan
Liwath (homoseksual), atau menyetubuhi binatang, apakah dikenai hukuman had
atau ta’zir? Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Menurut imam malik, imam
syafi’i, dan imam ahmad, hukumannya sama
dengan hukuman tuduhan zina karena sebagaimana telah diuraikan dalam Bab zina,
mereka ini menganggap Liwath (homoseksual) sebagai zina dikenai hukuman had.
Akan tetapi, menurut imam ibu hanifah, tuduhan Liwath (homoseksual) tidak sama
dengan hukuman zina, karena ia tidak menganggap Liwath sebagai zina.
Ringkasnya, kaidah
umum yang berlaku dikalangan Fuqaha dalam masalah ini adalah bahwa setiap
perbuatan yang mewajibkan hukum had zina kepada pelakunya, mewajibkan hukuman
had kepada penuduhnya. Sebaliknya, setiap perbuatan yang tidak mewajibkan
hukuman had atas pelakunya, juga tidak mewajibkan hukumann had atas orang yang
menuduhnya.
Tuduhan
yang pelakunya (penuduhnya) dikenai hukuman had, harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut.
·
Kata-kata
tuduhan harus tegas dan jelas (syarih), yaitu tidak mengandung pengertian lain
selain tuduhan zina. Apabila tuduhan itu tidak syarih maka berarti ta’ridh atau
tuduhan dengan kinayah (sindiran). Adapun qadzaf (tuduhan) dengan kinayah,
hukumannya diperselisihkan oleh para ulama. Menurut Imam Abu Hanifah dan salah
satu riwayat dari mazhab hanbali, pelaku(penuduh) tidak dikenai hukuman had,
melainkan hukuman ta’zir. Adapun menurut mazhab sayfi’i, apabila dengan tuduhan
kinayahnya itu memang diniatkan sebagai qadzaf maka penuduh dikenai hukuman
had.menurut imam malik, apabila kata-kata kinayahnya bisa diartikan sebagai
qadzaf, atau ada qarinah (tanda) yang menunjukan bahwa pelaku sengaja menuduh maka ia dikenai
hukuman had. Diantara qarinah itu adalah seperti adanya permusuhan atau
pertengkaran antara penuduh dan orang yang dituduh.
·
Orang
yang dituduh harus tertentu (jelas). Apabila orang yang dituduh itu tidak
diketahui maka penuduh tidak dikenai hukuman had.
·
Tuduhan
harus mutlak, tidak dikaitkan dengan syarat dan tidak disandarkan dengan waktu
tertentu. Dengan demikian, apabila tuduhan dikaitkan syarat atau disandarkan
kepada masa yang akan datang maka penuduh tidak dikenai hukuman had.
·
Imam
Abu Hanifah mensyaratkan terjadinya penuduhan tersebut di negeri Islam. Apabila
penuduhan terjadi di darul harb maka penuduh tidak dikenai hukuman had. Akan
tetapi, imam-imam yang lain tidak mensyaratkan hal ini.
2.
Orang
yang Dituduh Harus Orang yang muhshan
Dasar hukum tentang syarat ihshan untuk maqdzuf (orang yang
tertuduh) ini adalah:
a)
Surah
an-nuur ayat 4
واللذين
يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلدة.....{ النور }
Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka ( yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera .... (QS. An-nuur:4)
b) Surah an-nuur ayat 23
إن
الذين يرمون المحصنات الغافلات المؤمنات لعنوا فى الدنيا والآخرة ولهم عذاب عظيم {
النور}
Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik yang lengah, lagi beriman
(berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab
yang besar. (QS. An-nuur:23)
Dalam ayat yang pertama (QS. An
–nuur:4) yang dimaksud dengan ihshan adalah
العفة من الزنا, yaitu bersih dari zina menurut satu pendapat dan الحرية
yaitu merdeka menurut pendapat
lain. Sedangkan dalam ayat kedua(QS. An-nuur:23), ihshan diartikan merdeka,الغافلات (lengah)
diartikanالعفائف (bersih) danالمؤمنات (mukmin) artinya muslimah. Dari dua nas
(ayat) itu para fuqaha mengambil kesimpulan bahwa iman (islam), merdeka, dan
iffah(bersih) merupakan syarat-syarat ihshan
bagi maqdzuf (orang yang dituduh).
Di samping tiga syarat tersebut,
terdapat syarat ihshan yang lain , yaitu balig dan berakal. Illat dari dua
syarat ini bagi maqdzuf (orang yang dituduh) adalah karena zina tidak mungkin
terjadi kecuali dari orang yang balig dan berakal. Disamping
itu, zina yang terjadi dari orang gila atau anak di
bawah umur tidak dikenai hukuman had. Namun syarat balig ini tidak disepakati
oleh para fuqaha. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i memasukkannya sebagai
syarat ihshan baik untuk laki-laki maupun perempuan, sedangkan Imam Malik
mensyaratkan hanya untuk laki-laki, tidak untuk perempuan. Di kalangan ulama
Hanabilah berkembang dua pendapat. Segolongan mensyaratkannya, sedangkan
segolongan lagi tidak mensyaratkannya.
Pengertian iffah dari zina juga
tidak ada kesepekatannya di kalangan para ulama. Menurut Iman Abu Hanifah iffah
dari zina itu artinya belum pernah seumur hidupnya melakukan persetubuhan yang
diharamkan bukan pada milik sendiri. Adapun menurut Imam Malik pengertian iffah
itu adalah tidak melakukan zina, baik sebelum dituduh maupun sesudah. Menurut
Mazhab Syafi’i, iffah adalah terhindarnya orang yang dituduh dari perbuatan
yang mewajibkan hukuman had zina, baik sebelum dituduh maupun sesudahnya. Ulama
Hanabillah mengartikan iffah dengan tidak bisa dibuktikannya perbuatan zina
seseorang, baik dengan saksi, ikrar (pengakuan), maupun qarinah (tanda), dan ia
tidak dihukum dengan hukuman had zina.
3.
Adanya
Niat yang Melawan Hukum.
Unsur melawan hukum dalam jarimah qadzaf dapat terpenuhi apabila
seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya,
padahal ia tahu bahwa apa yang dituduhkannya tidak benar. Dan seseorang
dianggap mengetahui ketidakbenaran tuduhannya apabila ia tidak mampu
membuktikan kebenaran tuduhannya. Ketentuan itu
didasarkan kepada ucapan Rosulullah Saw. Kepada Hilal Ibnu Umayyah ketika ia
menuduh istrinya berzina dengan Syarik ibn Sahma’ :
....البينة وإلا فحد فى ظهرك { الحديث أخرجه أبو
يعلى }
...datanglah saksi, apabila tidak bisa medatangkan saksi maka
hukuman had akan dikenakan kepadamu (diriwayatkan oleh abu ya’la)
Padahal Hilal
sendiri menyaksikan peristiwa perzinahan tersebut. Hilal sendiri tidak bisa
bebas dari hukuman had, andai kata tidak turun ayat lain,
inilah yang ditunjukkan oleh al-quran dengan jelas dalam surah an-nur ayat :
13.
لولا جاءوا عليه بأربعة شهداء فإذ لم يأتوا بالشهداء فأولئك عند الله
هم الكاذبون {النور}
Mengapa mereka ( para penegak ) tidak mendatangkan empat orang
saksi berita bohong itu ? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi
maka mereka itu di sisi Allah adalah orang-orang yang dusta. ( QS. An-nur: 13).
Atas dasar inilah
jumhur fuqaha berpendapat bahwa apabila saksi dalam jarimah zina kurang dari
empat orang maka mereka dikenai hukuman had sebagai penuduh, walaupun menurut
sebagian yang lain mereka tidak dikenai hukuman had, selama mereka betul-betul
bertindak sebagai saksi.
D.
Pembuktian Jarimah Qadzaf
Jarimah qadzaf dapat dibuktikan
dengan tiga macam alat bukti, yaitu sebagai berikut .
1.
Dengan
saksi
Saksi merupakan salah satu alat bukti untuk jarimah qadzaf, dengan
sekurang-kurangya dua orang saksi. Syarat-syarat saksi sama dengan syarat saksi
dalam jarimah zina, yaitu balig, berakal, adil, islami, dapat berbicara, dan
tidak ada penghalang menjadi saksi.
2.
Dengan
pengakuan
Jarimah qadzaf bisa dibuktikan
dengan adanya pengakuan dari pelaku (penuduh), dan cukup dinyatakan satu kali
dalam pengadilan.
3.
Dengan
sumpah
Menurut Imam Syafi’i, jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan sumpah
apabila tidak saksi dan pengakuan. Sedangkan Imam Malik dan Imam Hanafi tidak
membenarkan pembuktian dengan sumpah, sebagaimana yang dikemukakan oleh mazhab
Syafi’i. Sedangkan sebagian ulama hanafiyah pendapatnya sama dengan mazhab
Syafi’i, yaitu membenarkan pembuktian dengan sumpah, tetapi sebagian lagi tidak
membenarkannya.
E.
Hukuman Untuk Jarimah
Qadzaf
Hukuman untuk
jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1.
Hukuman
Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak-banyaknya delapan puluh kali. Hukuman ini
adalah merupakan hukuman had yang telah ditentukan oleh syara’.
2.
Hukuman
tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.
Jumlah jilid adalah 80 kali, tidak dikurangi dan tidak ditambah,
bila ia bertobat. Menurut Imam Abu Hanifah tetap tidak dapat diterima.
Sedangkan menurut Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Malik dapat diterima kembali
persaksiannya apabila telah tobat.
Perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan mereka dalam mengartikan
Surat An-nur ayat 4tentang istisna (eksepsi) apakah istisnanya kembali kepada
kata yang terdekat ataukah kembali kepada seluruhnya.
Di samping itu, menurut Imam Malik bila seseorang malakukan qadzaf
dan minum khamar maka sanksinya cukup satu kali, yaitu delapan puluh kali
jilid. Karena baik qadzaf maupun minum khamar sama-sama diancam dengan delapan
puluh kali jilid. Dan karena sanksi kedua tindak pidana ini memiliki tujuan
yang sama. Sedangkan menurut ketiga Imam lainnya sanksi qadzaf tidak dapat
bergabung dengan sanksi jarimah lainnya, masing-masing berdiri sendiri.[8]
F. Hal-hal Yang Menggugurkan Hukuman
Hukuman qadzaf (orang yang menuduh)
dapat gugur karena hal-hal berikut ini.
1.
Karena
orang yang dituduh melakukan zina memaafkan orang yang menuduh
2.
Karena
orang yang dituduh melakukan zina membenarkan tuduhan penuduh.
3.
Karena
lii’an. Yaitu orang yang tidak mempunyai saksi bisa diterima dengan bersumpah
menyebut nama Allah SWT. Empat kali bahwa dia adalah benar dalam tuduhannya.
4.
Karena
penuduh dapat mendatangkan empat orang saksi, bahwa tertudu benar-benar
melakukan zina.
KESIMPULAN
Tuduhan
merupakan perbuatan yang sangat keji dan tidak terpuji. Perbuatan ini dapat
menghancurkan harga diri seseorang apalagi tuduhan tersebut terbukti
kebohongannya. Hal ini tidak hanya berlaku pada permasalahan zina, namun
mencakup semua aspek kehidupan seseorang. Pada hakekatnya perbuatan qadzaf ini
akan memberikan wadah bagi si penuduh untuk melakukan perbuatan maksiat lainnya,
seperti mengguncing (ghibah), menghasut, berbohong, dan maksiat lainnya.
Sehingga dosa yang akan didapatkannya berlipat ganda.
Dari
penjelasan di atas, Penulis menarik kesimpulan, bahwa para ulama telah sepakat
menyatakan sesungguhnya perbuatan qadzaf (menuduh) merupakan perbuatan yang
sangat dimurkai Allah dan dapat dijatuhkan hukuman had atau ta’zir. Hukuman had
diberikan apabila tuduhan itu mengarah kepada perihal zina, sedangkan hukuman ta’zir
diberikan jika tuduhan itu mengarah kepada menyakiti orang lain. Tuduhan
tersebut harus berbentuk sharih (jelas), adapun jika berbentuk ta’ridh
(tidak jelas) telah terjadi perbedaan pendapat di dalamnya.
Adapun pembuktian jarimah qadzaf dapat dibuktikan
dengan saksi, pengakuan, dan sumpah.
kaidah
umum yang berlaku dikalangan Fuqaha dalam masalah ini adalah bahwa setiap
perbuatan yang mewajibkan hukum had zina kepada pelakunya, mewajibkan hukuman
had kepada penuduhnya. Sebaliknya, setiap perbuatan yang tidak mewajibkan
hukuman had atas pelakunya, juga tidak mewajibkan hukuman had
atas orang yang menuduhnya, maka dalam hal ini berlaku ta’zir.
PENUTUP
Perbuatan menuduh hanya akan menjadikan diri kita selalu
mencampuri urusan orang lain yang sepatutnya tidak kita campuri. Hal ini hanya
merupakan perbuatan yang sia-sia yang sangat merugikan dan tidak disukai oleh
Sang Pencipta. Banyak hal yang lebih penting yang seharusnya kita lakukan, demi
keselamatan dan keberuntungan di hari hisab kelak.
Akan tetapi pastinya manusia yang lemah ini akan tetap terjerumus dalam lobang yang
dangkal maupun dalam. Namun perlu diingat sebaik-baiknya manusia yang berbuat
salah adalah orang yang langsung mengingat kekhilafannya dengan segera
bertaubat kepada Sang Khalik dan tidak akan pernah mengulanginya.
“Dan orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa kemudian
bertaubat sesudahnya dan beriman maka sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengampun danPenyayang.”
(QS. Al A’raaf: 153)
Daftar Pusaka
Imam Al-qodi Abu al-Walid Muhammad bin
Ahmad bin Muhammad bin ahmad, bidayatul mujtahid wa nihayatul muktashad, darul
fikri, Beirut Lebanon, 2005, jilid ke-2. Hlm 362-363.
[2] A. Hassan. Terjemah
Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-asqolani. (Bandung: Diponegoro,2002),
hlm.
561
[3] Surat
An-nur ayat 11-26
[4] Surat An-nur ayat 19
[5] Ibid ayat 22
[6] Al-qodhi Al-a’lamah Husain Muhammad
Al-maghribi. Badrut Tamam Syarhu Bulughul Marrom Min Adillat Al-ahkam.(Dar
Al-wafa, 2005),hlm. 409-410
[7]
Imam Al-qodhi
Abu Al-Walid Muhammad bin
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad. Bidayatul mujtahid wa
nihayatul muktashad.(Beirut Lebanon: Darul fikri, 2005), hlm. 362
[8] A.
Djazuli. Fiqih Jinayah. (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997), hlm. 68-69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar